Floresa.co – Keputusan dan permohonan untuk tutup jalur transportasi laut dan udara oleh pemerintah Manggarai Barat di gerbang barat NTT adalah keputusan tepat dan perlu didukung publik. Meskipun keputusan tersebut tergolong terlambat mengingat lalu lintas manusia yang cukup tinggi dalam sepekan terakhir, terutama yang datang dari kota-kota yang sudah terpapar pendemi Covid-19.
Dalam pertimbangannya, pemerintah daerah menyebutkan fakta yang mengejutkan. Hanya dalam waktu sepekan, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) naik drastis. Dari 7 orang pada 18 maret 2020, menjadi 31 pada 25 Maret 2020. Sementara jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) berjumlah 2 orang. Dalam surat Pemerintah Darah Kabupaten Manggarai Barat ke Pemerintah Pusat, lonjakan kasus tersebut terjadi antara lain karena mobilisasi orang dari daerah-daerah lain seperti Denpasar, Jakarta, dan Surabaya.
Angka tersebut tidak bisa disepelekan; jumlah yang sesungguhnya sangat mungkin justru lebih besar. Pasalnya, pemeriksaan SWAB dan rapid test belum ada di NTT. Semuanya berpusat di Jawa. Kedua pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu relatif lama.
Mengapa keputusan itu tepat?
Pertama, kita tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah pusat atau pada respons krisis yang sentralistis atau top-down. Secara nasional, Indonesia (berpotensi) kehilangan kendali terhadap penyebaran corona. Sejak diumumkan pada 2 Maret, jumlah pengidap corona meningkat drastis. Tingkat penyebarannya sekitar 30-an persen per hari. Per 25 Maret, sudah ada ada 790 kasus di Indonesia. Jumlah orang meninggal mencapai 58 orang atau tertinggi di Asia Tenggara.
Jumlah itu kemungkinan masih jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Karena, rapid test dan pemeriksaan SWAB masih sangat minim di Indonesia. Namun, ironinya adalah kasusnya tergolong sedikit yang terdeteksi, sementara angka kematiannya tinggi. Sebuah studi tentang penyebaran infeksi dengan metode matematika yang berbasis di London menyebutkan angka tersebut barulah menyingkap 2 persen. Diperkirakan di Indonesia akan mencapai 34,300 kasus, lebih besar dari Iran.
Karena itu, Indonesia berpotensi paling buruknya menjadi episentrum baru untuk penyebaran corona. Tingkat penyebaran itu disetarakan dengan penyebaran di Wuhan-Cina, Iran, dan Italia. Tingkat kematian di Indonesia sangat tinggi dan setara dengan Italia yang berkisar 7,9 persen.
Kedua, kesiapan infrastruktur kesehatan pemerintah Indonesia umumnya juga belum memadai. Dalam artian, tidak saja saat menghadapi corona, tetapi juga sebagai pelayanan dasar kepada masyarakat. Kita menyaksikan, bagaimana di kota-kota besar dan bahkan di Jakarta pemerintah kewalahan. Apalagi di daerah seperti NTT.
Perbandingan jumlah penduduk dan rumah sakit belum cukup. Penduduk Indonesia berjumlah sekitar 260 juta, sementara tempat tidur rumah sakit berjumlah sekitar 321,544. Artinya, ada 12 tempat tidur per 10 ribu orang. Di Korea Selatan, perbandingannya 115, beda untuk 10 ribu orang.
Baca Juga: ODP Virus Corona Naik Drastis, Pemkab Mabar Tutup Bandara Komodo dan Pelabuan Laut
Perbandingan tenaga medis dan jumlah penduduk pun masih lebar. Berdasarkan data tahun 2017, empat dokter per 10 ribu penduduk. Jumlah itu sangat timpang mengingat Italia,yang memiliki 10 kali lebih tinggi perbandingannya, mengalami kewalahan dalam menghadapi laju penyebaran covid-19.
Sementara itu, untuk menghadapi kasus infeksi corona, fasilitas kita sama sekali tidak siap baik untuk pasien maupun alat perlindungan untuk tenaga medis. Perbandingan jumlah ketersediaan tempat tidur di Instalasi Gawat Darurat, misalnya, berkisar 2,7 per 10 ribu orang. Jika kasus ini meledak, dipastikan banyak pasien yang terlantar dan tidak terbantu dengan ventilator.
Tak hanya itu. Kelengkapan Alat Perlindungan Diri (APD) untuk tenaga medis pun masih kurang. Pemerintah pusat tengah mengimpornya dari China yang tidak lain adalah langkah yang sangat lambat sekali. Karena itu, banyak tim medis yang menyiapkan sendiri masker dan baju. Mirisnya, di daerah-daerah, tim medis malah hanya mengenakan jas hujan.
Perlindungan terhadap tim medis itu sangat memprihatinkan. Dalam waktu sekitar seminggu, di Indonesia sudah ada 8 dokter dan seorang perawat yang meninggal. Di antaranya, ada dokter yang ahli paru-paru. Padahal, Indonesia hanya memiliki seribu dokter paru dan 200 di antaranya bertugas di Jakarta.
Ketiga, keputusan politik pemerintah pusat sangat lamban dan rumit. Berpatok pada keputusan pemerintah pusat adalah jebakan besar. Karena, komplikasi dari krisis ini sendiri pun adalah buah dari keputusan politik yang lamban. Sejak merebak di Wuhan pada bulan Desember, Indonesia memiliki sekitar 2-3 bulan mempersiapkan diri. Namun, langkah yang diambil malah sebaliknya. Di saat negara-negara lain mulai lockdown, Indonesia menurunkan harga tiket pesawat dan bermanuver membayar influencer demi mencegah melesunya sektor pariwisata.
Potret tersebut diperburuk oleh komentar-komentar santuy para pejabat publik di media. Misalnya, Presiden Jokowi awalnya sangat yakin Indonesia tidak terpapar corona. Wapres, Ma’ruf Amin malah berkelakar, minum susu kuda liar untuk tangkal corona. Sementara Menkes, Terawan meremehkan penyebaran covid-19 ketimbang mengusahakan berbagai fasilitas untuk rumah sakit.
Preseden buruk itu sangat kontras dengan negara-negara yang sudah memiliki kelengkapan peralatan medis dan rumah sakit. Jerman, salah satunya. Kendati jumlah kasusnya sudah mencapai 30 ribu kasus, fatality ratenya sekitar 0,4 persen. Hal yang membedakan adalah bahwa Jerman mawas lebih awal meskipun infrastuktur kesehatannya jauh lebih canggih dan maju dari Indonesia. Persiapan ventilator dan tempat tidur mencukupi.
Baca Juga: Kepala Syahbandar Labuan Bajo: Penutupan Pelabuhan Kewenangan Menteri
Sejauh ini, keputusan pemerintah pusat adalah tetap tidak melakukan “lock-down”, sama seperti langkah yang diambil Jerman. Jokowi berpendapat,“setiap negara memiliki karakter, budaya, dan tingkat kedisiplinan yang berbeda-beda. Dengan pertimbangan itu, menghadapi covid-19, kita tidak memilih jalan lockdown.” Kesimpulan itu terlihat mengkambinghitamkan masyarakat dan terlampau mereduksi kompleksitas persoalan wabah ini.
Sebaliknya, untuk sampai pada kesimpulan serupa, Jerman melewati langkah-langkah yang terukur. Pertama, mawas lebih diri awal membuat Jerman bertindak cepat dalam melakukan test,telusuri jejak, dan karantina di saat kasus belum banyak. Test cepat dilakukan mencapai 12 ribu per hari. Sepekan, yang ditest mencapai 160 ribu orang. Kedua, penyebaran yang kian cepat dan tidak terdeteksi membuat Jerman mengambil langkah kedua yakni social distance dan larangan berkumpul. Pemerintah federal mengelurkan aturan larangan berkumpul lebih dari dua orang dengan sanksi yang tegas.
Pemerintah pusat terlihat gagap. Dibandingkan peran negara; malah solidaritas organik dan semangat gotong royong antara masyarakat yang lebih tampak dan bekerja lebih efektif. Pihak RSUD di Mangagrai Barat dan Manggarai justru menempuh langkah-langkah dan komunikasi informal untuk mendapatkan alat perlindungan diri. Di antaranya, melalui pengumuman di media sosial. Pada titik lain, ini bisa dilihat sebagai absennya jalur-jalur struktural dan formal dan melemahnya peran pemerintah.
Keempat, pemerintah daerah sangat baiknya berpedoman, “bertindaklah seakan-akan sudah terkena virusnya dan kita menjaga supaya virusnya tidak tertular.” Karena itu, langkah tegas dan kebijakan berlapis-lapis mesti diambil pemerintah daerah. Karena setiap keterlambatan dalam keputusan politik memiliki resiko yang mahal. Apalagi kelengkapan alat medis dan jumlah tenaga medis di rumah sakit di daerah masih jauh dari yang diharapkan dalam menangkal penyebaran virus covid-19. Satu-satunya langkah yang paling common sense adalah mengendalikan penyebarannya dengan melindungi wilayah dari lalulintas orang yang berpotensi membawa virus (carrier).
Kelima, dalam situasi darurat nasional seperti ini, kepentingan ekonomi, termasuk dampak penutupan bagi investasi pariwisata super-premium, bukanlah prioritas untuk sementara waktu. Kita masih dapat menanggung bersama akibat ekonomi dari penutupan ini; dan setelah pendemi berlalu, kita dapat kembali berusaha melakukan pemulihan ekonomi. Karena itu risiko ekonomi seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak melindungi wilayah ini dari penyebaran pendemi ini.
Dengan semua pertimbangan itu, penutupan pelabuhan udara dan laut adalah keputusan yang tepat dan layak didukung publik.
***