Reformasi 1998 menjadi babak baru sejarah politik Indonesia. Demokrasi – sebagai cara berpolitik yang menggeser otoritarianisme – pun mekar.
Namun, ironinya, di sisi lain, para penguasa, terutama di tingkat lokal memiliki nalar jongkok dalam memaknai demokrasi. Ketika pemahaman politik publik semakin tinggi, para mereka justru memperlakukan politik dengan cara berpikir feodal. Hal ini membuat cita-cita reformasi kian redup. Berpolitik yang demokratis dan bermartabat sudah terlepas dari nalar dan telinga para penguasa lokal.
Krisis Kepatuhan
Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan politik merupakan amanat rakyat. Karena itu pula, barometer politik diletakan pada tercapai tidaknya kesejahteraan bersama. Di sini, kesejahteraan mengandaikan pencarian yang tak tuntas akan keadilan.
Sering kali, kebijakan pemerintah yang lahir dalam semangat reformasi ini terhempas jauh dari horison keadilan. Nuansa koruptif dalam setiap kebijakan membanjiri muka ruang publik. Di sisi lain, hukum kian menjadi “tidak berkelamin” ketika berhadapan dengan kekuasaan yang koruptif.
Supaya survive, penguasa lokal membentengi diri dengan jaring kekuatan-kekuatan yang ketat. Jaring itu mekar dalam eram elite dan bosisme. Bersama itu, “keamanan sipil” meminang penguasa sehingga premanisme yang dibeking penguasa terus mengintai warga.
Dalam konteks ini, premanisme menjadi bentuk manuver kenanak-kanakan (infrantri) untuk meneror geliat politik warga. Selain itu, kekerasan dalam premanisme itu menjadi senjata ampuh untuk meredam protes terhadap penguasa.
Tentu, ada logika do ut des (saya memberi supaya engkau memberi) antara elit yang berkuasai itu dan preman, di antaranya, distribusi proyek yang tidak wajar.
Padahal, nafas kebijakan desentralisasi adalah distribusi keadilan yang merata, bukan pengukuhan istana kekuasaan beserta lingkar pengamannya. Saat ini, publik justru mendapati kondisi sebaliknya; distribusi keadilan semakin tidak merata.
Atas dasar kenyataan inilah, kurva krisis kepatuhan terhadap pemerintah semakin tinggi. Celakanya, pemerintah memaknai itu sebagai ancaman legitimasi politik, bukan teguran etis.
Membuka Kotak Pandora
Legitimasi itu bersumber pada rakyat. Krisis kepatuhan adalah pertanda bahwa legitimasi bukanlah atribut kekuasan yang statis, melainkan sesuatu yang dinamis dan perlu dirawat (bdk. Isabel Alfonso, eds., 2004). Artinya, pemimpin harus bijak dan cerdas menyikapi setiap gejok politik yang terjadi di masyarakat. Kebijakan yang partisipatoris, komunikatif dan transparan adalah modal pasti untuk pemerintah yang legitim.
Kebijakan yang koruptif akan memperluas diseminasi krisis kepatuhan. Kanalisasinya adalah proses de-legitimasi. Proses de-legitimasi pemerintah ditandai dengan arus gerakan aktif publik. Aspirasi dan kritikan keras publik melambung seiring resistensi ketat penguasa yang koruptif.
Melalui atribut-atribut demokrasi itu, publik menyampaikan aspirasi dan kritik. Aspirasi dan kritik merupakan signal ketidakpatuhan publik terhadap determinasi pemerintah yang mengangkangi cita-cita bersama: keadilan.
Demokrasi mewadahi itu sebagai proses pendewasaan berpolitik.
Dalam demokrasi, praktek politik patronase dan bosisme merupakan musuh kesetaraan. Dalam politik egalitarian, kesetaraan ada dalam setiap aspirasi dan aksi parstisipatoris publik. Karenanya, aktivasi gerakan melawan dominasi cara berpikir pemerintah yang koruptif harus terus digalakkan.
Gerakan itu secara politis dan sporadis telah berhasil menggaet publik yang menjadi korban kebijakan yang tidak adil. Unjuk rasa, tekanan melalui media, jejaring sosial menjadi pilihan logis atas kebijakan koruptif elit berkuasa.
Praktisnya, aparat penegak hukum didesak untuk merangkum aspirasi publik. Aspirasi itu tentu bukan hanya berhenti sebagai informasi, tetapi harus ditindaklanjuti secara tangkas dan tegas.
Mata publik tidak pernah berpaling mengawasi perilaku penegak hukum. Sebab, sering kali para penegak hukum juga merupakan “orang dalam” elit berkuasa yang bermain mata dengan penguasa bobrok.
Aparat hukum harus mengembalikan kepercayaan rakyat akan hukum yang adil, yang berpihak pada kebenaran. Hukum tidak akan pernah benar jika ia berasal dari keputusan otoritas politik. Juga, intervensi politik dalam keputusan hukum akan berujung pada resepsi keadilan yang bias.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus berani menegakkan keadilan. Keberanian itu ada pada sikap aparat penegak hukum, apakah mau atau tidak membuka kotak pandora, yang berisi semua kebobrokan penguasa. Keberanian itu pun bersumber dari tanggung jawab etis dan moral aparat penegak hukum terhadap publik yang menjadi korban ketidakadilan.
Publik sedang menantikan hukum yang adil. Hukum yang adil akan membawa perubahan yang lebih baik. Penjahat publik harus dihukum; pembela rakyat akan diapresiasi. Hanya dengan itu, demokrasi lokal dapat ditemukan lagi. ***
Alfred Tuname, pemerhati isu-isu sosial dan politik
Artikel ini sudah dmuat di Floresa Edisi April