Warga di Nagekeo Desak Polisi Tuntaskan Dugaan Korupsi Dana BumDes yang Seret Anggota DPRD dari Gerindra

Anggota DPRD itu menjadi direktur BumDes Bersama sejak 2016 hingga kini

Floresa.co – Warga di Kabupaten Nagekeo, NTT mendesak polisi menuntaskan pengusutan kasus dugaan korupsi dana Badan Usaha Milik Desa Bersama [BumDes Bersama] yang melibatkan salah satu anggota DPRD dari Partai Gerindra.

Salah satu warga yang berbicara dengan Floresa menilai, penyelidikan kasus dugaan korupsi dana BumDes Bersama di Kecamatan Wolowae itu oleh Polres Nagekeo “jalan di tempat.”

Kasus itu terungkap setelah Inspektorat Daerah Nagekeo menemukan dugaan kerugian keuangan negara saat melakukan audit pada 2021. 

Namun, Inspektur Inspektorat Daerah Nagekeo, Alex Jata enggan memerinci jumlah kerugian negara, kata warga itu, mengklaim “berkas hasil audit sudah dilaporkan dan diserahkan kepada bupati.”

Selain itu, Inspektorat juga menemukan pengelolaan dana BumDes Bersama yang macet.

Sejak dibentuk pada 2016, BumDes Bersama dipimpin oleh Yohanes “Yan” Siga, yang saat ini menjadi Wakil Ketua II DPRD Nagekeo. 

Ia merupakan politisi Gerindra, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Dalam pemilihan legislatif tahun ini, ia meraih suara terbanyak di daerah pemilihan satu yang mencakup Kecamatan Wolowae, Aesesa, dan Aesesa Selatan.

Ia sempat maju dalam dalam pemilihan 2019, namun tidak lolos.

Hanya Direktur yang Tahu

Warga itu yang meminta Floresa tak menyebut namanya karena alasan keamanan berkata, BumDes Bersama merupakan transformasi dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat [PNPM] Mandiri Pedesaan.

Program itu berakhir pada 2014 setelah dinilai tidak efektif lagi untuk memberdayakan masyarakat.

Warga itu berkata, dana PNPM dialihkan oleh pemerintah pusat ke BumDes Bersama melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2016 terkait pemindahtanganan barang milik negara.

Dua tahun setelah PNPM berakhir, kata dia, kementerian menginstruksikan agar “setiap kecamatan harus membentuk BumDes Bersama.” 

Warga itu berkata, saat PNPM berakhir, masih ada dana yang beredar di tengah masyarakat, terutama di kelompok-kelompok Simpan Pinjam Perempuan [SPP].

“Seingat saya, uang yang beredar di lima desa kurang lebih Rp3 miliar dan sekitar Rp700 juta ada di bank.” 

Para kepala desa dari lima desa di Kecamatan Wolowae, yakni Tendakinde, Tendatoto, Totomala, Anakoli, dan Natatoro merespons instruksi itu dengan membentuk Badan Kerjasama Antardesa [BKAD]. 

Pembentukan BKAD dibahas dalam forum musyawarah yang juga menyepakati pembentukan BumDes Bersama.

Musyawarah itu juga mengangkat Yan Siga menjadi direktur, sementara Margaretha Rere dan Edy Hardianto masing-masing sebagai sekretaris dan bendahara.

Warga itu berkata, penunjukkan Yan Siga karena dianggap “paling mengerti soal PNPM dan berpengalaman sebagai pendamping program itu.” 

Apalagi, katanya, Yan juga pernah menjadi asisten fasilitator kecamatan di Kabupaten Sikka.

Warga itu berkata, setelah pembentukan BumDes Bersama, Yan sempat mengundang kelima kepala desa untuk membahas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga [AD dan ART].

Namun, AD ART itu yang draft yang sudah disiapkan Yan tidak disahkan dan tidak ada forum lanjutan untuk membahasnya.

Karena tidak ada AD ART, “Yan Siga menjabat direktur dari 2016 sampai sekarang.”

Setelah itu, kata dia, para kepala desa juga tidak pernah diajak untuk membahas pengelolaan BumDes, termasuk soal rencana kerja tahunan, masa jabatan, insentif untuk pengurus dan evaluasi.

“Yang tahu hanya Yan Siga. Dia menentukan gajinya sendiri. Ia mengelola BumDes Bersama ini atas kemauannya sendiri,” katanya.

Karut Marut Pengelolaan Dana

Warga itu berkata, dari LHP Inspektorat pada 2022 muncul sejumlah kejanggalan.

Salah satunya adalah dana BumDes tidak hanya dipinjam oleh masyarakat di Kecamatan Wolowae, tetapi juga di Kecamatan Aesesa dan Aesesa Selatan.

Kedua Kecamatan itu bagian dari daerah pemilihan satu di Kabupaten Nagekeo. 

Ia mencurigai, langkah Yan punya motif politik, “karena setelah 2016 menjadi direktur BumDes Bersama, pada 2019 ia ikut calon legislatif.”

“Di masa itulah dana ini dilepaskan dan diakses dengan segmen yang tidak jelas,” katanya. 

Ia menyebut, pihak yang mendapatnya termasuk pedagang, ASN, kepala desa, camat beserta pegawainya.

 “Itu semua dilepas tanpa batasan tertentu,’’ tambahnya.

Warga itu berkata, peruntukan pinjaman “untuk siapa, kami tidak pernah tahu”

Padahal, katanya, simpan pinjam seharusnya diatur dalam AD dan ART tersendiri dan di dalamnya ada ketentuan soal “peruntukan kepada siapa, besaran pinjaman, dan besaran bunganya.” 

Selain itu, katanya, salah satu hal yang sangat fatal dalam LHP itu yakni Yan Siga meminjamkan Rp400 juta kepada BumDes Bersama di Kecamatan Aesesa untuk proyek air minum dan jalan ke Mbay, namun kemudian proyek itu mangkrak. 

Di dalam LHP itu, katanya, juga terungkap bahwa BumDes Bersama memiliki masing-masing satu bidang tanah di Desa Anakoli dan di Ratedao, Desa Natatoto.

“Kami tidak tahu berapa ukuran dan harganya karena tanpa persetujuan kami. Letak tanah ada di mana, sampai saat ini kami tidak tahu. Hanya bilang ada di Anakoli dan Ratedao,” katanya. 

“Keputusan beli tanah, siapa yang suruh? Di mana bukti-bukti kepemilikan tanah, sertifikat atau akta jual beli? Apakah dalam LHP ada atau tidak, kami tidak tahu,’’ tambahnya.

Warga itu juga mengkritisi Inspektorat “yang melakukan audit jauh dari kata independen,” karena hanya menyimpulkan adanya penyalahgunaan dana lebih dari Rp60 juta oleh bendahara, Hardianto. 

Dana itu, kata dia, masih beredar di masyarakat dan “tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena digelontorkan secara suka-suka oleh pengelola.” 

Inspektorat, katanya, juga menyimpulkan bahwa sejak 2016 hingga pemeriksaan pada 2022, BumDes Bersama menghabiskan Rp700 juta untuk operasional. 

“Dasar hukumnya apa? Di mana ada keputusan yang menyatakan bahwa itu dibolehkan untuk dipakai sebagai operasional. Operasional itu harus ditentukan dalam sebuah rapat. Operasional harus ada dasar hukum, tetapi Inspektorat mengesahkannya,” katanya. 

“Dana bergulir total sekian, operasional sekian, di mana pendapatan bunga?”, tambahnya. 

Warga itu berkata, karut marut pengelolaan BumDes Bersama di Kecamatan Wolowae “sangat merugikan masyarakat karena ada sumber daya keuangan yang digunakan untuk kepentingan pribadi.” 

Ia menyebut Yan Siga adalah “seorang pemain politik” dan ketika maju sebagai calon legislatif, ia tidak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur BumDes Bersama. 

Usai munculnya LHP itu, kata dia, Yan baru menggelar rapat evaluasi keuangan.

Dalam rapat yang melibatkan kelima kepala desa itu, Yan menyajikan data yang sama seperti yang disampaikan Inspektorat, sehingga “kami serentak menolak laporan itu.” 

“Alasan penolakan karena laporannya banyak kejanggalan. Salah satunya adalah pengelolaan dana Rp3,7 miliar yang hanya menyisakan saldo Rp12 juta di kas BumDes Bersama per 2022,” katanya.

Warga itu mengaku sempat mengajukan supaya BumDes Bersama dibekukan sehingga pengurusnya tidak punya kuasa untuk mengutak-atik aset.

Namun, usulan itu tidak diakomodir karena “pembekuan BumDes Bersama bukan merupakan domain camat maupun Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa.”

Akibatnya, beberapa aset tetap berada dalam kuasa pengurus, termasuk sebuah motor merek Verza yang masih dipakai bendahara, Edy Hardianto.

Apa Klaim Pengurus?

Warga itu meminta keseriusan Polres Nagekeo dan Kejaksaan Negeri Ngada mengusut tuntas persoalan ini karena “telah merampas hak rakyat kecil demi kepentingan diri sendiri.”

Sementara itu, Bendahara BumDes Bersama, Edy Hardianto mengaku total dana yang dikelola badan usaha itu kurang lebih Rp2,5 miliar dan semuanya sudah dipinjamkan kepada kelompok masyarakat di Kecamatan Wolowae secara bergulir, tetapi macet dan penanganannya sudah tidak jelas. 

“Kami telah menagih kepada semua kelompok yang meminjam uang itu, tetapi mereka hanya membayar dengan ikan kering dan satu butir telur ayam.” 

Selain itu, kata dia, ada kelompok masyarakat yang menganggap “uang itu sebagai dana hibah” dan sebagian peminjam diduga kabur dan menetap di Ambon dan Buton Tomia, Sulawesi Tenggara.

“Ketika Inspektorat tiba-tiba ingin datang audit selama dua hari, saya minta kepada Inspektorat agar audit dilakukan selama tiga hari karena saya baru mau membuat laporan baru dan mencocokan dengan angka-angka sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam oleh kelompok penerima selama ini,” katanya seperti dikutip dari Mediafloresnews.com.

“Uang itu dipinjam oleh kelompok, tetapi selama ini masyarakat menghembuskan isu [bahwa] kami yang makan uang itu,” tambahnya. 

Hardianto berkata, BKAD di Kecamatan Wolowae sebelumnya diketuai oleh Wens Mane yang saat itu menjadi Kepala Desa Tendatoto.

Namun, kata dia, Wens mengundurkan diri dari jabatan itu karena ikut dalam Pileg pada 14 Februari sehingga “sampai hari ini tidak ada lagi kepengurusan [BKAD].”

Sementara itu, Yan Siga mengaku telah mengelola dana BumDes Bersama “sesuai prosedur yang berlaku,” kendati tidak memerinci.

Ia mengklaim dana awal BumDes Bersama adalah Rp1,9 miliar dan dari angka itu, “kami berproses sambil menyiapkan dokumen administrasi.”

Ia mengklaim AD dan ART telah diteken notaris pada 23 Maret 2017. 

Yan membenarkan jika hasil audit Inspektorat menemukan adanya kekurangan uang yang dikelola Hardianto sebesar Rp61.957.960, namun “sudah disetor kembali.”

Ia mengklaim, per 22 Juli, dana yang sedang bergulir di masyarakat sebesar Rp2.066.515.417.

“Pengakuan bahwa total uang adalah Rp3 miliar lebih itu tidak benar! Waktu audit itu, Inspektorat mengakses semua kelompok peminjam, yakni 33 kelompok dan 103 orang. Itu yang kemudian [membuat] Inspektorat menemukan ada kekurangan sebesar Rp61 juta lebih,” katanya seperti dikutip dari Sergap.id.

Yan juga mengakui telah memberikan uang Rp100 juta kepada mantan Camat Wolowae, Dallys Beda Bela “dalam bentuk pinjaman yang diakses oleh istrinya.”

“Semua orang bisa akses, karena sifat dana ini bergulir. Ya kita jual uang. Kami memberi bunga satu persen ke orang per orang. Bunga rendah, maka semua orang pengen,” katanya. 

“Prinsip kami kan pengen kas kosong. Ketika ada uang masuk ke kas, maka siapa yang mau akses, silahkan! Sehingga uangnya berputar terus,” tambahnya.

Yan juga mengakui telah meminjamkan uang Rp400 juta kepada BumDes Bersama di Kecamatan Aesesa dengan bunga 1,3 persen.

Ia menambahkan, saat ini, BumDes Bersama belum beroperasi lagi lantaran ketiadaan pegawai.

“Saat ini uang di rekening masih ada Rp74.840.526, selebihnya ada di masyarakat,” katanya.

Camat Wolowae, Geri Koro mengakui jika dana BumDes Bersama dipinjamkan kepada kelompok masyarakat di kecamatan tersebut melalui Yan Siga dan Hardianto.

Ia mengklaim kerugian BumDes Bersama tidak sampai Rp3 miliar, menyebutnya hanya kesalahan administrasi dan tidak ada hubungannya dengan Yan.

“Memang ada temuan, tetapi hanya senilai kurang lebih puluhan juta, mendekat ke angka Rp100 juta,” katanya seperti dikutip dari Mediafloresnews.com.

Sementara itu, terkait pinjaman dananya ke BumDes Bersama, mantan Camat Wolowae, Dallys Beda Bela berkata kepada Floresa, “saat itu, kami sebagai usahawan mikro mendapat akses penguatan modal Rp100 juta.”

Ia mengaku cicilan terakhir disetor pada 28 Oktober 2024 dan “utang kami yang tersisa sekitar Rp18 juta.”

Untuk memperkuat klaimnya, ia mengirimkan kuitansi cicilan terakhir itu yang ditandatangani Hardianto.

“Cicilan bulan November 2024 terhenti karena masih dalam proses audit Inspektorat.”

“Kami akan melanjutkan proses pengembalian ketika audit Inspektorat selesai,” katanya pada 16 Desember, “silakan konfirmasi ke Inspektorat.”

Pada hari yang sama, Floresa meminta tanggapan Inspektur Inspektorat Daerah Nagekeo, Alex Jata melalui WhatsApp.

Namun, ia tak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Yan Siga juga tidak menanggapi pertanyaan Floresa yang dikirim melalui WhatsApp pada 16 Desember, kendati pesan itu bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Diselidiki Polisi

Kasat Reskrim Polres Nagekeo, Iptu Dominggus Duran mengklaim pihaknya sedang menyelidiki kasus ini setelah mendapat aduan dari warga dan membaca berita di beberapa media.

Ia juga mengaku sudah meminta klarifikasi bendahara BumDes Bersama, Hardianto dan tiga orang staf badan usaha itu, di antaranya Yosefus Kanda, Dedi Irawan dan Sebastianus Babo Uko.

Yan Siga belum dimintai keterangan, karena “kami masih fokus kasus yang lain.”

“Setelah ini, kami pasti akan memanggil dia untuk klarifikasi,” katanya kepada Floresa pada 16 Desember.

“Semua pihak yang disebutkan pasti kita undang untuk klarifikasi. Karena tahapannya masih lidik, kami tidak bisa pakai surat panggilan. Jadi, kami masih pakai klarifikasi,” tambahnya.

Sementara itu, Silvester Loye, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra Kabupaten Nagekeo berkata, “tidak ada dispensasi untuk kader yang tersandung kasus korupsi.”

Presiden Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra sudah menegaskan bahwa “korupsi adalah perbuatan jahat sehingga tidak ada upaya untuk membela pelaku,” katanya kepada Floresa pada 16 Desember.

Kalau dugaan keterlibatan Yan Siga dalam kasus korupsi BumDes Bersama benar, “partai akan mengambil tindakan karena ketua umum kami sangat antikorupsi,” kata Silvester.

“Harapan kita bersama aparat penegak hukum harus profesional dalam menjalankan tugasnya, tidak neko-neko,” tambahnya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA