Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Konflik di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau menjadi perhatian publik selama beberapa waktu terakhir. Demi memuluskan proyek Rempang Eco City (REC) yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional [PSN], Pemerintahan Presiden Joko Widodo hendak merelokasi warga setempat yang sudah hidup di pulau itu secara turun-temurun.
Dinilai terlalu berpihak kepada investor dengan melanggar hak warga, komunitas adat setempat menolak keras rencana relokasi itu. Mereka memilih mempertahankan wilayah adat sebagai ruang hidup mereka.
Di Flores, kita juga menghadapi persoalan yang sama. Beberapa PSN yang dijalankan pemerintah sejak beberapa tahun lalu menuai perlawanan warga karena model pembangunan yang pro investasi membawa serta berbagai dampak kerusakan terhadap ruang hidup warga. Tulisan ini akan menyoroti khusus dua PSN di Flores, yaitu proyek “pariwisata super premium” dan “Flores Pulau Geothermal.”
Apa yang dapat kita pelajari dari Rempang untuk konteks Flores?
Letak Soal
Proyek REC ditetapkan oleh pemerintah sebagai PSN melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023.
Pemerintah telah mengantongi investor yang bakal mengelola kawasan ini yaitu PT. Makmur Elok Graha [MEG], anak perusahaan Artha Graha Network milik taipan Tomy Winata, dengan nilai investasi sebesar 381 triliun dan perusahaan Xinyi Glass Holding Ltd, anak perusahaan Xinyi Group asal China, dengan nilai investasi 174 triliun.
Tidak hanya kedua perusahaan tersebut, kurang lebih 12 perusahaan lokal dan asing juga tertarik membangun usahanya di Rempang.
Kendati menjanjikan investasi yang besar, proyek ini memicu perlawanan keras warga, terutama terkait rencana pemindahan mereka dari lokasi yang telah mereka diami sejak tahun 1843.
Selaras dengan sikap warga, kelompok masyarakat sipil dan para akademisi mengkritisi kebijakan itu. Akademisi hukum agraria Universitas Gajah Madah Maria SW Sumardjono misalnya menilai proyek REC tidak mempertimbangkan kondisi sosial dan aspek budaya masyarakat di Rempang. Parahnya pula, menurut Maria, keputusan penetapan proyek itu sebagai PSN tergolong supercepat, karena landasan hukumnya baru disahkan pada 28 Agustus 2023.
Akar utama konflik Rempang adalah kapitalisme pembangunan yang dibungkus atas nama PSN dengan kekuatan mengontrol regulasi. Hal itulah yang menjelaskan alasan penerbitan regulasi yang supercepat, mengabaikan pertimbangan terkait prinsip-prinsip pembangunan yang lebih berkeadilan sosial dan berwawasan lingkungan.
Sayangnya, di tengah eskalasi konflik dan penolakan warga Rempang, pemerintah justru mereduksinya sebatas persoalan salah komunikasi dan ganti rugi, dua hal yang tidak menjawab akar persoalan.
Hal itu tampak misalnya dalam pernyataan Presiden Joko Widodo saat acara Infrastructure Forum pada 13 September.
Ia berkata, “Ini hanya salah komunikasi di bawah, salah mengkomunikasikan saja. Mau diberi ganti rugi, diberi lahan rumah tapi mungkin lokasinya belum tepat. Itu harus diselesaikan. Masa urusan gitu sampai ke presiden”
Setidaknya ada dia catatan untuk pernyataan ini.
Pertama, membaca konflik Rempang sebagai persoalan kesalahan komunikasi tidak hanya mengaburkan persoalan krusial seperti penggusuran lahan warga, tetapi menunjukan ketidakmampuan negara menyelesaikan persoalan itu.
Alih-alih menyelesaikan dan mencari solusi atas penggusuran paksa warga dari tanah mereka negara justru tampak lemah.
Mereduksi konflik Rempang sebagai persoalan ‘kesalahan komunikasi’ menunjukan cara berpikir yang tidak berjangkar pada pemahaman struktural yang lebih luas atas konflik tersebut.
Padahal, konflik Rempang berkelindan dengan aspek struktural, yakni bekerjanya langgam ekonomi politik lewat penggusuran paksa warga dari ruang hidupnya dengan cara-cara kekerasan.
Kedua, kasus penggusuran warga di Rempang hanya salah satu contoh kasus bagaimana negara dengan seenaknya mengatasi problem penggusuran lewat mekanisme kompensasi/ganti rugi.
Padahal warga setempat telah memiliki relasi sosial, kultural, ekologi yang menubuh bersama proses penghidupan mereka di daerah itu.
Yang seharusnya menjadi perhatian adalah fakta bahwa dalam konflik Rempang terdapat persoalan struktural yang disebut Karl Marx sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation). Ia menjelaskannya sebagai pemisahan masyarakat dari tanah dan ruang hidup mereka, dengan cara-cara penggusuran dan jalan kekerasan demi melanggengkan kuasa kapitalisme, sembari mengorbankan hak-hak dasar warga.
Bagaimana dengan Flores?
Kendati dengan jenis kasus dan tingkat eskalasi yang berbeda, konflik seperti di Rempang juga terjadi di wilayah Flores. Akselerasi investasi dengan klaim demi kemajuan pada satu sisi berhadapan dengan gelombang perlawanan warga yang mempertahankan ruang hidup pada sisi yang lain.
Ekspansi kapital di Flores hadir dalam berbagai rupa, seperti di sektor pariwisata, pertanian, pertambangan dan energi. Menariknya, sama seperti di Rempang, pembangunan ini dilakukan atas klaim sebagai PSN.
Di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat misalnya, ekspansi pembangunan pariwisata yang berbasis investasi atas nama PSN telah membawa ancaman pengrusakan ekologi dan penghancuran tatanan sosial dan budaya.
Di Taman Nasional [TN] Komodo, pemerintah hingga kini masih kukuh dengan kebijakan membawa masuk korporasi swasta untuk membangun resort dalam kawasan konservasi.
Beberapa waktu lalu kebijakan memberi karpet merah terhadap beberapa perusahan ini menguasai ratusan hektar wilayah di kawasan TN Komodo, termasuk oleh perusahaan yang disinyalir berelasi amat dekat dengan Presiden Joko Widodo, berjalan bersamaan dengan rencana memindahkan warga adat, Ata Modo, ke pulau lain, sebuah pola yang serupa dengan yang terjadi di Rempang.
Kendati diklaim atas nama kesejahteraan dan telah sesuai dengan prosedur regulasi, rencana tersebut mendapat penolakan yang keras dari warga. Alasan utama penolakan adalah mempertahankan ruang hidup dan kelestarian TN Komodo sebagai kawasan konservasi.
Menariknya, dalam kaitan dengan investor di Rempang, di kawasan TN Komodo juga telah hadir perusahan yang berafiliasi dengan Tomy Winata, yakni Tambling Wildlife Nature Conservation. Perusahaan itu hadir lewat PT Flobamor, badan usaha milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang selama era pemerintahan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat mendapat privilese untuk memonopoli pengelolaan TN Komodo, lewat berbagai kebijakannya yang kontroversial.
Membaca konflik kepentingan antara PT. Flobamor, perusahaan TWNC memiliki keterkaitan pada persoalan bagaimana sektor pariwisata dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis yang menguntungkan kelompok tertentu, lalu mengorbankan warga sekitar. Hal ini memperlihatkan pola operasi bisnis, yang melibatkan pengusaha, orang kuat lokal dan elit nasional membentuk jaringan rentenya sendiri.
Di samping proyek pariwisata, PSN di sektor energi di Flores juga patut mendapat catatan.
Melalui Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2017, saat menteri dijabat oleh Ignasius, Flores ditetapkan sebagai Pulau Geothermal. Keputusan itu disebut bertujuan mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi sebagai sumber listrik maupun sumber energi non listrik.
Keputusan ini berisiko bagi kehidupan warga di Flores. Persis sebagaimana di Rempang, di Flores, warga menghadapi problem terancamnya ekosistem dan ruang hidup mereka karena berbagai proyek geothermal.
Di Poco Leok, Wae Sano, dan Mataloko proyek-proyek itu menimbulkan perlawanan karena mengganggu ruang hidup warga.
Gerak Bersama
Konflik di Rempang dengan di Flores memiliki keterkaitan dalam hal penguasaan ruang hidup warga untuk kepentingan bisnis di satu sisi, sementara di sisi lain terjadi peminggiran hak-hak dasar warga dari ruang hidup mereka melalui pemaksaan, penundukan, kekerasan, dan penyelewengan hukum.
Yang tergambar jelas dalam konflik seperti ini adalah kerentanan warga dari penggusuran paksa akibat operasi bisnis skala besar, yang dijalankan oleh pengusaha dan difasilitasi oleh negara.
Bentuk fasilitasi oleh negara itu tampak dalam penerbitan regulasi yang tidak melibatkan deliberasi dengan warga setempat sebagai kelompok yang paling terdampak. Untuk mengamankan implementasi regulasi, juga proyek-proyeknya, aparat keamanan dikerahkan. Di Flores hal ini sudah terjadi, sebagaimana halnya di Rempang.
Dalam berbagai gejala ini, berkelindan upaya penguasaan sumber daya oleh segelintir kelompok, yang untuk menjamin mulusnya penguasaan itu, mereka berelasi dekat dan bahkan ikut mengontrol institusi-institusi pemerintah.
Ancaman kedepan akan semakin besar di tengah target-target peningkatan proyek investasi. Butuh kesadaran bersama dan keseriusan untuk menyikapi berbagai implikasi dari proyek-proyek ini.
Di tengah tren negara yang justru memfasilitasi berbagai proyek ini, tidak ada jalan lain untuk berjuang, selain bergerak bersama. Masyarakat sipil perlu memperkuat barisan untuk mengontrol dan terus bersuara membongkar praktik-praktik yang meminggirkan warga, yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari berbagai investasi, dan bukan menjadi korban.
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.