Floresa.co – Lembaga internasional United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang bertanggung jawab terhadap status Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia kembali memberi peringatan kepada pemerintah Indonesia soal ancaman proyek bisnis di kawasan konservasi tersebut.
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menaungi urusan internasional terkait pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu merilis dokumen terbaru di situs resminya hanya beberapa hari usai pertemuan di Labuan Bajo yang merintis operasi rencana bisnis salah satu perusahaan.
Dalam pernyataannya, UNESCO mewanti-wanti pemerintah bahwa “tidak ada usulan pembangunan yang disetujui yang akan berdampak negatif pada Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value)” Taman Nasional Komodo dan kawasan sekitarnya.
OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.
Menurut UNESCO, investasi di kawasan itu mesti “memastikan sebuah pendekatan pariwisata berkelanjutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo demi melindungi OUV.”
Peringatan itu muncul di situs UNESCO usai pada 23 Juli PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), salah satu perusahaan yang mendapat konsesi bisnis di Pulau Padar dan Pulau Komodo, menggelar pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik di Golo Mori, Labuan Bajo.
Pertemuan itu merupakan bagian dari Environmental Impact Assessment (EIA) atau yang dikenal sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), hal yang juga menjadi catatan UNESCO kepada pemerintah Indonesia sebelumnya sebagai syarat yang mesti dilakukan dan dilaporkan sebelum memulai proyek, selain Strategic Environmental Assessment (SEA) atau Asesmen Lingkungan Strategis.
Pemerintah Indonesia telah menyerahkan dokumen SEA pada pada 2023, mengklaim bahwa konsesi bisnis di kawasan Taman Nasional Komodo merupakan bagian dari Rencana Manajemen Pariwisata Terpadu yang tidak mengganggu OUV.
Namun, dalam pernyataan terbaru yang diakses Floresa di web resminya pada 1 Agustus, UNESCO menyatakan, setelah menyimak dokumen SEA, lembaga itu “menemukan bahwa memang ada beragam potensi dampak dari Rencana Manajemen Pariwisata Terpadu yang dibuat pemerintah terhadap OUV Taman Nasional Komodo.”
Potensi dampak itu termasuk terkait usulan layanan dan infrastruktur pariwisata serta lima izin usaha di dalam kawasan.
Karena itu, UNESCO meminta Indonesia “mengimplementasikan temuan SEA untuk membuat keputusan yang memastikan sebuah pendekatan pariwisata berkelanjutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo demi melindungi OUV.”
Selain PT KWE yang menguasai 274,13 hektare di Pulau Padar dan 151,94 hektare di Pulau Komodo (Loh Liang) dengan konsesi perizinan sarana wisata, perusahaan lain yang mendapat konsesi serupa adalah PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) yang menguasai 22,1 hektar di Pulau Rinca dan PT Sinergindo Niagatama yang menguasai 6,490 hektar di Pulau Tatawa.
Terbaru, ada juga PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara yang mendapat konsesi untuk jasa wisata alam seluas 712,12 hektar yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya. Kedua perusahaan ini menggantikan PT Flobamor, perusahaan milik Pemprov NTT yang angkat kaki setelah hanya dua tahun beroperasi karena sejumlah kebijakan kontroversialnya yang ditentang warga setempat dan elemen sipil.
Selain itu, PT Palma Hijau Cemerlang (PT PHC) yang terkait dengan taipan Tommy Winata juga masuk ke kawasan itu. Perusahaan itu beroperasi di Pulau Padar melalui Perjanjian Kerja Sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) di kawasan seluas 5.815,3 hektar. Jenis bisnis perusahaan ini belum dijelaskan secara terang kepada publik. Dalam Bahasa Kepala BTNK, Hendrikus Siga, perusahaan itu akan “membantu konservasi”.
Sejumlah perusahaan itu mendapat konsesi sejak 2014, dua tahun usai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan perubahan zonasi Taman Nasional Komodo. Perubahan itu membuat sejumlah zona konservasi utama, yakni zona rimba, seperti di Pulau Padar, diubah menjadi zona pemanfaatan.
Selain itu, pada 2020, melalui Surat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor S.576/KSDAE/KK/KSA.1/7/2020, pemerintah tidak mewajibkan adanya kajian AMDAL bagi pembangunan sarana wisata di Taman Nasional Komodo.
Dalam pernyataannya pada 2023, UNESCO telah memberi catatan pada Pemerintah Indonesia soal perubahan zonasi itu yang tidak dilaporkan kepada lembaga tersebut dan soal tidaknya adanya kewajiban AMDAL.
Hal itu ditegaskan kembali dalam pernyataan UNESCO terbaru yang meminta pemerintah memastikan “semua proyek pengembangan yang diusulkan, termasuk yang terkait dengan lima izin usaha yang telah diterbitkan, dievaluasi secara tepat mengenai dampaknya terhadap OUV sesuai dengan Panduan dan Alat Bantu Penilaian Dampak dalam Konteks Warisan Dunia.”
Evaluasi tersebut, tulis UNESCO, dilakukan “sebelum mengambil keputusan yang sulit untuk ditarik kembali, termasuk melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan dan pemegang hak yang relevan sebelum persetujuan dan konstruksi proyek apa pun.”
UNESCO juga memberi catatan bahwa “penyesuaian zonasi saat ini dan di masa depan tidak akan berdampak negatif pada OUV” dan juga mengulang permintaan sebelumnya agar Indonesia “meninjau apakah zonasi saat ini dan pengembangan pariwisata yang dihasilkan memadai untuk memastikan status perlindungan dan OUV Taman Nasional Komodo serta menyerahkan hasilnya kepada Pusat Warisan Dunia untuk ditinjau oleh IUCN.”
IUCN merujuk pada International Union for Conservation of Nature (IUCN), organisasi internasional yang berfokus pada pelestarian alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan, yang pada 2021 menetapkan status konservasi satwa Komodo beralih dari sebelumnya “rentan” menjadi “terancam punah.”
Selain mengapresiasi klaim pemerintah bahwa populasi komodo tetap stabil, UNESCO meminta “melanjutkan pemantauan populasi secara berkala dan menerapkan langkah-langkah pengelolaan yang menjamin perlindungan jangka panjang spesies tersebut, terutama dalam konteks perluasan pariwisata.”
UNESCO juga memberi catatan untuk memperkuat pengelolaan kelautan, termasuk untuk menangani regulasi untuk kapal jenis liveaboard – yang menyediakan penginapan – dan kapal pesiar, serta perolehan pendapatan untuk pengelolaan kawasan.
Lembaga tersebut meminta Indonesia menyerahkan laporan terkini mengenai status konservasi Taman Nasional Komodo dan penerapan sejumlah catatannya paling lambat pada 1 Desember 2026.
Laporan itu, kata UNESCO, akan diperiksa oleh Komite Warisan Dunia pada sidang ke-49.
Langkah terbaru UNESCO itu diprediksi akan mengganjal upaya PT KWE dan perusahaan lainnya untuk mulai menjalankan usaha setelah beberapa tahun sebelumnya gagal karena gerakan perlawanan yang terus menguat dari masyarakat adat di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan berbagai elemen sipil.
Dalam paparan saat pertemuan pada 23 Juli, PT KWE berencana mendirikan pusat bisnis pariwisata dengan 619 bangunan di Pulau Padar. Ratusan bangunan itu mencakup 448 villa, 13 restaurant, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 m2, sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis) dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan).
Sejumlah sarana akan didirikan di atas lokasi seluas 274,13 hektare di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.
Kini, rencana perusahaan itu memantik protes dari publik, dengan tagar #SavePulauPadar yang mulai ramai di media sosial.
Padar adalah pulau ketiga terbesar di kawasan Taman Nasional Komodo, setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Lanskapnya yang khas, dengan bukit-bukit menjulang dan garis pantai berliku, membuat pulau itu menjadi destinasi favorit para wisatawan.
Editor: Ryan Dagur