Mastodon Politik dalam Konflik Tambang di Oenbit

Situs adat milik masyarakat di Oenbit, TTU yang rusak akibat aktivitas PT ERI.
Situs adat milik masyarakat di Oenbit, TTU yang rusak akibat aktivitas PT ERI.

Oleh: ALFRED TUNAME

Masyarakat tiga suku di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mendatangi DPRD TTU pada 16 Maret 2015 untuk acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pemerintah daerah dan perusahan tambang mangan PT Elgary Resources Indonesia (PT ERI). (Zonalinenews.com, 16/3/2015).

RDP mengalamai cul-de-sac (jalan buntu) karena klarifikasi pemerintah dan PT ERI tidak diterima masyarakat. Bagi masyarakat tiga suku di Desa Oenbit tersebut, kehadiran PT. ERI telah merusak tanah ulayat dan mata pencaharian.

PT ERI mengklaim telah memiliki kuasa atas tanah seluas 1.623 ha yang siap dijadikan lokasi penambangan. Hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat tiga suku di Desa Oenbit.

Masyarakat merasa tidak pernah memberi izin kepada PT ERI untuk beroperasi di tanah mereka.

Kecurigaanya adalah pemerintah daerah TTU telah salah menggunakan kewenangannya (abuse of power) dengan “menggadaikan” tanah rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Fakta di atas semakin membenarkan tesis desentralisasi korupsi pasca implementasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Desentralisasi ternyata tidak diikuti kebijakan publik yang baik dan pelayanan publik yang dekat dengan rakyat, tetapi justru memekarkan korupsi ke daerah.

Abuse of power di kalangan elite politik lokal yang korup memberi sinyal “positif” bagi investor-investor kapitalis (lokal).

Kongsi kepentingan terjalin dengan akrab. Elite politik lokal berkepentingan untuk mempertahankan dinasti politik, sementara investor kapitalis berkepentingan untuk proliferasi profit.

Kepentingan PT ERI adalah proliferasi profit dari eksploitasi tambang mangan. Permintaan dunia (China, Korea dan India) akan mangan membuat perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia, khususnya PT ERI menggunakan segala cara untuk mendapatkan pasokan mangan.

Manakala gelombang publik anti-tambang begitu tinggi, penguasa politik menjadi satu-satunya pembuka akses menuju lokasi penambangan. Elite-elite politik yang korup merupakan kunci pembuka bagi eksploitasi dan operasi tambang.

PT ERI mendekati elite-elite politik yang korup untuk mendapatkan akses tambang mangan di TTU. Dengan administrasi normatif-artifisial dari pemerintah daerah, PT ERI sudah bisa mengubah lahan pertanian dan tanah ulayat menjadi lokasi tambang.

Kepentingan PT ERI adalah timbunan profit dari mangan, dan tidak peduli terhadap nasib masyarakat lokal dan lingkungan hidup.

Kawah-kawah luas bekas tambang dan kehancuran ekosistem adalah pemandangan yang tersisa setelah operasi tambang. Ratap dan tangis masyarakat tidak pernah menyentuh nurani politik para elite politik lokal di TTU.

Para elite politik lokal di TTU hanya memiliki watak predator (predatory elites). Sastrawan Rendra menyebut elite politik seperti ini sebagai “mastodon”, yakni penguasa yang munafik dan menindas.

Sementara rakyat adalah burung-burung kondor yang menjerit, terjepit dan gamang dalam mencapai makna kesejahteraan karena termangsa oleh asas-asas pembangunan yang munafik dan aristokratik (bdk. Dwi Klik Santosa dalam Rendra “Mastodon dan Burung Kondor”, 2011).

Para elite politik ini “memangsa” rakyatnya sendiri demi kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam egotistikal politik ini, rakyat digunakan sebagai alat untuk memperkokoh dominasi dan hegemoni politik. Para elite politik tidak lagi merefleksikan penderitaan rakyat dan menjadi representasi rakyat.

Di hadapan elit-elit predator ini, pedang keadilan telah tumpul sebab mata moral dan etik politiknya telah rabun. Keadilan dan kesejahteraan telah tinggal sebagai jargon-jargon usang kampanye politik.

Bagi masyarakat tiga suku di Desa Oenbit, keadilan dan kesejahteraan harus riil, bukan sekadar jargon politik. Keadilan dan kesejahteraan itu adalah pembangunan sektor agraris, tanpa tambang mangan.

Kehadiran perusahan tambang telah merusak ekosistem dan kelangsungan mata pencaharian mereka.

Oleh karena itu, rakyat menolak PT ERI; rakyat menolak tanah mereka menjadi lokasi tambang mangan. Para elite politik harus mendengar suara masyarakat ini. Pemimpin politik dan para politisinya harus benar-benar berpihak pada masyarakat di Desa Oenbit tersebut.

Celakanya, pemimpin politik dan para politisinya lebih mendengar gemerincing uang ketimbang suara dan jeritan rakyat. Prinsip “vox populi, vox Dei” (suara rakyat, suara Tuhan), diubah menjadi “vox populi, vox argentum” (suara rakyat, suara gemerincing uang) atas nalar pragmatisme politik.

Lantas, legitimasi politik yang kuat sangat mudah dikonversi dalam segepok uang. Lord Acton menulis, absolute power tends to corrupt absolutely.  Dalam pemerintahan yang koruptif, demokrasi pro-rakyat mudah berubah menjadi demokrasi prosedural pro-pebisnis tambang.

Maka tidak heran publik menyaksikan ironi politik dalam RDP masyarakat Desa Oenbit di DPRD TTU.

Di situ, pemerintah daerah TTU lebih menjadi corong pebisnis tambang (PT. Elgary Resources Indonesia), ketimbang penyambung lidah rakyat.

Sementara DPRD TTU tidak lebih dari sekadar “EO” (event organizer) yang mempertemukan masyarakat Desa Oenbit vis-a-vis pemerintah daerah TTU dan PT ERI.

Atau sederhananya, masyarakat tiga suku di Desa Oenbit sebenarnya telah menjadi “lembaga perwakilan” bagi DPRD TTU itu sendiri, yakni dengan menggunakan “hak interpelasi” terhadap pemerintah daerah TTU dan PT ERI.

Dan, ketika keterangan pemerintah daerah TTU dan PT ERI tidak memuaskan masyarakat karena kebijakan tambang mangan berdampak luas dan menghancurkan hak hidup dan lingkungan, maka masyarakat menolak tambang mangan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah TTU.

Penolakan ini karena negara (pemerintahan daerah TTU) gagal menterjemahkan kebutuhan riil rakyatnya.

Dari Realpolitik di atas, publik yakin bahwa pemerintah daerah TTU dalam hal ini Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes telah “dibajak” oleh PT ERI, begitupun halnya dengan DPRD TTU.

Pemimpin politik dan para anggota dewan ini menggunakan legitimasi politiknya untuk “memangsa” dan menindas rakyat yang justru seharusnya mereka bela.

Adorasi akan uang membuat mereka mengabaikan suara dan kepentingan rakyat. Vox populi, vox argentum!

Masyarakat TTU harus sadar bahwa tanah ulayat, kebun dan hutan telah dibombardir oleh perusahan tambang, atas “surat sakti” (IUP) dari Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes dan restu politisi busuk.

Lantas apa yang diharapkan dari pemimpin politik dan politisi seperti itu? Masyarakat TTU sudah saatnya berpikir ulang soal kepemimpinan di daerah.

Pilkada TTU 2015 harus menjadi momentum politik untuk perubahan dan mencari pemimpin yang benar-benar jujur dan adil terhadap rakyat.

Rakyat TTU harus berpikir tentang sosok pemimpin, mengutip H.L. Mencken (1926) dalam bukunya “Notes On Democracy”,  yang memiliki “telinga” dekat dengan rakyat. Yakni pemimpin yang bijak mendengar setiap bisikan dari riak-riak suara rakyat, bahkan sebelum rakyat menyadarinya.

Gelagar perjuangan anti-tambang perlu dikonversikan menjadi suara politis untuk memilih pemimpin masa depan bagi masyarakat TTU.

Pemimpin masa depan TTU adalah figur hegemonik yang benar-benar berkomitmen pada kesejahteraan masyarakat, tanpa tambang.

Perusahaan tambang, seperti PT ERI, adalah musuh masyarakat TTU. Oleh karena itu, pemimpin politik TTU adalah pemimpin yang tidak “berselingkuh” dengan musuh masyarakat itu.

Tanpa “mastodon” politik dan “monster” tambang, masyarakat TTU akan menjadi manusia lengkap dengan hak-hak sosial, komunal dan individualnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA