Floresa.co – Polemik pembangunan sejumlah sarana pariwisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo memunculkan perbedaan pendapat antara wakil rakyat dengan pemerintah di tingkat pusat dan daerah.
Sejumlah anggota DPR RI mendesak agar proyek milik PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) itu dikaji ulang.
Di sisi lain, Kementerian Kehutanan mengklaim proyek tersebut tidak akan mengganggu kawasan, sementara Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berharap investasi itu bisa menambah pundi-pundi kas daerah.
PT KWE berencana mendirikan 619 bangunan, mencakup 448 vila, 13 restoran, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi dan sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis).
Selain itu, akan dibangun sebuah gereja yang dipakai untuk acara pernikahan (wedding chapel).
Dalam laporan Floresa.co berjudul “Para Pemburu Cuan di Pulau Padar,” orang-orang di balik perusahaan itu terhubung dengan Setya Novanto, koruptor dan eks Ketua DPR RI dan Tomy Winata, pebisnis yang punya rekam jejak bermasalah dalam proyek-proyek di tempat lain.
Izin PT KWE yang terbit pada 2014 muncul saat Setya Novanto masih aktif sebagai anggota DPR RI, sementara Tomy Winata mulai masuk saat NTT dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, yang punya relasi personal dan bisnis dengannya.
Selain konsesi di Pulau Padar seluas 274,13 hektare, izin PT KWE juga berada di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektare. Di samping PT KWE, terdapat perusahaan lain yang juga punya konsesi serupa di dalam Taman Nasional Komodo, yakni PT Segara Komodo Lestari (SKL) 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama (SN) 15,32 hektare di Pulau Tatawa.
Anggota DPR RI Kompak Menolak
Salah satu anggota DPR RI yang menentang proyek ini adalah Wakil Ketua Komisi VII, Rahayu Saraswati, yang juga politisi Partai Gerindra.
Ia berkata pada 7 Agustus, “sektor pariwisata Indonesia memang masih perlu berkembang karena masih kalah bersaing dengan Malaysia dan Thailand.”
Namun, kata dia, “kami sepakat pembangunan tidak dilakukan di Pulau Padar, melainkan diarahkan lebih dekat ke Labuan Bajo.”
Ia pun berkata, izin PT KWE perlu dikaji ulang secara komprehensif.
“Pariwisata harus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat lokal, sekaligus membuka peluang perputaran ekonomi dari wisatawan mancanegara,” ujar Rahayu, yang juga keponakan Presiden Prabowo Subianto.
Sikap yang sama juga dinyatakan oleh Kaisar Abu Hanifah, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Ia mendesak pemerintah menghentikan proyek tersebut karena mengancam kelestarian alam dan daya tarik utama wisata Labuan Bajo.
Pengembangan pariwisata, kata Kaisar, tidak bisa hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi harus ada prinsip keberlanjutan lingkungan dan pelestarian budaya.
“Jangan sampai karena alasan ekonomi, justru kita mengorbankan pesona alam yang menjadi daya tarik utamanya,” katanya.
Menurut Kaisar, pembangunan itu akan mengubah lanskap alami Pulau Padar yang selama ini dikenal sebagai ikon wisata NTT—bahkan diabadikan pada pecahan uang Rp50.000 edisi 2016.
Pulau Padar terkenal dengan pemandangan bukit hijau yang berpadu dengan laut biru, serta spot pendakian yang menyuguhkan panorama tiga teluk dengan pasir pantai berwarna putih, hitam, dan merah muda.
“Bayangkan jika keindahan yang mempesona itu tergantikan oleh ratusan vila dan bangunan lain. Keaslian alam akan hilang, dan pada akhirnya membunuh potensi pariwisata kawasan tersebut,” ujar Kaisar.
Sementara itu, Anggota DPR RI Komisi III, Benny Kabur Harman yang berasal dari daerah pemilihan NTT terlihat memposting ulang dua cuitan akun X @KawanBaikKomodo pada 11 Agustus.
Ia juga menulis pesan kepada akun itu yang gencar mengkritik proyek ini: “jangan gentar dibenci dan diancam sekalipun untuk menegakkan kebenaran, membela demokrasi, menjaga lingkungan dan mengawal heritage dunia.”
“Pulau Padar harus dikawal dan dilindungi dari nafsu serakah dan tangan2 kotor yg sekadar mengejar keuntungan. Save Pulau Padar, Save Komodo,” tulis Benny via akun resminya @BennyKaburHarman.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menyatakan akan memanggil Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni membahas polemik ini.
DPRD memiliki kewajiban meneruskan aspirasi masyarakat “agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” katanya pada 13 Agustus.
Suara DPRD Manggarai Barat
Penolakan serupa juga muncul dari anggota DPRD Manggarai Barat, Hasanudin, yang menyebut proyek tersebut mengancam habitat satwa purba Komodo serta merusak keseimbangan ekosistem kawasan konservasi.
“Aktivitas satwa pasti akan terganggu. Tidak boleh ada pembangunan masif di wilayah yang masuk zona taman nasional,” kata politisi Perindo itu.
Ia juga menyoroti aspek lingkungan, terutama potensi pencemaran laut akibat limbah dari vila-vila yang akan dibangun.
Hasanuddin juga menyinggung soal sorotan UNESCO dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang sejak 2021 telah mengeluarkan peringatan agar proyek-proyek yang membahayakan nilai warisan dunia di kawasan itu dihentikan.
“Kami tidak ingin hanya karena kepentingan korporasi justru mengorbankan banyak hal di Kabupaten Manggarai Barat,” katanya.
Selain Hasan, anggota dewan lainnya Ali Sehidun menyoroti kebijakan zonasi di Taman Nasional Komodo yang “selalu berubah-ubah” untuk kepentingan investasi.
“Kecemasan saya, pada saatnya nanti akan ada airport di dalam kawasan. Yang terjadi besok tidak bisa kita pastikan hari ini,” katanya.
Kementerian Kehutanan Klaim Tak Merusak Kawasan
Di tengah berbagai sorotan ini, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengklaim bahwa proyek di Pulau Padar tidak merusak lingkungan.
“Saya juga punya concern yang sama dengan masyarakat. Jangan sampai ada dampak pada masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Satyawan Pudyatmoko, menyatakan dokumen lingkungan untuk PT KWE yang telah dibahas dalam pertemuan di Labuan Bajo pada 23 Juli akan dinilai oleh UNESCO.
“Apakah mengganggu Outstanding Universal Lalue (OUV) atau enggak? Kalau tidak, oke. Kalau mengganggu, apakah harus ada modifikasi, jumlahnya dikurangi, luasan dikurangi atau ada bentuk-bentuk lain,” katanya.
OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.
Satyawan berkata, “nanti kami menunggu keputusan dari UNESCO.”
Pemkab Manggarai Barat Berharap Ada Pendapatan
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menyatakan dukungan pada investasi itu, berharap akan berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak dan ada penyerapan tenaga kerja lokal.
“Kenapa kita tidak menolak? Karena ada tarikan pajak hotel dan restoran, pajak hiburan dan PBB, jadi banyak yang kita bisa dapatkan,” kata Maria Yuliana Rotok, Kepala Badan Pendapatan Daerah Manggarai Barat kepada Floresa pada 5 Agustus.
Manggarai Barat, kata dia, akan menerima manfaatnya selama tidak ada keputusan dari pemerintah pusat yang mencabut kewenangan pemerintah daerah menarik pajak di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
“Sejauh ini regulasi untuk membatasi kewenangan pemungutan pajak tu belum ada. Jadi, perspektif kami melihat sisi positifnya, bahwa itu menjadi potensi baru,” kata Yuliana.
Senada dengan Yuliana, Kepala Dinas Pariwisata, Stefanus Jemsifori menyebut, proyek itu bisa menyerap tenaga kerja lokal.
“Kalau sekarang kita harus teriak (menolak) sementara sebenarnya penataan itu ada baiknya, kenapa kita harus tolak?” kata Stefanus kepada Floresa pada 6 Agustus.
Ia menjelaskan, selain penyerapan tenaga kerja, pembangunan itu merupakan upaya carrying capacity atau pembatasan jumlah wisatawan yang dapat diterima di Pulau Padar.
“Lima tahun terakhir ini pada masa high season kunjungan ke Pulau Padar seperti pasar,” kata Stefanus.
“Pulau Padar dengan panorama yang begitu indah akhirnya kelihatan murah,” tambahnya.
Menurut Stefanus, penerapan carrying capacity di kawasan Taman Nasional bakal menguntungkan pemerintah daerah karena wisatawan akan mencari alternatif di tempat lain.
“Wisatawan yang tadi fokus berkunjung ke Taman Nasional kemudian akan berkunjung ke desa wisata sehingga uang kemudian terbagi-bagi,” katanya.
Ia berkata, dengan adanya batasan kunjungan ke Pulau Padar, tamu-tamu yang berkunjung ke kawasan merupakan “tamu-tamu berkelas.”
“Daripada mengurus 1.000 orang tetapi hanya bawa uang 100 juta, mending urus 10 orang tetapi bawa 500 juta. Lebih simpel. Efek lingkungannya kecil, sampahnya tidak banyak,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah tetap mengingatkan PT KWE agar apapun rencana pembangunan di Pulau Padar jangan sampai mengabaikan kelestarian lingkungan.
“Hal itu kami selalu sampaikan,” kata Stefanus
Sorotan UNESCO dan Penolakan Elemen Sipil
Proyek ini menuai protes dari berbagai elemen dan sorotan dari UNESCO yang bertanggung jawab terhadap statusnya sebagai Situs Warisan Dunia karena dinilai berbahaya bagi masa depan habitat Komodo.
Kendati konsesi perusahaan-perusahaan ini berada di zona pemanfaatan, namun pemerintah memberikan konsesi usai “diam-diam” memperluas zona pemanfaatan pada 2012 dan tidak dilaporkan kepada UNESCO.
Dalam zonasi sebelum tahun 2012 misalnya, Pulau Padar seluruhnya adalah zona inti dan zona rimba, yang tidak diperbolehkan bagi kegiatan bisnis. Usai utak-atik zonasi, konsesi pun digelontorkan.
Dalam pernyataan terbaru pada bulan lalu, UNESCO meminta pemerintah “membuat keputusan yang menjamin pendekatan pariwisata yang berkelanjutan—baik di Taman Nasional Komodo maupun di kawasan sekitarnya—dengan tujuan melindungi Nilai Universal Luar Biasa” kawasan itu.
Selain itu, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menegaskan bahwa “tidak ada konsesi atau proyek pembangunan yang disetujui tanpa penilaian yang tepat dan tidak ada persetujuan dikeluarkan untuk proyek-proyek yang akan berdampak negatif terhadap Nilai Universal Luar Biasa.”
Saat ini sebuah petisi yang mendesak pembatalan rencana PT KWE juga beredar di platform daring Change.org. Sejak diluncurkan pada 9 Agustus, petisi bertajuk Selamatkan Taman Nasional Komodo dari Pengrusakan oleh Konsesi Pusat Bisnis Wisata itu telah diteken lebih dari 5.000 orang.
Diinisiasi Forum Masyarakat Sipil Flores, petisi itu mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan segera mencabut konsesi perusahaan-perusahaan di Taman Nasional Komodo dan menghentikan semua rencana mereka.
Sementara kepada UNESCO, petisi itu mendesak agar lembaga itu “terus konsisten menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan Situs Warisan Dunia dan tidak memberikan persetujuan atas rencana Pemerintah Indonesia.”
Dalam pernyataannya baru-baru ini, Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksimus Regus menyoroti ancaman terhadap masa depan pariwisata di Labuan Bajo karena pendekatan eksploitatif, mengibaratkannya sedang menyiapkan kuburan bagi generasi masa depan.
Kendati tidak menyinggung eksplisit polemik proyek di Pulau Padar, menurutnya, pendekatan terhadap pariwisata saat ini “perlu mendapatkan perhatian kritis kita semua.”
“Adalah sesuatu yang membahayakan masa depan pariwisata Labuan Bajo ketika profit-oriented (orientasi keuntungan) sebesar-besarnya cenderung menggoda kita dalam menerapkan pendekatan eksploitatif yang pasti mencederai makna keberlanjutan dari keindahan pariwisata,” katanya pada 9 Agustus dalam sambutan saat membuka Festival Golo Koe 2025, sebuah acara pariwisata religi dan budaya yang diinisiasi Gereja Katolik.
Ia mengingatkan bahwa “bukan karena kita memiliki kapasitas untuk mengeksplorasi—lalu kita melakukannya tanpa memperhitungkan masa depan lingkungan hidup—dan kemudian menjadikan kawasan ini sebagai kuburan bagi generasi masa depan.”
Laporan ditulis oleh Doroteus Hartono dan Venansius Darung
Editor: Ryan Dagur