Belajar dari Desa Golo Lanak

 

Oleh: EVAN LAHUR, S.IP

Beberapa pekan terakhir, desa Golo Lanak, Kecamatan Cibal kabupaten Manggarai menjadi salah satu desa yang ramai diberitakan media online Floresa.co. Materi perbincangan berkisar pada ketidaksediaan kepala desa Golo Lanak, Sebastianus Mbaik melantik dua calon perangkat desa terpilih yakni kepala seksi pemerintahan dan kepala seksi pelayanan.

Ketidaksediaan kepala desa Golo Lanak ditenggarai akibatnya ketidakhadirannya dalam seluruh proses seleksi perangkat desa. Parahnya dalam masalah ini, bantah-membantah pun terjadi. Ketua panitia, sekretaris desa, kepala urusan pemerintahan dan kepala desa saling membantah. Belum lagi pihak kecamatan Cibal Barat merasa geram akibat tindakan kepala desa Golo Lanak yang mengirimkan surat kepada Bupati Manggarai terkait penolakannya melantik dua calon perangkat desa terpilih hasil seleksi tingkat kecamatan.  

Kesalahan Mereduksi Asas

Inilah fenomena kehidupan berdesa pasca kehadiran Undang-undang Desa. Setiap desa berlomba-lomba menyambut kehadiran undang-undang ini dengan antusiasme tinggi, tak terkecuali terjadi di desa Golo Lanak.

Namun pertanyaannya ialah mengapa perang bantahan bisa terjadi di desa Golo Lanak? Berikut pikiran penulis. Pertama adanya kekeliruan berpikir dari kepala desa bahwa ia merasa tidak dilibatkan dalam proses seleksi perangkat desa. Bagi penulis hal ini mengindikasikan kekeliruan berpikir dari kepala desa tentang asas subsidiaritas dari penjelasan Undang-undang Desa yang mana asas ini memberi kemandirian kepada desa untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Bagi penulis, kepala desa Golo Lanak mereduksi asas ini dengan mengklaim bahwa kemandirian yang dimaksud dalam penjelasan Undang-undang ialah setiap desa bebas mengatur rumah tangganya sendirinya. Penulis berkesimpulan, kepala desa Golo Lanak beranggapan seluruh proses pemerintahan, pemberdayaan dan pembangunan di desa harus melibatkan dirinya. Jika tidak berarti itu adalah sebuah kesalahan. Di sinilah letak kekeliruan kepala desa dalam mereduksi asas subsidiaritas.

Kedua, lemahnya kapasitas kepala desa dalam mengkoordinasikan program kerja di tingkat desa. Idealnya ialah setiap kepala desa memastikan setiap program kerja dapat berjalan dengan lancar.

Program seleksi perangkat desa merupakan program penting di tingkat desa. Sehingga mau tidak mau kehadiran kepala desa sangat diharapkan. Yang terjadi di desa Golo Lanak malah sebaliknya. Kepala desa malah hadir diakhir segala proses yang telah dijalankan. Kehadirannya malah kontroversial yakni ia menolak segala proses yang sudah terjadi.

Penulis heran, mengapa Kepala Desa malah hadir di akhir segala proses yang telah berjalan? Kontroversi kepala desa Golo Lanak ini malah menjerumuskannya kepada satu indikasi bahwa “raja kecil” di tingkat desa mulai hadir. Kepala desa menempatkan dirinya sebagai satu-satunya pintu berbagai perencanaan, pelaksanaan, pelaporan bahkan keputusan.

Kemudian pertanyaan penulis, apa gunanya kehadiran dari para perangkat desa seperti Sekretaris Desa dan Kaur Pemerintahan dalam proses penjarinagn dan penyaringan? Sederhananya, kepala desa tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahannya. Kerja perangkat desa selalu dicurigai bahkan kerja bawahannya tidak dipandang sebagai bagian dari kerja kolektif perangkat desa. Tak pelak, pada garis finis menjelang pelantikan barulah kepala desa menunjukkan batang hidungnya.

Sinergi Bersama

Untuk permasalahan yang terjadi di desa Golo Lanak, berikut pokok pikiran penulis yang bisa dijadikan jalan keluar. Pertama, kunci jalan keluar tersebut terdapat pada kepala desa. Kepala desa sendiri memiliki keputusan politik untuk segera melantik dua calon perangkat desa terpilih. Kepala desa juga diharapkan mampu untuk berkoordinasi dengan panitia, sekretaris desa dan kaur pemerintahan terkait permasalahan yang terjadi.

 Kedua, peran BPD juga menjadi salah satu kunci memecahkan masalah ini. Penulis mengusulkan agar BPD melayangkan surat kepada kepala desa untuk melakukan koordinasi terkait mencari dan menemukan jalan keluar dari masalah yang ada. BPD dapat menggunakan fungsinya sebagai pengawas kinerja perangkat desa. Peran BPD disini sangat diharapkan agar menyatukan berbagai informasi yang beredar.

Ketiga, selain BPD peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Kecamatan juga sangat diharapkan untuk memecahkan masalah ini. Pihak kecamatan dapat turun langsung untuk mengawal musyawarah bersama antara BPD dan Perangkat desa di desa Golo Lanak. Dalam pemikiran sederhana ini, penulis belum menganjurkan agar pihak kecamatan turun langsung dalam memecahkan masalah ini.

Pihak kecamatan diharapkan mengambil peran untuk mengawal proses musyawarah antara BPD dan perangkat desa di Golo Lanak. Hal ini sangat penting dilakukan agar kita dapat mengendalikan peran dan fungsi Pemerintah daerah dalam urusanya dengan pihak desa. Jangan sampai peran pemerintah daerah terlampau jauh mengendalikan roda pembangunan di desa termasuk dalam permasalahan yang terjadi di tingkat desa.

Saran dan Kritik

Terkait masalah yang terjadi di desa Golo Lanak, setiap pemerintahan desa di seluruh Manggarai hendaknya bisa belajar dari masalah ini. Penulis memiliki beberapa poin masukan bernas terkait masalah ini.

Pertama, setiap desa hendaknya memiliki mekanisme penjaringan calon perangkat desa tak terkecuali desa Golo Lanak. Mekanisme ini diadakan untuk menghindari penjaringan secara subyektif. Harapannya penjaringan di tingkat desa pun dilakukan secara obyektif.

Kedua, penulis menganjurkan agar pihak kecamatan Cibal Barat memberi materi peningkatan kapasitas pemerintah desa kepada perangkat desa di Golo Lanak. Materi ini hendaknya menyasar pada  kesadaran tentang tugas dan fungsi sebagai perangkat desa dan materi tentang tugas dan fungsi setiap perangkat desa. Harapannya ialah setiap perangkat desa mengetahui tugas dan fungsinya masing-masing. Sehingga tidak lagi terjadi bantah membantah antara kepala desa dan perangkat desa.

Ketiga, kritikan untuk pihak kecamatan Cibal Barat. Pihak kecamatan hendaknya menyadari posisinya sebagai perpanjangan tangan dari kabupaten. Penulis  mengeritik pernyataan camat Cibal Barat berikut “Jadi kalau misalnya nanti untuk pelayanan dari desa Golo Lanak, kalau ditandatangani oleh sekretaris atau perangkat desa lain pasti akan dilayani di kecamatan. Tetapi kalau dia yang tanda tangan kita tidak layani. Karena itu kan bentuk pembangkangan dan tidak loyalnya dia terhadap pemerintahan yang lebih tinggi”.

Bagi penulis, pasca hadirnya Undang-undang Desa tidak ada lagi istilah pemerintahan yang lebih tinggi sesuai dengan amanat pada asas rekognisi. Sehingga istilah pembangkangan kepada pemerintahan yang lebih tinggi di atasnya bukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan masalah di desa Golo Lanak. Apalagi pihak kecamatan menyatakan tidak akan melayani urusan desa dari desa Golo Lanak.

Menurut penulis, pihak kabupaten dalam hal ini pihak kecamatan lebih tepat berada pada tugas pembinaan dan koordinasi. Pembinaan di sini misalnya peningkatan kapasitas perangkat desa kemudian koordinasi mengarah kepada koordinasi antara kabupaten dan desa. Lebih lanjut pelaksanan pembinaan dan koordinasi ini didasari oleh pijakan pikir bahwa tidak ada pemerintahan yang lebih tinggi dan pemerintahan yang lebih rendah.

BACA: Tim Kabupaten akan Klarifikasi Masalah Desa Golo Lanak, Cibal Barat

Lebih dari pada itu, harapan penulis semoga ke depannya dua calon perangkat desa terpilih dapat dilantik sebagaimana mestinya agar roda pemerintahan desa Golo Lanak dapat berjalan dengan lancar.

(Informasi terkahir pelantikan akhirnya dilaksanakan pada Kamis 27 Juli 2017 besok setelah ada pertemuan dengan tim dari pemerintah kabupaten Manggarai-red).

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Desa STPMD “APMD” Yogyakarta. Penulis juga aktif sebagai anggota Kelompok Studi Tentang Desa (KESA)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA