Floresa.co – Dengan rekam jejak dan warisan yang ditorehkan dalam perjalanan intelektual dan keterlibatan sosialnya, kabar meninggalnya Ignas Kleden pada 22 Januari menjadi duka bagi banyak orang yang pernah mengenal dan mendalami pemikirannya.
Ignas, intelektual ternama asal Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur itu menghembuskan nafas terakhir di Jakarta pada usia 76 tahun.
Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Maumere – tempatnya pernah mengenyam pendidikan tinggi sebelum melanjutkan studi magister dan doktoralnya di Eropa menulis Ignas sebagai “cendekiawan yang tidak hanya memajukan ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia melalui esai dan kritik kebudayaan yang tajam, tetapi juga membawa nuansa filosofis yang mendalam dalam kajian sosiologisnya.”
Otto Gusti Madung, rektor kampus itu menyebut Ignas sebagai “seorang sosiolog dan filsuf sekaligus.”
“Paduan dua disiplin ilmu ini menghasilkan pendekatan sosiologis yang tidak hanya terpaku pada data empirik positivistik, melainkan juga kritis. Filsafatnya tidak bersifat abstrak di awang-awang, tetapi selalu diajak berdialog dengan realitas sosial,” tulis Otto, seorang imam Serikat Sabda Allah [SVD].
“Lebih dari itu, pendekatan ilmiah Ignas selalu bersifat solidaritas terhadap mereka yang paling menderita, menjadikannya sebagai ilmuwan yang profetis,” tambahnya.
Di berbagai platform, banyak orang mengurai pengalaman mengenal Ignas, juga bergaul dengan warisan-warisan intelektualnya yang telah tercatat di berbagai buku, artikel jurnal maupun artikel populer di media massa.
Salah satunya yang ditulis Hamid Basyaib di Facebook-nya pada 22 Januari. Bagi Hamid, yang dari tulisannya tampak mengikuti dengan baik pemikiran Ignas – menyebut, “sangat sedikit intelektual Indonesia seperti Ignas Kleden.”
“Ia tak pernah mau berkompromi dalam soal kualitas ide dan kesungguhan dalam menghadapi masalah. Mungkin ini sebabnya ia tak pernah tampil di acara talk show televisi — sebuah medium komunikasi yang tekun memerosotkan mutu percakapan intelektual, selain mengumbar kedangkalan kultural tanpa putus melalui acara-acara hiburan yang keburukannya sulit dipercaya,” tulisnya.
Hamid menafsirkan Ignas, dengan berangkat dari karya-karya pemikir itu dalam beberapa artikel yang ditulis – baik terkait kritik sastra, upayanya mengidentifikasi pemikiran orang, juga tinjauan terhadap karya-karya tokoh seperti Goenawan Mohamad.
Khusus untuk catatan terhadap Goenawan, sebagaimana ditulis Ignas dalam pengantar untuk buku Goenawan kumpulan “Catatan Pinggir 2” (1989), Hamid menulisnya sebagai “sebuah tinjauan brilian yang sangat mungkin tidak disukai penulis bukunya karena ulasannya yang tajam dan sulit dibantah.”
Ia menyebut Ignas sebagai sosok yang cemerlang sekaligus gemilang mempertanggungjawabkan klaim-klaimnya.
Hamid menutup tulisannya dengan menyebut Ignas yang, seperti kebanyakan pemikir serius, “tampak kurang peduli pada harta, dan tidak pandai mencari uang.”
“Sejak lama generasi-generasi intelektual Indonesia terinspirasi oleh titipan karya-karya cemerlang Ignas Kleden — suatu inspirasi penting yang dulu tak mudah kita dapatkan dari intelektual lain, dan makin sulit kita raih hari-hari ini,” tulis Hamid.
Sementara itu, Riwanto Tirtosudarmo, seorang peneliti menulis dalam sebuah artikelnya di Borobudurwriter.id bahwa Ignas – bersama dengan pemikir Flores lainnya, Daniel Dhakidae, dan Mochtar Pabottingi – sebagai tiga orang intelektual yang ia kagumi.
Ia mengatakan hidup mereka sederhana, “tidak pernah saya dengar mereka memiliki rumah atau mobil mewah.”
Mereka, kata dia, tidak pernah menjadi konsultan politik partai, menerima pemberian jabatan, seperti menjadi dirjen atau wamen, komisaris perusahaan, duta besar negeri; sebagai balas budi dari seorang presiden yang barangkali pernah didukungnya.
Riwanto mengaku ketiga intelektual itu berpengaruh karena “pikiran jernih yang dituliskan dalam teks-teks berupa esai, kolom, makalah dan buku-buku.”
Mereka, kata dia, menjadi populer bukan karena sering tampil di berbagai acara “talk show” di TV, atau di sosial media karena komentar nyinyir tentang apa saja yang menurutnya jelek di negeri ini.
Ia mengatakan secara akademik, mereka juga telah membuktikan diri meraih gelar doktor, sebuah pencapaian tertinggi seorang yang mengaku sebagai akademisi, dari universitas terkenal di dunia.
Riwanto mengatakan barangkali hanya dengan Daniel Dhakidae, Ignas bisa disetarakan karena keduanya berangkat tradisi pendidikan Katolik yang kuat.
Riwanto menjelaskan ketika memilih topik disertasi sosiologinya di bawah bimbingan Hans Dieter Evers, tentang karya-karya dan pemikiran Clifford Geertz, antropolog Amerika terkenal yang mengawali karirnya dengan menulis tentang agama dalam masyarakat Jawa, Ignas ibarat “seorang pemburu muda yang memilih untuk membidikkan panahnya, tidak tanggung-tanggung, pada binatang buruan yang paling besar di hutan belantara ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tingkat dunia.”
“Di sana tidak dapat disembunyikan keinginan dan ambisinya untuk menjadi ilmuwan sosial yang besar, dan saya kira itu telah dicapainya,” tulisnya.
Dari Waibalun untuk Indonesia
Ignas lahir di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, pada 19 Mei 1948.
Anggota keluarga lainnya juga dikenal sebagai intelektual ternama. Adiknya termasuk Pastor Leo Kleden, SVD, seorang teolog di IFTK Ledalero dan Hermien Kleden, seorang jurnalis senior di Majalah Tempo.
Ignas didik dalam kultur lembaga pendidikan Katolik, mulai dari seminari menengah hingga tinggi. Ia menamatkan pendidikan filsafat di IFTK Ledalero, kampus milik SVD.
Ia sempat bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores, lalu menjadi editor pada Yayasan Obor [1976-1977], Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial [1977-1978], dan Society for Political and Economic Studies, Jakarta.
Ignas kemudian studi lanjut ke Jerman. Di negara itu ia meraih gelar Master of Art di bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen pada 1982 dan gelar doktor di bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld pada 1995.
Sejumlah tulisan terpopulernya bisa ditemukan di beberapa majalah terkenal, seperti Basis, Budaya Jaya, Tempo, Kalam, Kompas, dan di berbagai jurnal ilmiah.
Di bidang sastra, tulisan-tulisan menarik terdapat dalam buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan [Cerpen Pilihan Kompas 1997] yang juga memuat esainya yang berjudul “Simbolis Cerita Pendek”.
Beberapa karya lainnya di bidang sastra seperti kumpulan esai tentang Buku dalam Indonesia Baru [1999] yang memuat salah satu tulisannya berjudul: “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan”, kemudian buku kumpulan esainya berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan [1988] dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan [2004].
Selain itu, ia juga menulis kata pengantar untuk buku Mempertimbangkan Tradisi Karya Rendra [1993] dan Yel karya Putu Wijaya [1995].
Berkat ketekunannya di dunia tulis-menulis, khususnya sastra, pada 2003 ia menerima Penghargaan Achmad Bakrie bersama Sapardi Djoko Damono.
Ia mendapat penghargaan karena dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat esai dan kritik kebudayaan.
Dengan beragam warisan intelektualnya, sebagaimana ditulis IFTK Ledalero, Ignas “akan terus dikenang sebagai sosok yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Indonesia.”
Goenawan Mohamad menyebut Ignas sebagai “cahaya bangsa.”
“Ignas Kleden, sahabat, pemikir, tokoh pendiam yang seluruh dirinya berjuang untuk kecerdasan bangsa, hari ini pergi. Jejak pikirannya adalah cahaya,” tulisnya di platform X.
Selamat jalan Bapak Ignas Kleden!