Oleh: RIKARDUS KERAF BASUKUR SMM
Kearifan Lokal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyemburkan makna yang berlimpah-limpah. Makna itu jelas lahir dari refleksi manusia Manggarai akan keberadaan mereka sebagai diri dan dalam kaitan dengan berada bersama dengan yang lain. Artinya, refleksi manusia Manggarai tentang kehidupan ini, dengan segala dinamika di dalamnya membuahkan hasil berupa pemahaman yang benar akan diri sendiri dan akan kehadirannya dalam kebersamaan dengan yang lain.
Kebersamaan yang humanis dalam refleksi filosofis orang Manggarai, tidak hanya soal menghargai kemanusiaan manusia, yang memang niscaya, tapi lebih kepada menelisik kebersamaan itu sebagai sesuatu yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Manusia tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan yang lain, ia selalu ditemukan berada bersama yang lain.
Di sini, manusia lain menjadi dasar untuk menemukan diri. Artinya, selain dipahami bahwa “aku” membutuhkan “yang lain”, tapi juga, dengan ada “yang lain”, “aku” dapat menyebut diriku “aku”. Tapi, menurut orang Manggarai, semuanya tidak hanya berhenti pada hal ini. Ketika “aku” dan “engkau” hadir dalam kebersamaan dan membentuk “kita”, di situlah “aku” adalah manusia yang sesungguhnya. Kebersamaan jelas tidak hanya memaksudkan ada bersama, atau kebetulan berdiri bersama di sebuah halte bis, di kelas filsafat dan di tempat lainny. Tapi, kebersamaan yang dimaksud dalam refleksi filosofis orang Manggarai adalah padir wa’i rentu sa’i.
Ada ungkapan kearifan Lokal Manggarai yang mengemukakan soal kebersamaan yang humanis yaitu: tinu, toing, titong, dan teing (disingkat 4T). Apa yang termaktub dalam 4T ini bagi saya menggambarkan pertama keindahan bunyi dan seni berbicara; kedua menggambarkan kejelasan dan kejernihan refleksi; ketiga menggambarkan keluasan makna refleksi itu sendiri. Kalau sungguh-sungguh dipahami, 4T ini selalu “berdiri” berdampingan. Refleksi tentang salah satu T tidak pernah terlepas dari refleksi tentang T yang lain.
Tinu, secara singkat ini berarti memelihara. Namun, sesungguhnya, maknanya lebih dari sekadar memelihara. Kata ini biasa dipahami dalam konteks orang tua memelihara anaknya. Orang yang dewasa memelihara anak-anak muda generasi penerus. Tinu dengan demikian dekat dengan pemaknaan jasmaniah. Misalnya orang tua memberikan pemeliharaan kepada anaknya dengan menyediakan kebutuhan hidupnya.
Jika kita menelisik lebih jauh, ternyata pemeliharaan jasmaniah, yang tersembul dari kata tinu tidak hanya berhenti di situ. Artinya, makna pemeliharaan itu sungguh-sungguh mencuatkan nilai humanitas yang tinggi. Tindakan memelihara dalam refleksi filosofis orang Manggarai lahir sungguh-sungguh dari penghargaan akan kodrat kemanusiaan. Manusia lain bagiku, dengan demikian, adalah dia yang perlu kupelihara. Bahkan niscaya kupelihara. Itu adalah tugas kemanusiaan atau panggilan kemanusiaan yang diemban oleh para orang tua, maupun juga para tua-tua adat.
Hal ini terbukti dari usaha yang keras dari setiap orang tua untuk bekerja keras agar dapat memberi pemeliharaan terhadap anak mereka. Bukan hanya itu, bila sebuah keluarga dari sebuah kampung sedang kehabisan beras atau sedang membutuhkan pinjaman, hal tersebut dengan sendirinya menggerakkan orang-orang untuk bergerak, dan memberi, meski sedikit. Di sini jugalah sebenarnya arti tinu itu berada. Semiskin-miskinnya orang Manggarai, mereka tidak pernah menelantarkan anaknya atau tetangganya tanpa diberi (bantuan) makanan dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Di sinilah nilai penghargaan akan kemanusiaan itu mendapat maknanya yang luar biasa tinggi. Bandingkan saja dengan realitas zaman ini, terutama di kota besar. Rasa kepedulian dan tanggungjawab pemeliharaan seperti ini amat kurang. Orang menjadi sedemikian individual, dan berpikir bahwa, segalanya adalah untuk aku, dan aku adalah aku, kamu adalah kamu; kita berbeda.
Kedua, toing. Secara singkat, toing bermaksud menasihati, memberitahu. Toing jelas merupakan tindakan kepedulian. Artinya dengan menasihati orang lain, aku peduli dengan keadaannya dan aku ingin dia menjadi lebih baik dan memiliki kebaikan itu dalam dirinya.
Dalam kearifan lokal Manggarai, jelas orang tua yang biasa melakukan ini; juga seorang kakak kepada seorang adik. Tindakan memberi nasihat, memberitahu sesuatu tentang kehidupan seseorang agar dia menjadi lebih baik, jelas menampakkan wajah manusia-manusia yang punya hati untuk orang lain. Artinya bahwa dalam kebersamaan itu, “aku” tidak hanya hadir sebagai diriku yang berbeda dengan dirimu tetapi “aku” hadir sebagai bagian dari dirimu dan dirimu sebagai bagian dari diriku. Sehingga hal yang tidak patut bagiku perlu kau nasihati, sebaliknya apa yang tidak patut bagimu perlu kunasihati.
Di sini tindakan nasehat tidak hanya berhenti pada mengingatkan dan mewariskan nilai moral tetapi juga menampakkan bahwa “aku” dan “dia” ada. Ketika dalam kebersamaan itu ada relasi saling menasihati dengan tujuan kebaikan, di situlah makna kehadiran dan ke-ada-an itu mendapat maknanya yang luar biasa. Seorang yang angkuh-sombong misalnya jatuh miskin. Dan banyak orang yang mengumpat dan mengutuknya. Yang perlu disesalkan di sini adalah bukan karena kutukan dan umpatan itu, tetapi pertanyaan retoris, di manakah kalian saat kalian tahu bahwa jalan hidupku ini tak benar. Dimanakah orang lain itu saat jalannya sesat untuk sekadar memberi peringatan dan nasihat? Di situlah tindakan menasihati itu menampakkan kehadiran orang. Dia menampilkan wajah. Dan hidup bersama tanpa kepedulian dan saling nasihat tidak lain daripada sekumpulan hewan.
Ketiga, Titong. Arti sederhana dari Titong adalah mengarahkan atau menuntun ke hal-hal yang baik. Ada perbedaan dengan toing. Toing lebih memaksudkan ucapan verbal, artinya tuntunan atau nasihat melalui omongan, ucapan, kata-kata bijaksana. Namun, Titong lebih kepada relasi ketergantungan. Artinya di sana ada dua pelaku. Yang mengarahkan dan yang diarahkan. Kalau dalam toing titik berat refleksi adalah orang yang menasihati dan motivasi nasihatnya, tapi, dalam titong titik berat refleksinya pada kedua-duanya. Titong akan berhasil jika keduanya “bergerak” artinya mau diarahkan dan mau memberi teladan dan tuntunan. Di sini bukan saja ucapan verbal, tapi juga teladan hidup. Saya juga menambahkan belaskasihan dan kepedulian.
Satu lagi yang sungguh menurut saya ada dalam titong ini bahwa Tuhan Allah (Mori Kraeng) dikatakan sebagai Dia yang mengarahkan hidup manusia. Sehingga dalam doa dan perkataan selalu diucapkan: “Mori, titong koe ami”. Dengan mengucapkan ini sebenarnya manusia Manggarai menempatkan Allah sebagai Pengarah tunggal hidup manusia. Dan lebih jauh lagi, predikat Allah adalah Pengarah atau Penuntun. Jadi, jika seseorang mengarahkan atau menuntun orang lain agar menjadi lebih baik, halnya menjadi begitu luar biasa, sebab sesungguhnya orang itu telah mengambil bagian dalam tindakan Allah. Dan bisa dikatakan bahwa tuntunan atau arahan Allah itu diwujudkan dalam tuntunan dan arahan orang lain kepada saya dan saya kepada orang lain. Di sini makna titong begitu menemukan kedalaman refleksinya tatkala dia ditenggelamkan dalam tindakan ke-Allah-an.
Keempat, teing. Arti sederhana dari teing adalah memberi atau menyerahkan. Arti ini bisa menunjuk pada pemberian hal jasmani, maupun rohani. Tindakan memberi ini dalam refleksi filosofis orang Manggarai memiliki makna yang dalam. Pertama, bahwa tindakan memberi merupakan tindakan yang pasti dalam kebersamaan. Artinya kebersamaan tanpa saling memberi dan membagi bukanlah kebersamaan. Kedua, tindakan memberi merupakan tindakan mulia. Dan orang-orang dihargai bukan karena jabatannya, namun karena kemurahannya dalam memberi. Namun, tidak boleh dianggap bahwa penghargaan terhadap seseorang itu merupakan balasan dari tindakannya memberi. Justru penghargaan itu memiliki alasannya yang paling rasional dan mutlak olah tindakannya memberi. Memberi di sini jelas dalam artian tindakan tulus untuk membantu yang kekurangan.
Makna kata teing memiliki nilai metafisis dalam artian tindakan yang melampaui keterbatasan kodrat ketika dimaknai dalam upacara Teing hang (memberi sesaji kepada leluhur). Ketika upacara ini dilakukan, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tindakan memberi itu telah menjembatani jurang abadi antara dua dunia. Artinya jurang dua dunia itu terseberangi oleh tindakan kasih yang mewujud dalam tindakan memberi.
Keempat T tersebut, pertama, hadir dalam refleksi orang Manggarai secara utuh. Keempatnya direfleksikan begitu menyatu. Dalam memberi ada nilai tuntunan, ada tindakan pemeliharaan. Dan bisa saja dibuat jejeran panjang contoh tentang bagaimana keempatnya berpadu dalam tindakan salah satu dari keempatnya itu. Kedua, bahwa dari kearifan lokal Manggarai tersembul kuat keyakinan bahwa aku dan engkau bukan sekadar manusia, tapi manusiawi. Kemanusiawian kita terletak pada pemaknaan kita akan kemanusiaan kita dan kemanusiaan orang lain. Ketika saya bertindak terhadap orang lain karena dia adalah manusia yang sama seperti saya.
Dari kearifan lokal tersebut terlihat bahwa refleksi filosofis orang Manggarai, mulai dari para leluhur hingga orang-orang zaman sekarang begitu dalam dan luas maknanya. Jelas memang refleksinya berkembang terus. Selain berkembang, nilai-nilai dasar humanis ini juga kadang terseret oleh arus individualisme pada zaman yang membuat dunia yang mahaluas ini menjadi hanya sebuah ‘kampung kecil’. Ada tantangan dari luar, ketika nilai-nilai itu mendesak nilai-nilai lokal. Ada banyak budaya yang telah terseret, dan jatuh. Ada banyak budaya yang telah kehilangan “harga dirinya” karena semakin hari semakin mencintai apa pun yang muncul dan datang dari Barat yang katanya “ras istimewa”.
Ada juga tantangan dari dalam, ketika nilai-nilai itu tidak diwariskan secara kuat, maka, dia akan cepat “tercerabut” dan akhirnya justru para generasi muda dan penerus itulah yang akan menolak mempertahankan budaya yang dianggapnya kuno, lalu beralih pada budaya dari luar. Maka, bagi saya, Ide merefleksikan kembali nilai budaya ini merupakan ide yang bukan sekadar ide, tetapi dihidupkan dalam ruang hidup.
Rikardus Keraf Basukur adalah calon imam SMM. Ia berasal dari Manggarai.