BerandaREPORTASEMENDALAMDemi Loloskan Proyek Geothermal...

Demi Loloskan Proyek Geothermal di Poco Leok, Pemerintah Diduga Manipulasi Informasi dan Abaikan Warga yang Menolak

Warga Poco Leok menuding pemerintah melakukan manipulasi dan mengabaikan warga yang menolak proyek geothermal, sementara pemerintah bersikeras terus melanjutkan proyek itu.

Floresa.co – Demi meloloskan proyek geothermal di wilayah Poco Leok, pengembangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, pemerintah melakukan berbagai upaya, termasuk diduga melakukan manipulasi informasi dan tidak melibatkan masyarakat yang menentang proyek itu dalam rangkaian kegiatan sosialisasi, demikian pengakuan warga.

Sementara itu, pemerintah mengklaim akan terus melanjutkan proyek itu, kendati masih ada warga yang menolak.

Perluasan proyek geothermal ke Poco Leok, daerah pegunungan yang berjarak 3 kilometer ke arah timur dari PT Ulumbu adalah dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW, menurut pemerintah.

Perluasan proyek PLTP Ulumbu – pembangkit listrik yang beroperasi sejak 2012 ini –  juga terjadi menyusul penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017, yang mendorong eksploitasi di beberapa tempat, termasuk di Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dan Mataloko di Kabupaten Ngada, yang juga mendapat resistensi warga.

Wilayah Poco Leok yang menjadi sasaran perluasan mencakup 13 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Lokasi pengeboran (wellpad) yang ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung itu.

Dugaan Manipulasi

Floresa.co menemui  Hendrikus Hadu [65] yang sedang duduk santai bersama istri dan anaknya di rumah mereka di Kampung Bea Nanga, Desa Lungar, Selasa, 25 Oktober 2022.

Rikus, sapaannya, adalah salah satu warga yang memiliki kebun di lahan (lingko) Mesir, salah satu wilayah yang akan menjadi lokasi pengeboran.

Awalnya, ia bersama beberapa warga lainnya, yakni Frans, Gena dan Wanus yang memiliki lahan di Lingko Mesir menentang proyek itu. Mereka tidak mengizinkan kebun mereka yang berada di antara kebun warga lainnya yang telah menerima proyek itu untuk diberikan kepada perusahaan.

Namun, kini ia mengatakan telah merelakan lahannya, meski hal itu ia akui sebagai keputusan yang diambil secara terpaksa dan karena menjadi korban manipulasi informasi oleh tim dari pihak Perusahan Listrik Negara (PT PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai.

“Alasan awal saya menolak adalah karena memikirkan nasib anak cucu. Tanah tidak diciptakan seperti menganyam atau menciptakan nyiru, lalu diberikan kepada anak. Tanah adalah warisan leluhur,” katanya.

Penolakannya terhadap proyek itu, kata dia, membuat pihak PLN mendatangi dirinya dan rekan-rekannya tiga kali untuk memberi gambaran bahwa lahan mereka berada di tengah-tengah lahan warga pendukung proyek dan tentu akan terkena dampak jika proyek itu berjalan.

Ia mengatakan, karena mereka masih konsisten menolak, PLN kemudian memanipulasi informasi.

Tudingan Rikus terkait langkah PLN yang menemui dirinya dan Gena, saudaranya, yang tinggal di Kampung Lengkong, di mana mereka masing-masing diberitahu bahwa salah satu dari mereka sudah menyerahkan lahannya.

“Mereka bilang [kepada Gena], Rikus sudah menyerahkan lahan dan menandatangani persetujuan, padahal tidak ada. Kemudian mereka kembali menemui saya dan katakan bahwa Bapak Gena sudah menyerahkan lahan dan menandatangani bukti persetujuan.”

Rikus mengatakan, pihak PLN menjual namanya kepada Gena supaya Gena memberikan tanda tangan bukti persetujuan, demikian juga sebaliknya.

Ia mengatakan, ketika dia kemudian bertemu Gena, mereka baru menyadari bahwa mereka telah dimanipulasi.

Karena menyadari menjadi korban manipulasi, Rikus mengatakan tidak akan melepaskan lahannya dengan mudah sebelum ada kepastian terkait ganti rugi.

Ia mengatakan, ia memang telah difoto oleh tim dari PLN dan Pemkab Manggarai dengan latar belakang lahannya untuk memastikan kebenaran kepemilikan, “tetapi mereka belum membicarakan harga lahan beserta kalkulasi ekonomi komoditi di dalamnya.”

“Di lahan saya, ada kopi, vanili, cengkeh dan lain-lain,” ungkap ayah enam anak ini.

Menurutnya, jika lahan tersebut tidak dibayar senilai satu miliar rupiah yang diserahkan secara tunai, ia tidak akan menyerahkannya kepada PLN.

Dalam desain tapak PLN, Lingko Mesir masuk dalam Wellpad F. Titik pengeboran di lingko ini berbatasan langsung dengan rumah warga Kampung Bea Nanga dan Kampung Mesir di sebelah utara.

Berada di puncak bukit, titik ini juga berbatasan dengan Kampung Mori, Mocok, dan Mucu di dasar lereng sebelah selatan, Kampung Nderu di dasar lereng sebelah timur, dan Kampung Rebak di dasar lereng sebelah barat. Kampung Tere dan Lungar juga di sebelah barat, tetapi posisinya sejajar di ketinggian.

Selain Wellpad F di Lingko Mesir, perluasan PLTP Ulumbu juga menyasar Wellpad D di wilayah Lingko Tanggong, lahan adat Kampung Lungar, Desa Mocok, dan Wellpad E di wilayah Kampung Cako, Leda dan Lelak, Desa Lungar.

Kampung Cako dan Leda di lereng bukit, tampak dalam foto dari Kampung Mesir. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Sebelumnya, Wellpad D direncanakan berada di Kampung Mocok, tetapi ditolak oleh seluruh warga kampung.  Mereka bahkan pernah menyita peralatan tim PLTP Ulumbu yang mengadakan survei di lahan mereka tanpa sepengetahuan warga kampung.

Tidak Dilibatkan dalam Sosialisasi

Sementara warga seperti Rikus mengklaim dimanipulasi, warga lainnya di Kampung Mesir, Agustinus Egot [62 tahun] mengatakan ia tidak pernah lagi diundang untuk acara sosialisasi proyek ini setelah menyatakan penolakan tegas saat sosialisasi pertama pada tahun lalu oleh PLN di Gereja Katolik Stasi Lungar.

Agustinus memiliki lahan di Lingko Belang, di lereng bukit yang berbatasan langsung dengan Lingko Mesir.

“Kami selama ini tidak dilibatkan sidang di [kantor] desa, atau di manapun. Mereka tidak pernah datang ke sini [untuk mengundang],” akunya.

Agustinus mengatakan, ia mengambil sikap tegas menolak proyek itu karena mengancam ruang hidup seluruh warga Poco Leok.

Ia mengatakan, di lahan yang akan dibor terdapat kuburan leluhur Kampung Mesir.

Saat mengunjungi wilayah itu pada Rabu, 26 Oktober 2022, Floresa.co memang menemukan tanda-tanda adanya kuburan tersebut, seperti batu-batu yang tersusun rapi di atas tanah.

Agustinus mengatakan batu-batu tersebut konon diletakkan di atas kuburan agar jenazah tidak digali kembali dan dimakan anjing.

Ia menegaskan, selain merusak ruang hidup, dengan memberikan lahan untuk pembangunan geothermal sama dengan menelantarkan nasib anak cucu di masa mendatang.

“Ke mana anak cucu saya untuk bekerja di masa depan? Itu salah satu standar untuk saya, ingat dengan masa depan anak cucu,” kata pensiunan Sekretaris Desa Gara, Kecamatan Satar Mese itu.

Dalam sosialisasi awal, kata dia, pihak PLN memberi tahu warga bahwa proyek geothermal tidak membawa dampak buruk.

Akan tetapi, “setelah saya lihat di televisi, kebanyakan di Jawa Tengah, di Sumatera, di tempat pengeboran itu terjadi ledakan dan semburan lumpur.”

“Cepat atau lambat, bahaya itu tidak hanya menimpa saya, tetapi juga banyak warga lainnya,” katanya.

Menurutnya, tanah Poco Leok sangat labil dan rentan terkena bencana sehingga warga tidak memiliki tempat lain yang dapat dijadikan pemukiman yang ada saat ini.

“Jangan hanya pikirkan diri sendiri, karena jika terjadi pipa pecah atau [ada] kebocoran, apakah itu tidak merugikan masyarakat luas, khususnya saya yang dekat dengan lahan mereka?”

Hal lainnya yang membuat ia menolak adalah munculnya rencana pembangunan jalan untuk kepentingan proyek di lereng bukit yang tidak jauh di belakang rumahnya.

“Kalau terjadi pembangunan jalan, kami akan tinggal di mana, dan kasihan, ada kubur ayah dan ibu saya di sana,” katanya.

Perihal tidak dilibatkan dalam sosialisasi proyek ini juga diakui oleh Servas Onggal [29], pemuda adat Kampung Lungar.

“Pada sosialisasi awal, memang semuanya dilibatkan, termasuk kami beberapa tokoh muda. Namun dalam perjalanan waktu, ketika diadakan sosialisasi baik yang dilakukan di sini maupun di tempat lain seperti di Ruteng, tokoh muda dan beberapa perwakilan masyarakat, perempuan, dan anak-anak sama sekali tidak dilibatkan,” katanya.

Wae Coneng, salah satu sungai di sekitar Wellpad D, Lingko Tanggong milik warga adat Lungar. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

“Dan yang justeru dilibatkan atau diundang, terutama dalam beberapa pertemuan terakhir ini adalah masyarakat yang pro geothermal dan masyarakat yang tidak terdampak karena mereka tinggal di luar [Poco Leok], tetapi punya tanah di sini,” tambahnya.

Menurutnya, setiap tujuan yang baik harus menggunakan cara-cara yang baik pula, tidak dengan menghalalkan segala cara.

Agus Karno [25], pemuda adat lainnya menyayangkan sikap PLN dan Pemda Manggarai yang tidak lagi melibatkan masyarakat Mocok yang menolak pengeboran geothermal di wilayah adat mereka untuk mengikuti sosialisasi.

Padahal, kata dia, warga Mocok akan sangat merasakan dampak buruk geothermal, sebab berada di lembah yang akan menjadi daerah pembuangan material galian dan aliran limbah proyek.

“Hak untuk hidup juga dimiliki oleh warga Kampung Mocok, sehingga mereka perlu mendengar penjelasan tentang dampak-dampak pembangunan geothermal ini. Dengan demikian, menurut kami di sini ada pengabaian hak masyarakat yang tinggal di pedalaman Poco Leok ini,” ungkapnya.

Warga lainnya dari kampung Nderu, Desa Lungar, Agustinus Tuju [50 tahun], mengatakan pihak PLN dan Pemda hanya mendekati tokoh-tokoh tertentu yang dianggap memiliki kekuatan sosial di tengah masyarakat Poco Leok.

Bahkan, kata dia, belakangan ini muncul pula beberapa tokoh yang mengklaim diri sebagai Tua Gendang [tua adat], yang kemudian dipakai oleh pihak geothermal untuk mempengaruhi masyarakat.

“Ini baru mulai, sudah ada indikasi rebut jabatan tua adat, rebut batas lahan, dan lain-lain,” katanya.

Apa Kata Pemerintah?

Sejauh ini, PLN dan pemerintah sedang melakukan tahap terakhir identifikasi lahan, dengan mengambil foto pemilik lahan dengan latar belakang lahan milik masing-masing.

Hal itu dilakukan bersama dengan beberapa pejabat Kabupaten Manggarai pada Selasa, 25 Oktober 2022, termasuk Kepala Bagian Pembangunan, Nobertus Caling dan Kepala Bagian Ekonomi, Kanisius Tonga.

Kanisius Tonga, Kepala Bagian Ekonomi Setda Kabupaten Manggarai mengatakan, proyek geothermal ini seharusnya didukung oleh seluruh masyarakat Poco Leok.

Menurutnya, riak-riak perlawanan masyarakat memang ada, tetapi tidak berhasil menghalangi proses yang dilakukan PLN bersama Pemda Manggarai.

“Dalam perjalanan, sejak identifikasi oleh manajemen PLN, riak-riak itu muncul tetapi tidak sampai mencuat dan menghalangi proses yang sedang berlangsung,” ungkapnya.

Kanis yang juga menjadi tim identifikasi lahan untuk proyek ini mengatakan bahwa pihak PLN dan Pemda hanya mementingkan pemilik lahan yang menerima proyek geothermal.

“Prinsipnya, kalau pemilik lahan itu kasih, ngapain yang diluar itu. Okelah sebagai sebuah komunitas pasti iya, tapi kuncinya ada di pemilik lahan itu. Sejauh ini, semua pemilik lahan tidak bermasalah, mereka wellcome dengan program ini,” tambahnya.

Berbeda dengan Kanis, Servas mengatakan, PLN dan Pemda, tidak bisa hanya hanya mementingkan pemilik lahan yang menerima proyek karena geothermal dapat menghancurkan keutuhan ruang hidup, sosial, ekonomi, dan budaya seluruh masyarakat Poco Leok.

Agustinus Egot dan Servas Onggal di Lingko Mesir. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Agustinus juga mengaku bingung dengan keputusan warga lainnya memberikan lahan.

“Kalau lahan mereka dijadikan lokasi bor, saya tidak punya jalan masuk ke lahan saya,” ungkapnya.

Kebingungan lainnya, kata dia, terkait kepada siapa mereka mengadu ketika lahannya hancur akibat pengeboran di lahan sekitar.

“[Apakah] kepada pemilik lahan, pemerintah desa, atau kepada pihak geothermal?” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga