Labuan Bajo, Floresa.co – Maraknya agen wisata “liar” di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) meresahkan para pemandu wisata berlisensi.
Parahnya lagi, belum ada langkah dari Pemda menindak tegas persoalan ini.
Pada Sabtu malam, 6 Mei 2017, 30-an pemandu wisata yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Manggarai Barat menggelar rapat koordinasi di Cowang Ndereng, Labuan Bajo.
Agenda utamanya, bagaimana membendung masifnya perjalanan wisata tanpa memenuhi standar kelayakan berwisata ini.
HPI Mabar mencatat beberapa modus perjalanan yang disebut “liar” tersebut. Di antaranya, agen wisata yang tidak mempunyai kantor operasional di Manggarai Barat namun membuka open trip melalui media sosial seperti Instagram.
Agen wisata tersebut biasanya menetapkan harga yang sangat rendah untuk menarik banyak wisatawan dan tidak menggunakan jasa pemandu wisata di bawah naungan HPI.
“Untuk perjalanan tiga hari dua malam, mereka hanya menetapkan harga 800 ribuan. Padahal, dalam kenyataannya harga tersebut hanya cukup untuk perjalanan satu hari,” kata Doni Parera, salah satu pemandu wisata.
Untuk mendapatkan biaya semurah itu, agen travel “online” tersebut biasanya lebih dulu mengontrak kos-kosan di sekitar Labuan Bajo. Lalu, ketimbang membayar hotel, para wisatawan akan menginap di kos-kos tersebut.
Sementara itu, perjalanan wisatanya seringkali tanpa pemandu. Satu kapal yang ukuran hanya sepuluh orang, bisa ditempati belasan sampai 20 orang.
“Ini sangat tidak masuk akal. Kalau pun ada pemandu wisata, jumlah 20 orang itu sudah tidak sesuai. Harusnya satu orang bisa menangani 10 orang. Apalagi kalau tidak ada pemandu wisata sama sekali. Kru kapal tidak dihitung sebagai guide,” ujar Rafael Todawela, anggota PHI lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, salah seorang pemandu wisata menceritakan pengalaman mirisnya ketika bertemu beberapa tamu tanpa pemandu wisata di Pulau Padar.
Katanya, selain mereka tidak tahu-menahu lokasi, mereka adalah wisatawan yang berusia lanjut yang membutuhkan pendampingan selama perjalanan.
“Mereka mendaftarkan diri di agen wisata yang berada di Makassar,” jelasnya.
Menurut ketua HPI Mabar, Sebastian, kenyataan itu sangat disayangkan dan sangat merugikan dunia pariwisata di Mabar secara keseluruhan.
Di antaranya, para guide yang berada di bawah HPI boleh membayar pajak, sementara agen wisata liar tidak dipungut beban apa-apa. Apalagi, mereka tidak menggunakan jasa hotel atau homestay di Labuan Bajo.
Selain itu, menurutnya kenyataan itu membahayakan wisatawan dan kelestarian Taman Nasional Komodo. Saat melakukan snorkeling, kata dia, sangat penting para wisatawan diterangkan bagaimana prosedur yang perlu ditaati agar tidak merusak karang.
Karena itu, ia mengharapkan sudah semestinya pemerintah daerah menindak tegas hal semacam ini.
“Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dalam kasus ini” ujarnya.
Tanggapan Pemerintah
Sebagai kelanjutan dari pertemuan tersebut, pada Senin, 8 Mei 2018, DPC HPI Mabar menemui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mabar.
Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas, Theodorus Suardi, dihasilkan beberapa keputusan.
Pertama, setiap operator tur pariwisata yang menjalankan aktivitas di Kabupaten Mabar wajib menggunakan jasa tour guide lokal di bawah naungan DPC HPI Mabar dalam melakukan pemanduan ke destinasi wisata.
Kedua, DPC HPI, ASITA, PHRI diharapkan membantu pemerintah daerah untuk melakukan monitoring dan pengawasan terhadap semua aktivitas kepariwisataan di Mabar dan hasilnya dikoordinasikan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Ketiga, terhadap pihak-pihak yang tidak mengindahkan pemanduan wisata berbasis masyarakat sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolahan Kepariwisataan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Gregorius Afioma/Floresa)