Kemerdekaan dan Kita

Alfred Tuname
Alfred Tuname

           Oleh: ALFRED TUNAME

Floresa.co- Kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Karena itu, merayakan hari kemerdekaan merupakan sebuah tanda penghargaan anak bangsa akan jasa-jasa para pahlawannya.

Anak bangsa tidak pernah lupa akan jasa besar para pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Anak bangsa selalu bersyukur bahwa nenek moyangnya adalah sang patriot sejati yang mempertahankan kemerdekaan meskipun harus mati di medan perang.Kemerdekaan adalah suatu yang penting dan keramat bagi setiap orang.

Tanggal 17 Agustus merupakan momen keramat bagi bangsa Indonesia.  Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak ada lagi penjajahan yang diperbolehkan di bumi nusantara.

Sejak saat itu, segala bentuk penjajahan asing harus dilawan hingga titik darah terakhir. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka, bangsa yang bebas dari penjajahan.

Pada tanggal 17 Agustus 2015, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesa yang ke-70. Presiden Joko Widodo mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan itu dengan terus bekerja.

Tema besar perayaan 17 Agustus 2015 ini dirilis dengan ajakan “Ayo Kerja”. Generasi muda bangsa Indonesia diajak untuk bekerja dan berjuang untuk kejayaan bangsa Indonesia. Untuk melawan segenap stigma yang nyaris terus didekatkan dengan bangsa Indonesia diperlukan semangat untuk kerja, kerja dan kerja.

Orang muda dan mahasiswa sudah terlalu banyak bekerja untuk membebaskan bangsa ini dari penjajahan bangsa asing dan bahkan bangsa sendiri. Peristiwa Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) dan Mei 1998 merupakan sebuah “event” politis perjuangan anak muda untuk melawan keji penjajahan. Anak muda bangsa Indonesia berjuang dengan gigih meski harus melawan bangsanya sendiri.

Demi kebenaran dan keadilan, anak muda telah bekerja keras mencungkil penguasa-penguasa lalim dan otoriter dari kursi otoritasnya. Mengutip Soe Hok Gie, “tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran”. Itulah anak muda bangsa Indonesia, aktif dan progresif dalam menegakan kebenaran dan puitik berbicara tentang kebenaran.

Menjadi manusia merdeka merupakan kebenaran dalam alam pikir anak muda. Mengikuti arus atau apatis adalah rintangan yang nolens volens harus lepas dari benak anak muda. Anak muda selalu gerah dan marah melihat situasi sosial, eknomi dan politik bangsa ini yang morat-marit. Pemimpinnya hanya pandai menciptakan kesan tanpa membuat pesan yang berarti bagi generasi muda. Klaim negara gagal (failed state) adalah resultante  dari cara pikir dan tindak para pemimpin dan elite-elitenya.

Setelah kemerdekaan yang belipat-lipat, sejatinya generasi bangsa belum juga merdeka. Di hadapannya, generasi muda mendapati dirinya yang malang. Pengangguran, kemiskinan dan pemasungan kreativitas terjadi dimana-mana. Generasi muda dipaksa untuk berbuat dan bekerja demi bangsa, tetapi di satu sisi mereka dibatasi dan ditekan. Terlalu banyak wujud Leviathan yang berseliweran di bumi bertiwi. Atas nama hukum yang multi-tafsir, “urat” keberanian anak-anak muda dipasung.

Anak muda bangsa bekerja dan berkarya justru karena mereka membayangkan bangsa Indonesia yang merdeka. Lalu, kemerdekaan itu harus diisi dalam semangat nasionalisme. Tetapi, nasionalisme apakah yang kita bayangkan bila generasi mudanya dipaksa berbuat dan berkarya dengan limitasi ruang gerak mereka?

Generasi muda membutuhkan lapangan kerja, ruang publik yang memadai, dukungan moral dan financial dalam setiap kerja dan karyanya. Selebihnya, generasi muda bangsa Indonesia butuh teladan dalam diri pemimpin dan negarawan.

Saat ini, bangsa Indonesia banyak pemimpin tetapi defisit negarawan. Pemimpin kita terlalu sibuk dalam snobisme kesalahan dan memperkaya diri sendiri. Laku korupsi, kolusi dan pilih kasih masih melekat dalam diri pemimpin.

Akibatnya, skenario dan proyek kesejahteraan bersama hanya tinggal dalam visi-misi pemimpin. Sementara pada realitasnya, tragedi kemiskinan penuh, gizi buruk, kualitas pendidikan jatuh, vandalisme dan intoleransi, eksploitasi sumber daya alam, dan lain-lain. Semua itu terjadi karena para pemimpin kita merayakan demokrasi dalam slogan, tanpa bertindak demokratis. Negara demokrasi defisit kaum demokrat.

Kita memilih demokrasi karena ada keyakinan bahwa demokrasi adalah garansi distribusi kesejahteraan dan keadilan. Demokrasi membuka semua akses mencapai kesejahteraan dan pengakuan hak-hak warga negara secara adil dan merata.

Dengan demokrasi, kita bersama membangun negara. Mari kita ingat keyakinan Mohammad Hatta, “ hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”.

Negara yang kita cintai adalah hasil perbuatan kita, dan merupakan tanggung jawab kita. Membangun negara yang demokratis membutuhkan tanggung jawab.

Dengan demikian, 17 Agustus 2015 perlu dirayakan cita rasa “revolusi”, bukan hanya dalam semerbak baris-berbaris. Revolusi tersebut diikat dalam pengertian “umwertung aller Werte”: penilaian kembali atas semua nilai (mengutip Mohammad Hatta).

Tidak hanya berhenti pada revolusi mental, tetapi segala sendi kehidupan bangsa perlu di-revolusi. Semua itu sangat untuk memeriksa kembali secara seksama perikehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dengan begitu, kita mampu mengeratkan kembali samangat persatuan untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara.

Negara Republik Indonesia adalah negara kita. Negara yang tumbuh dan kembang atas kerja, kerja, dan kerja. Kerja itu adalah kerja kita semua generasi bangsa Indonesia. Akhirnya, Dirgahayu negeriku dan jayalah bangsaku!!

Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik di Manggarai Raya

 

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA