Tudingan Separatis Perburuk Pelanggaran HAM di Papua

Floresa.co – Sebuah buku terbaru yang dirilis Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) di Jakarta, Rabu (7/5/2015) menyoroti  pola pendekatan polisi terhadap persoalan di Papua, dimana didominasi pendekatan keamanan karena melihat semua gejolak sosial sebagai bagian dari gerakan separatis.

Menurut Imparsial, dalam buku berjudul, “Evaluasi Peran Polri di Papua”  itu, stigma separatis membuat kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan baik polisi maupun TNI menjadi sesuatu yang banal.

“Kondisi ini terjadi selama bertahun-tahun dimana hasilnya adalah menyisakkan luka dan trauma bagi warga Papua, khususnya korban,” demikian  laporan ini sebagaimana dilansir Ucanews.com.

Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan dalam diskusi ini, de facto di Papua memang ada kelompok yang tidak menyetujui integrasi ke Indonesia, di mana ada yang melakukan perlawanan bersenjata dan ada yang melalui cara-cara damai.

“Namun, melihat Papua semata dari sudut isu separatisme merupakan sebuah kekeliruan,” katanya.

“Masih ada faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya, yang salah satunya adalah pengalaman buruk warga ang selama bertahun-tahun menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Ditambah lagi dengan persoalan kesejahteraan, kebijakan yang dikriminatif dan lain-lain”

Cara pandang yang melihat separatisme sebagai satu-satunya pemicu konflik di Papua, kata dia, membuat pemerintah mengkaitkan semua gejolak sosial sebagai bagian dari separatisme.

“Hal ini menjadi pintu masuk bagi penggunaan pendekatan keamanan, yang diakui ataupun tidak oleh pemerintah, masih terus dijalankan di Papua dengan alasan separatisme.”

Poengky juga menegaskan, kondisi ini diperparah oleh pola pikir polisi yang datang ke Papua.

“Mereka pada umumnya telah memiliki paradigma yang negatif tentang Papua, bahwa Papua merupakan daerah separatis yang perlu diwaspadai. Hal ini menyebabkan polisi yang berada di lapangan cenderung melakukan kekerasan dan penganiayaan karena merasa bahwa tindakan mereka tersebut dibenarkan oleh slogan ‘NKRI harga mati’ dan ‘separatisme harus dibasmi sampai ke akar-akarnya’”.

Akibatnya, kata dia, polisi berpendapat bahwa melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua memiliki alasan pembenaran.

“Oleh karena itu, semua gerakan di masyarakat yang tidak terkait dengan makar pada akhirnya selalu dihubung-hubungan dengan gerakan separatis yang nyata-nyata merupakan pelanggaran HAM bagi masyarakat Papua.”

Merespon hal ini, Irjen Pol. Tito Karnavian, wakil dari Polri yang ikut dalam diskusi ini mengakui, persoalan pelanggaran HAM memang masih menjadi persoalan lama yang melibatkan Polri.

Namun, kata dia, polisi selalu memegang prinsip, hukum juga perlu ditegakkan.

“Setiap yang melanggar hukum, harus ditindak. Prinsipnya, perlakuan yang sama di hadapan hukum,” kata mantan Kapolda Papua periode 2012-2014 ini.

Sementara mengenai tindakan penegakan hukum untuk warga dengan tuduhan separatis, kata dia, itu pasti punya alasan dan dilakukan polisi sebagai bagian dari penghargaan terhadap hukum.

“Ini tidak sama dengan pendekatan militeristik,” tegasnya. (Ari D/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA