Disalib, Tanda Yesus Kalah?

Oleh: ERICK EBOT, calon imam Serikat Sabda Allah (SVD)

Dalam suatu kesempatan kuliah teologi sosial-politik bersama Pastor John Prior SVD, ia menggugat kami dengan pertanyaan ini: Apakah Allah kalah pasca disalibkan secara keji di Golgota? Apakah kekalahan Yesus juga memberi pesan kuat akan kalah atau gagalnya perjuangan sosial-politik menentang penindasan terhadap orang-orang Yahudi di bawah imperium Romawi?

Albert Schweitzer, salah seorang penggagas gerakan Yesus Seminar, melihat peristiwa kematian Yesus di salib sebagai peristiwa pemberontakan yang gagal. Kekalahan Yesus terindikasi jelas ketika Ia menerima salib dan memikulnya hingga menderita dan mati tak berdaya di Golgota, tempat tengkorak-tengkorak pengecut, para pejahat kriminal bercampur jadi satu.

Pernyataan Yesus sesaat ia menghembuskan nafas terakhirnya – Ya Allah, mengapa Engkau meninggalkan Aku? – adalah sebuah kalimat gugatan kepada Allah, sekaligus indikasi bahwa Yesus sudah gagal di hadapan semua orang yang menyaksikan hukuman paling mengerikan itu.

Pertanyaannya sekarang, apakah Allah memang sungguh-sungguh atau benar-benar kalah dalam tragedi penyaliban itu? Sudah jelas bahwa kita pasti sangsi, jika Dia yang mahakuasa akhirnya harus kalah. Bukankah kita mengimani kemahakuasaan Allah yang tak tertandingi oleh kuasa apapun? Kalau demikian, kira-kira bagaimana kita harus menarik refleksi dari peristiwa penyaliban yang kemudian memberi kita dalam merefleksikan gaya perjuangan sosial-politik Yesus bagi perjuangan Gereja dewasa ini?

Konsep Penyaliban dalam Tradisi Yahudi

Penyaliban mungkin merupakan salah satu bentuk eksekusi terkejam yang pernah ada di dunia. Esensi dari penyaliban bukanlah kematian itu sendiri, melainkan penderitaan saat menjelang kematian. Dengan demikian, kematian merupakan hal yang sangat diinginkan oleh orang yang disalib.

Berbeda dengan cara eksekusi terpidana mati pada masa sekarang, proses penyaliban memerlukan waktu yang relatif lama sehingga penderitaan pun menjadi panjang.

Dibandingkan hukuman gantung, kursi listrik, suntikan mati, kamar gas, tembak mati, pancung dan sebagainya, yang hanya membutuhkan waktu beberapa detik menjelang kematian, penyaliban membutuhkan waktu berjam-jam. Bahkan beberapa hari. Orang yang disalib dibiarkan mati perlahan-lahan setelah mengalami berbagai pukulan dan cambukan

Penyaliban pertama kali dimulai di Persia. Alexander Agung memperkenalkan praktik ini ke Mesir dan Carthage. Roma yang dipengaruhi oleh orang Carthage kemudian menjalankan praktik hukuman penyaliban.

Dengan demikian, imperium Romawi yang pada awalnya menolak penggunaan eksekusi salib, dalam perkembangannya justeru mempraktekkan hal itu.

Karena begitu menyeramkannya, penyaliban biasanya berlaku hanya untuk budak, orang asing dan juga terutama kelompok revolusioner yang jelas-jelas membangkang kepada imperium. Oleh karena itu, hukum Romawi biasanya melindungi warga Roma dari penyaliban, kecuali dalam hal pembelotan tentara.

NT Wright, seorang pakar Alkitab Perjanjian Baru menyimpulkan, penyaliban adalah pesan kuat bagi setiap orang yang hendak berpikir untuk membangkang apalagi melawan imperium. Perjuangan yang menggendong agenda revolusionar ditantang dengan pertanyaan pokok yaitu sejauh mana perjuangan revolusioner tersebut dapat berhasil, sebab harga yang dibayar pun sangat mahal yaitu tragedi penyaliban.

Lantas, pertanyaannya bagi kita, apa faedahnya beriman kepada orang yang tersalib seperti Yesus dan mengikuti perjuangan sosial-politiknya yang toh pada akhirnya berakhir miris . Kita punya pilihan bebas. Dan pilihan bebas mengarahkan hidup kita, entah memilih beriman kepada Yesus serentak siap dengan segala konsekuensinya, ataukah memilih untuk mencari aman.

Penyaliban: Radikalisasi Kesetiaan

Begitu besarnya kelaliman dan dosa manusia, sehingga menolak kebaikan yang Allah titip lewat putra-Nya Yesus. Hati manusia yang sudah tertutup menolak rahmat Allah. Kuatnya keyakinan bahwa kebaikan hidup bisa diperoleh dengan mengandalkan kemampuan diri menegasikan kehadiran Allah. Konsekuensi penolakan itu adalah salib bagi sang Putra, Yesus.

Peristiwa penyaliban adalah kesadisan terparah sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ia merupakan pengalaman kelam bagi para murid dan orang-orang yang mengangumi Yesus pada saat itu. Ia menimbulkan sakit dan kengeriaan untuk diingat.

Bagi saya, peristiwa salib adalah bukan soal apakah Yesus kalah atau Yesus sudah menang. Ia menyingkapkan makna yang mendalam bahkan melebihi pengertian manusia. Kalah dan menang merupakan konstruksi sosial manusia.

Umumnya dalam konsep kita, yang kalah identik dengan kegagalan, yang menang menunjukkan kesuksesan. Orang yang gagal sering kali sulit untuk bangkit kembali dan butuh waktu untuk secara psikologis dapat memulihkan diri. Sedangkan situasi sebaliknya dialami yang menang. Secara psikologis, yang menang hidup dalam kebanggaan dengan kemampuan dan prestasi pribadi. Ia selalu memiliki motivasi positif untuk selalu mau menang dan sering kali enggan untuk kalah.

Peristiwa salib sama sekali melampaui konstruksi sosial yang sempit ini. Ia menunjukkan satu makna tentang kehidupan yaitu kesetiaan radikal atau kita bisa sebut sebagai kesetiaan radikal Yesus.

Salib yang hina seturut konsep Yahudi adalah simbol kegagalan. Itu berarti orang seperti Yesus, yang mewartakan kabar gembira kepada manusia telah menyerah di hadapan euforia dan kemenangan berbagai situasi kehinaan dan kelaliman zaman itu. Misi kerajaan Allah dengan demikian juga gagal.

Akan tetapi, Yesus lewat kesediaan-Nya menerima salib dan bersedia menanggungnya dengan sekuat tenaga menyingkapkan bahwa konsep salib itu bukan merupakan gambaran sebuah kegagalan tapi simbolisasi kesetiaan radikal pada kehendak Allah. Melalui peristiwa Salib, Yesus menunjukkan model hidup kristiani yang sesungguhnya.

Pewartaan orang-orang Kristen yang diinspirasi oleh nilai-nilai Injili itu, bukan soal untuk memenangkan  diri ataupun mengalahkan agama lain dalam hal jumlah pengikut, tapi menjadi orang Kristen itu, dalam konteks penyaliban Sang Guru Agung adalah kesediaan menerima konsekuensi kemuridan sebagai konsekuensi mengikuti Yesus serentak mengajarkan kepada kita tentang kesetiaan radikal pada iman di tengah situasi-situasi getir kehidupan.

Radikalitas kesetiaan menginspirasi dan meneguhkan harapan bahwa tidak ada yang sia-sia dari kisah penyaliban, dan tidak ada yang sia-sia dari sebuah keyakinan iman. Berharap walau kita tahu dan sadar harapan di tengah ketidakpastian dan situasi penderitaan itu sulit dan sakit. Akan tetapi, iman hanya disempurnakan dalam pengharapan. Allah itu Mahasetia, kesetiaan-Nya yang tak terbatas pasti menjamin pengharapan kita.

Radikalitas kesetiaan pada kehendak Allah membuat Santo Paulus, Rasul ulung dalam sejarah Kekristenan, yakin sungguh bahwa ada keselamatan dalam pengharapan, ”Aku terus berharap, mesti tidak ada dasar untuk berharap.”

Penyaliban: Radikalitas Keberpihakkan

Pertanyaan awal tadi, sungguhkah peristiwa salib merupakan bentuk kekalahan Yesus, kekalahan Allah? Jawabannya adalah, tidak.

Yesus melampaui konsep kalah dan menang. Penyaliban  menyingkapkan bahwa selalu ada  tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi para pengikut Yesus dalam mengikuti jalan-Nya. Kemungkinan terakhir bagi pewartaan kabar gembira di tengah situasi di mana kabar gembira itu tidak dikehendaki adalah penderitaan, penganiayaan dan bahkan mati.

Penyaliban karena itu bukan tentang kisah gagal atau sukses. Ia menyingkapkan nilai sebuah radikalitas keberpihakaan  dalam berjuang untuk orang-orang miskin yang ditindas. Penyaliban adalah bentuk solidaritas tanpa batas terhadap orang-orang yang dimiskinkan secara sadis di tengah situasi genting dan represif yang sewenang-wenang. 

Penyaliban juga merupakan bentuk radikalitas keberpihakkan terhadap orang-orang yang dimiskinkan dalam masyarakat. Tujuannya tidak lain untuk mengungkapkan kebenaran Allah dan kuasa-Nya di tengah situasi negatif yang terjadi. Yesus harus tersalib dan mati agar benih yang lebih dulu jatuh ke dalam tanah ibisa berbuah banyak serta bertumbuh dalam nada inspirasi yang sama untuk memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang menderita dan ditindas. 

Sering kali bentuk solidaritas kita hari ini tidak seperti model keberpihakkan radikal Yesus yang tersalib. Konkretisasi bentuk solidaritas kita cendrung terarah ke dalam diri sehingga puasa bagi kita sering kali hanya menjadi rutinitas tahunan atau bahkan untuk bantu program diet. Puasa hanya terarah pada upaya menunjukkan kesalehan pribadi,  konsep puasa dan pertobatan secara sosial, di mana kita berjuang untuk memulihkan martabat para ODHA (orang dengan HIV dan Aids) yang distigma, perempuan dan anak-anak yang dilecehkan, manusia yang diperdagangkan serta lingkungan yang diberengus haknya terlupakan.

Akibatnya, perjuangan pertobatan dan puasa dalam Masa Prapaskah bukan lagi soal berpihak, terlibat dan berjuang secara radikal bersama korban untuk mengubah situasi hidup mereka menjadi lebih baik, tapi lebih banyak tentang berjuang untuk mengubah situasi hidup pribadi.

Lantas apa yang tersisa? Hemat saya adalah inspirasi untuk refleksi, pulang balik dan banting stir. Momen Prapaskah menjadi saat berahmat untuk bercermin pada peristiwa salib sebagai bentuk totalitas Yesus untuk setia dan bersolidaritas secara radikal kepada orang-orang miskin di sekitar.

Penyaliban Yesus mengundang kita untuk memulihkan serentak merumuskan ulang bentuk kesetiaan dan solidaritas kita, yang hendaknya bukan hanya terarah kepada pribadi, tapi juga mesti terarah kepada setiap orang yang paling membutuhkan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA