Warga Nangahale Terdakwa Kasus Perusakan Plang Klaim Aksi Mereka Merespons Perusakan Tanaman oleh Korporasi Milik Keuskupan Maumere

Sidang kasus ini masih bergulir yang berikutnya akan digelar pada 26 Februari. Delapan orang jadi terdakwa perusakan plang yang kerugiannya dua juta rupiah

Floresa.co – Warga Nangahale di Sikka yang menjadi terdakwa kasus perusakan plang mengklaim tindakan mereka merupakan respons atas perusakan tanaman yang sebelumnya dilakukan korporasi milik Keuskupan Maumere.

Pernyataan itu disampaikan dalam sidang lanjutan yang digelar pada 18 Februari dengan agenda pemeriksaan terdakwa, menurut pengacara mereka, Greg Djako.

“Sebelum peristiwa perusakan plang, ada orang yang diduga utusan PT Krisrama melakukan perusakan tanaman warga,” kata Greg kepada Floresa pada 21 Februari.

Sidang kasus itu dengan terdakwa delapan warga Nangahale dimulai pada 15 Januari dan kini memasuki pokok perkara.

Barang yang dirusak pada 29 Juli 2024 itu adalah papan plang bertuliskan “Tanah ini milik PT Krisrama Keuskupan Maumere.”

Greg berkata, tanaman milik warga yang dirusak bernilai ekonomi seperti pisang, tanaman mete, dan tanaman palawija, dengan kerugian diperkirakan mencapai jutaan rupiah.

Tak heran, menurut Greg, warga melampiaskan kemarahan dengan merusak plang yang baru dipasang.

“Mereka merespons karena tanaman mereka dirusak dengan cara dibabat, ditebang, dirusak, dan dicabut,” katanya.

Greg mengutip pengakuan salah satu terdakwa, Maria Magdalena Leny, bahwa penebangan tanaman oleh orang yang diduga suruhan PT Krisrama memicu keributan pada 29 Juli 2024 pagi.

Karena itu, katanya, tindak pidana yang didakwakan kepada delapan kliennya harus dilihat dalam suatu hubungan sebab akibat atau kausalitas.

Hubungan kausalitas ini dipakai untuk menentukan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana ini.

Greg berkata, dalam kasus ini penyebab adalah perusakan tanaman milik para terdakwa yang dilakukan oleh orang-orang yang diduga suruhan PT Krisrama.

Sementara sebagai reaksinya, kata dia, diwujudkan melalui pembalasan oleh para terdakwa dengan merusak plang yang baru dipasang PT Krisrama.

“Kedua kejadian ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan,” kata Greg.

“Dalam kasus seperti ini sebenarnya kedua pelaku dalam dua peristiwa yang saling terkait dapat dihukum atas perbuatan pidana  masing-masing,” tambahnya.

Ia berkata, seharusnya hakim mempertimbangkan bahwa para terdakwa melakukan pembalasan karena merasa terpaksa dan ingin melindungi harta bendanya.

Tindakan terdakwa yang melindungi harta benda sebagai sumber ekonomi keluarga, kata Greg, merupakan pembelaan terpaksa [noodweer] sebagaimana diatur dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP].

Floresa menghubungi Direktur Pelaksana PT Krisrama, Romo Robertus Yan Faroka terkait fakta yang terungkap dalam persidangan itu.

Yan berkata, “pembersihan dan pemasangan papan plang yang bertuliskan nomor sertifikat adalah satu-kesatuan [dengan] pekerjaan 29 Juli 2024 di atas lokasi tanah HGU yang sudah bersertifikat.” 

Duduk Kasus versi Dakwaan JPU

Selain Maria Magdalena Leny, tujuh terdakwa lain dalam kasus ini adalah Yosep Joni, Yohanes Woga, Germanus Gedo, Thomas Tobi, Bernadus Baduk, Nikolaus Susar dan Magdalena Marta.

Jaksa Penuntut Umum [JPU] mendakwa delapan warga  dengan dakwaan alternatif yaitu pasal 170 ayat [1] KUHPidana atau pasal 406 ayat [1] KUHPidana Jo Pasal 55 Ayat [1] Ke-1 KUHPidana.

Pasal 170 ayat [1] terkait dengan tindak pidana pengeroyokan orang atau barang, sementara pasal 406 ayat [1] mengatur tentang tindak pidana perusakan barang milik orang lain dan pasal 55 ayat [1] ke-1 terkait dengan tindak pidana turut serta atau penyertaan. 

Merujuk dakwaan JPU, pada 29 Juli 2024 sekitar pukul 17.00 Wita, Romo Robertus Yan Faroka meminta Yohanes Berchmans, Philipus Pina Poin dan Fransiskus Yulius memasang plang pada empat titik di tanah HGU.

Keempatnya adalah HGU nomor Nomor 08/HGU/2023 di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura; HGU Nomor 09/HGU/2023 di Desa Runut, Kecamatan Waigete; HGU Nomor 10/HGU/2023  di Desa Runut, Kecamatan Waigete dan HGU Nomor 11/HGU/2023 di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura.

Plang tersebut bertuliskan “Tanah Ini Milik PT Krisrama Keuskupan Maumere” beserta dengan nomor dan luas lahan.

Setelah pemasangan itu, tiga orang suruhan Yan Faroka ini kembali ke Pastoran Santa Teresia di Gereja Stasi Nangahale.

Selanjutnya, pastor yang ditunjuk “mengurus, menjaga, mengelola dan memelihara” 10 bidang tanah Hak Guna Usaha [HGU] PT Krisrama oleh Uskup Maumere itu, bersama-sama dengan tiga orang suruhannya kembali ke lokasi untuk mengecek plang-plang yang sudah dipasang.

Pada saat yang sama, sekitar pukul 17.30 Wita, kedelapan terdakwa yang baru pulang dari kebun melihat adanya plang di lokasi HGU dengan Nomor 08/HGU/2023. 

Salah satu terdakwa, Yoseph Joni “secara spontan berjalan menuju ke papan plang tersebut dan berniat untuk mencabut papan plang tersebut”.

Kemudian terdakwa Magdalena Marta dan Maria Magdalena Leny, yang juga berada di lokasi dan “dua orang yang tidak dikenali,” bersama-sama, termasuk Yosep Joni, mencabut plang tersebut.

Setelah plang tersebut berhasil dicabut, Yosep Joni membawanya menuju ke arah barat dari kebun milik PT Krisrama. 

Di sana sudah ada beberapa orang yang menyiapkan daun kelapa kering yang didapatkan dari sekitar lokasi, lalu plang diletakkan di atas tumpukan kayu kering.

Terdakwa Yosep Joni, Germanus Gedo, Thomas Tobi dan Bernadus Baduk, kemudian melempari plang tersebut dengan batu. 

Terdakwa Yohanes Woga yang saat itu membawa sebilah parang juga memotong plang satu kali. 

Namun, aksinya berhenti setelah menyadari tiang plang terbuat dari pipa dan besi dan papan plang terbuat dari plat besi.

Tak lama setelah itu, terdakwa Nikolaus Susar yang juga berada di lokasi mengambil pelepah kelapa kering lalu membakar plang.

Menurut dakwaan JPU, aksi para terdakwa itu yang “secara bersama-sama merusak dengan menggunakan kekerasan terhadap plang milik PT Krisrama” disaksikan oleh Romo Yan Faroka dan tiga orang suruhannya yaitu Yohanes Berchmans, Philips Poin dan Fransiskus Yulius, serta masyarakat lainnya yang saat itu berada di lokasi.

Akibat tindakan para terdakwa, menurut dakwaan JPU, “plang milik PT Krisrama mengalami kerusakan dan tidak dapat lagi digunakan.”

Perusahaan milik Keuskupan Maumere itu, menurut JPU, menderita kerugian material sebesar Rp2 juta.

Greg Djako, salah satu kuasa hukum terdakwa berkata, pihak terdakwa berencana menghadirkan saksi ahli yaitu ahli pidana, ahli tata negara dan ahli masyarakat adat dalam sidang yang digelar pada 26 Februari.

Apa Konteks Perusakan Plang oleh Warga?

Perusakan plang tidak bisa dilepaskan dari konteks besar konflik agraria di wilayah itu yang memiliki akar sejarah yang panjang. 

Gereja Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama mengantongi sejumlah sertifikat HGU seluas 325 hektar pada 2023 di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura dan Desa Runut, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka. HGU itu merupakan kelanjutan dari HGU yang diperoleh pada 1989.

Menilik sejarahnya, tanah HGU itu merupakan bagian dari 1.438 hektar tanah yang dikuasai perusahaan kolonial Belanda, Amsterdam Soenda Compagni pada 1912.

Tahun 1926, tanah itu dibeli oleh Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden atau Vikariat Apostolik Ende, lembaga dalam Gereja Katolik untuk wilayah otoritas satu tahap sebelum pembentukan keuskupan.

Pada 16 Desember 1956 Vikariat Apostolik Ende melepaskan 783 hektar lahan itu kepada Pemerintah Swapradja Sikka untuk kepentingan masyarakat sebagaimana termuat dalam Surat VAE No. 981/V/56.

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, pengaturan kepemilikan tanah di Indonesia berubah. 

Sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Keuskupan Agung Ende melalui PT Diag mendapatkan Hak HGU pada 5 Januari 1989. 

HGU ini berlaku selama 25 tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk waktu 25 tahun.

Setelah keuskupan Maumere terbentuk pada 2005, aset HGU itu beralih dari Keuskupan Agung Ende ke Keuskupan Maumere. HGU tahun 1989 ini berakhir pada Desember 2013. 

Henderikus Jon, Danar Aswin, dan Abdullah dalam “Penyelesaian Konflik Tanah Eks Hak Guna Usaha” di Jurnal Genesis Indonesia [JGI] Vol. 2, No. 01, pp. 1-12, menyatakan, dinamika konflik tanah Nangahale ini terjadi antara lain karena terdapat perbedaan sejarah mengenai riwayat tanah versi masyarakat adat, PT Krisrama dan pemerintah daerah. 

Selain itu, juga terdapat beberapa situasi kontekstual yang memicu perjuangan masyarakat adat yaitu penyerahan tanah untuk relokasi pengungsi akibat gempa dan tsunami, bangkitnya kesadaran masyarakat adat seluruh Indonesia dan berakhirnya masa pengelolaan HGU oleh PT Krisrama.

Masyarakat adat, tulis kajian itu, meyakini dengan sungguh bahwa tanah eks HGU Nangahale adalah tanah ulayat. Karena itu mereka menuntut agar setelah berakhirnya masa kelola HGU pada 2013, tanah tersebut dikembalikan kepada mereka. 

Sementara untuk PT Krisrama, kepentingan yang masih tersisa dengan tanah eks HGU Nangahale adalah aset yang dimilikinya. 

Di samping itu, sejak berakhirnya HGU pada 31 Desember 2013, sesuai ketentuan, pengelola HGU dapat mengajukan permohonan pembaharuan HGU dengan mendapat hak istimewa.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA