Mengapa Perempuan Poco Leok Ada di Garis Depan Melawan Proyek Geothermal?

Perempuan di Poco Leok tercatat sudah sekitar lima kali melakukan aksi penghadangan terhadap aktivitas petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara - yang hendak mengerjakan proyek geothermal - dan pejabat dari Pemerintah Kabupaten Manggarai.

Oleh: Anno Susabun, peneliti, tim Litbang Floresa

Elisabeth Lahus [56] sedang asyik menonton video di layar telepon seluler milik seorang pemuda di dapur rumah Heribertus Jebatu di Kampung Lungar Desa Lungar, Poco Leok, Sabtu pagi, 4 Maret 2023.

Ibu delapan orang anak itu – dua di antaranya sudah meninggal – tengah menyaksikan kembali aksi dirinya bersama perempuan lain saat berupaya menghadang Bupati Manggarai, Herybertus Nabit ketika berkunjung ke kampung mereka akhir bulan lalu.

“Kami tidak pernah takut berjuang untuk masa depan anak dan cucu-cece kami,” katanya, dengan tatapan yang tetap mengarah pada video itu.  “Waktu itu kami sambut beliau [dengan ucapan] ‘Selamat datang, Pak Bupati’, lalu langsung teriak ‘Tolak, tolak, tolak!'” kenangnya.

Korida Jehanut [50], perempuan lainnya yang sedang bersama Elisabeth pagi itu merasa terharu dengan aksi spontan mereka.  “Baru kali ini banyak kaum perempuan dan ibu-ibu terlibat dalam aksi seperti ini,” katanya.

Elisabeth dan Korida adalah dua dari puluhan perempuan Poco Leok yang berada di garis depan melawan proyek geothermal, yang mereka sebut merupakan bagian dari pengrusakan ruang hidup mereka.

Elisabeth Lahus menerobos barisan ketat polisi dan TNI untuk bicara langsung pada Bupati Hery Nabit di Aula Stasi Lungar, 27 Februari 2023. (Foto: Floresa.co)

Mereka tercatat sudah sekitar lima kali melakukan aksi penghadangan terhadap aktivitas petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] yang hendak mengerjakan proyek itu dan dari Pemerintah Kabupaten Manggarai.

Aksi penghadangan terhadap Bupati Nabit pada 27 Februari yang kemudian viral merupakan ekspresi kekecewaan mereka setelah ia menerbitkan izin lokasi proyek itu pada Desember tahun lalu, mengabaikan suara penolakan yang berulang kali mereka sampaikan.

“Masalah kita sama, dampak buruk geothermal akan membahayakan kita semua, bukan hanya kaum laki-laki,” kata Elisabeth, menjelaskan alasan mereka tidak mau tinggal diam.

Upaya Paksa Perluasan PLTP Ulumbu

Poco Leok berada di tiga kilometer sebelah timur PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012. Wilayahnya mencakup 14 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.

Proyek geothermal di desa ini merupakan bagian dari upaya menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW. Lokasi pengeboran (wellpad) yang ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung itu. 

Penelusuran kami di lapangan pada 2 – 7 Maret 2023, wellpad D berada di tanah ulayat atau Lingko Tanggong milik warga Gendang Lungar, wellpad F di Lingko Rembong milik warga Gendang Ncamar, dan wellpad G di Lingko Lapang milik Gendang Mocok. Sementara wellpad E yang diduga berada di Lingko Pinis milik Gendang Lelak belum berhasil kami telusuri. 

Menurut warga, sejak dua hingga tiga dekade silam, banyak lokasi lainnya yang menjadi tempat pengambilan sampel, percobaan pengeboran, dan titik-titik survei oleh pihak PLN di hampir semua kampung di Poco Leok.

Beberapa tokoh adat menjelaskan, tim survei lapangan sudah mencapai wilayah itu sejak tahun 1980-an, bersamaan dengan pengecekan lokasi untuk PLTP Ulumbu. 

Dalam semua proses tersebut yang berlangsung hingga tahun 2022, pihak yang mereka sebut ‘orang-orang asing’ tersebut tidak meminta izin kepada mereka. 

“Mereka masuk saja ke kebun kami, tanpa permisi, bahkan memotong tanaman di dalamnya sembarangan,” demikian kesaksian seorang warga.

Tadeus Sukardin, warga Lungar mengatakan, aktivitas survei lahan di wilayah mereka sejak tahun 2016 berlangsung dalam ketidaktahuan warga. “Mereka leluasa karena warga tidak merasa ada masalah,” ungkapnya.

Ketika ada warga yang mempertanyakan aktivitas mereka itu, siasat wacana pembangunan infrastruktur dimainkan pihak PLN, kata Tadeus. Ia mencontohkan saat pengambilan sampel tanah tahun 2021, “mereka bicara soal energi listrik.”  “Karena beberapa kampung belum teraliri listrik, warga merasa akan ada berkat,” katanya.

Setelah mengetahui potensi bahaya proyek itu, dengan mempelajari masalah yang muncul di lokasi proyek geothermal lainnya di Indonesia, akhir-akhir ini, warga lalu mulai menyatakan penolakan secara terbuka.

Sejak pertengahan tahun 2022 misalnya warga Kampung Mocok melakukan aksi penghadangan terhadap petugas survei dari PLN. Peralatan yang mereka gunakan juga disita warga, disimpan di Rumah Gendang Mocok, lalu kemudian diserahkan kepada polisi.

Dalam beberapa waktu terakhir, di tengah perlawanan warga yang makin intens, PLN, dibantu pihak Pemda Manggarai, dikawal aparat polisi dan TNI, terus berupaya menggolkan proyek itu. Sosialisasi juga terus dilakukan, sembari melakukan pendekatan personal kepada beberapa pemilik lahan dan tua adat setempat.

Kami juga mendapat pengakuan warga perihal manipulasi informasi oleh PLN terhadap beberapa tua gendang yang sekaligus pemilik lahan. Selain itu, warga penolak mengaku tidak diundang dalam sosialisasi. Yang diundang, kata mereka, “hanya kelompok pro yang kebanyakan tinggal di luar Poco Leok.”

Perempuan di Garis Depan

Hal yang membuat menarik dalam beberapa kali upaya penghadangan terhadap upaya paksa pemerintah adalah tampil aktifnya kelompok perempuan.

Ketika kami menemui beberapa perempuan Poco Leok dalam kunjungan ke beberapa kampung pada 2 – 7 Maret, kekhawatiran akan kerusakan ruang hidup, tanah, masa depan anak cucu, dan kemarahan leluhur akibat ulah menjual tanah pusaka kepada perusahaan menjadi poin yang menjahit kemarahan kaum perempuan. Kemarahan tersebut bertumbuh secara spontan dan organik atas dasar kekhawatiran yang sama.

Kami menemukan beberapa alasan yang mereka sampaikan.

Pertama, arti penting tanah sebagai ruang yang memberikan kehidupan, sumber nafkah. Bagi warga yang sebagian besar adalah petani, tanah memberikan jaminan ekonomi yang membuat mereka mampu bertahan hidup, termasuk menyekolahkan anak hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Memang, menurut penuturan mereka, produktivitas kopi dan cengkeh, komoditas unggulan dari bumi Poco Leok sudah kian berkurang – beberapa warga menganggap itu mulai terjadi sebagai dampak aktivitas PLTP Ulumbu.

Namun, sebagaimana temuan lapangan kami, harapan akan tanah sebagai jaminan ekonomi tetap dipertahankan secara optimis oleh warga. Sebagian besar warga juga menggantungkan hidupnya sebagai penyadap aren dengan penghasilan rata-rata sekitar 150 ribu rupiah per hari.

Maria Teme, perempuan asal Lungar, mengatakan tanah Poco Leok sampai hari ini memberikan mereka kehidupan dari hasil ubi, jagung, pisang, aren, dan sedikit padi. 

“Untuk apa lagi mengganggu tanah kalau hasilnya adalah kehilangan hidup?” ungkapnya.

Maria Teme menyuarakan aspirasinya dalam aksi protes pada 27 Februari 2023. (Foto: Floresa)

Kedua, di samping tanah sebagai sumber penghidupan, kosmologi orang Manggarai mengenal tanah sebagai ‘ibu’ yang memberi hasil bumi dan langit sebagai suaminya [langkok laing tana, tendeng laing awang].

Elisabeth Lahus menyatakan “tana hitu ende dami”: tanah adalah ibu kami.

Pandangan orang Manggarai tentang “tana wa, awang eta” [tanah di bawah, langit di atas], menurut Yustina Nunjung, ibu asal Kampung Mocok, sangat penting dipertahankan, sebab dari pandangan itu lahir kesadaran untuk menghargai tanah. 

“Jika tanah itu terluka, hati kami kaum ibu juga terluka,” katanya.

Pernyataan Yustina beralasan, sebab sebagian besar pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dari tanah dan mata air, demi ‘asap dapur yang tetap mengepul’ dikerjakan oleh kaum ibu.

Dalam kaitan dengan “tana wa” tersebut, mata air juga menjadi salah satu hal penting yang mengikat manusia dengan tanahnya. 

Maria Suryanti Jun, asal Mocok, mengaku cemas jika proyek geothermal menghancurkan beberapa mata air di sekitar kampung tersebut, misalnya Wae Nobak, Wae Lapang [sekitar 100 m dari titik wellpad G], Wae Sower, Wae Kilo Manuk, Wae Lanteng, dan Wae Ruka.

Ketiga, penghargaan yang tinggi terhadap leluhur.

Sebagian besar perempuan yang kami temui juga mengatakan menolak geothermal karena alasan merusak kubur nenek moyang. 

Wihelmina Sesam, asal Lungar, mengatakan titik wellpad F terletak sangat dekat dengan kuburan leluhurnya di Bangka Mesir. Bangka adalah istilah untuk bekas kampung.

“Sebagai orang Manggarai, kita tentu tahu bahwa kubur leluhur tidak dapat begitu saja kita buang demi mendapatkan uang,” ungkapnya.

Wihelmina Sesam [baju oranye] dan seorang anak perempuannya [baju merah] ikut dalam aksi pada 27 Februari 2023. (Foto: Floresa.co)
Keempat, perempuan Poco Leok sudah mendapat cukup informasi tentang pitensi jenis bencana yang akan menjadi dampak buruk geothermal bagi ruang hidup mereka, yaitu longsor, gempa bumi picuan, penurunan dan keretakan tanah. Dampak lainnya berkaitan dengan kesehatan, khususnya penyakit infeksi saluran pernapasan.

Perwakilan warga juga sudah ke Mataloko di Kabupaten Ngada, salah satu titik proyek geothermal yang kemudian ditinggalkan pemerintah, sementara warga kini terus merana setelah munculnya semburan asap dan di lahan-lahan pertanian mereka.

Wilhelmina khawatir karena di daerah Poco Leok bencana longsor dan penurunan tanah selalu terjadi hampir setiap tahun, apalagi ketika proyek geothermal itu dijalankan.

Dalam beberapa kali sosialisasi, merespons kekhawatiran warga seperti yang disampaikan Wilhelmina, pemerintah dan PT PLN memang tidak menjelaskan secara tegas bentuk tanggung jawab mereka jika bencana seperti itu bakal terjadi.

Ini Soal Kehidupan

Sementara masyarakat Manggarai, juga di NTT umumnya masih kental dengan budaya  patriarki yang mengutamakan kaum laki-laki dan menomorduakan perempuan, keberanian perempuan Poco Leok memberi pesan penting, bahwa yang dipertaruhkan dari proyek semacam ini adalah soal kehidupan dan karena itu mereka tidak bisa memilih diam, membiarkan hanya kaum laki-laki yang berjuang.

Perjuangan kaum perempuan yang ‘hidup mati demi ruang hidup’, demikian suara mereka, tidak mau mereka tawar-tawar, dengan apapun.

Bagi mereka, kesatuan ruang hidup budaya, yaitu Gendang [rumah adat], Lingko [tanah ulayat], Mata Wae [mata air], Compang dan Natas [altar sesajian dan halaman kampung], serta Boa [kuburan] tidak dapat dipisahkan. 

Karena itu, mereka berdiri tegak, menyatakan dengan lantang bahwa mereka tidak mau kehilangan itu semua demi investasi, yang alih-alih memberi mereka jaminan untuk masa depan yang lebih baik, malah melahirkan kecemasan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya