Floresa.co – Sekitar 400 orang menyemut di ruang tunggu Pelabuhan Larantuka, Kabupaten Flores Timur pada Selasa pagi, 12 Juli 2022. Sebagian besar duduk berselonjor. Yang lainnya terlihat mondar mandir. Ada pula yang sedang merokok. Beberapa lainnya fokus dengan telepon seluler dengan headset yang terpasang di telinga.
Kondisi di dalam ruangan itu terasa pengap. Sesekali terdengar petugas pelabuhan memberikan pengumuman melalui pengeras suara.
Para penumpang itu sedang menunggu kedatangan KM Lambelu, kapal yang melayani rute penyeberangan dari Larantuka ke Nunukan, wilayah paling utara di Provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Malaysia.
Sekitar pukul 09.00 Wita, seorang perempuan berbadan tambun, mengenakan kacamata bening terlihat masuk dari pintu bagian barat ruang tunggu pelabuhan tersebut. Ia langsung menuju meja petugas pelabuhan dan membicarakan sesuatu. Beberapa menit kemudian, ia memegang pengeras suara.
“Selamat pagi bapak-ibu semua. Saya Ibu Noben. Saya yang selama ini mengurus pemulangan jenazah orang-orang kita yang bekerja dan meninggal di luar negeri. Saya sungguh yakin, di antara bapak-ibu di sini, pasti ada yang hendak menyeberang ke Malaysia. Kita tidak larang merantau ke luar negeri. Supaya kita bekerja nyaman di sana, lebih baik kita berangkat melalui jalur resmi,” ujarnya.
“Bapak-ibu yang hari ini mau berangkat ke Malaysia, bisa simpan nomor telepon saya. Kalau terjadi apa-apa nanti, bisa langsung kontak saya,” tambahnya.
Setelah Noben berbicara, beberapa dari penumpang itu mendekat, meminta dan mencatat nomor teleponnya.
Perempuan bernama lengkap Benedicta Noben Da Silva itu adalah aktivis perempuan yang sejak 2014 fokus mengadvokasi kasus perdagangan manusia di Flores Timur. Kini, ia sudah mendirikan Yayasan Bunda Berbelas Kasih yang bergerak pada isu sosial dan hak asasi manusia. Ia juga menjadi relawan di Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI] NTT.
Maria Leo, 30 tahun, salah satu yang meminta nomor Noben hendak ke Malaysia bersama satu kerabat dari kampungnya di Pulau Adonara, bagian dari wilayah Kabupaten Flores Timur.
Maria mengatakan ia baru pulang dari Malaysia tiga bulan sebelumnya dan hendak kembali ke sana dengan membawa serta kakak perempuannya.
“Nanti sampai di Nunukan baru urus paspor,” kata Maria yang selama ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kinabalu, Malaysia Timur.
Menurut Maria, untuk mendapatkan paspor, mereka harus membayar sekitar 1500 Ringgit Malaysia atau setara Rp 4,98 juta per orang dan harus menunggu selama satu minggu. Harga paspor ini 14 kali lipat dari harga normal Rp 350 ribu jika mengurus sendiri melalui jalur resmi.
Salah satu ibu yang juga berasal dari Pulau Adonara mengatakan ia dan dua rekannya juga hendak pergi bekerja di Malaysia.
Sama seperti Maria, mereka akan mengurus paspor di Nunukan.
“Saya pernah bekerja di Malaysia,” kata ibu tersebut sembari meminta identitasnya dan dua rekannya yang sama-sama berjilbab dirahasiakan.
Setelah mengambil nomor telepon Noben, Maria bergegas kembali ke tempat duduknya, menyiapkan barang bawaannya karena sebentar lagi KM Lambelu akan bersandar.
Satu minggu setelah keberangkatannya, Floresa.co menghubungi Maria melalui pesan WA. Saat itu, ia mengatakan sudah tiba di Nunukan dan belum menyeberang ke Malaysia.
Ia tidak membalas lagi pertanyaan terkait jadwal keberangkatannya ke Malaysia serta perkembangan pengurusan paspor di Nunukan. Beberapa menit setelah membaca pesan tersebut, Maria memblokir nomor WA yang menghubunginya.
Dihimpit Persoalan Ekonomi
Warga Flores Timur menyebut KM Lambelu sebagai kapal perantau. Setiap kali bersandar di Larantuka, ratusan bahkan ribuan orang naik dan turun dari kapal tersebut. Mayoritas mereka yang menumpang kapal itu adalah para perantau yang datang atau yang hendak pergi ke Kalimantan dan Malaysia.
Menurut data PT Pelni cabang Larantuka, selama Januari hingga Agustus 2022, 3.466 orang berangkat dari Larantuka menuju Nunukan.
“Sebelum pandemi, orang-orang yang ke Nunukan bisa lima kali lipat dari jumlah yang sekarang. Sampai Agustus ini, kami mencatat, orang yang ke Nunukan paling banyak pada bulan Juli, yakni 894 orang,” kata Wyllmar Saribunga Pasangka, Kepala Administrasi PT Pelni cabang Larantuka.
Menurut Noben, merantau dan bekerja di luar negeri, khususnya Malaysia, telah menjadi budaya orang Flores Timur karena ingin mengubah kondisi ekonomi keluarga.
Dulu, jelasnya, warga Flores Timur bermigrasi secara swadaya atau mandiri ke Malaysia. Praktik ini, menurut Noben, masih berlaku hingga saat ini, di mana orang merantau ke Malaysia secara mandiri dari Flores Timur menuju Nunukan atau Batam di Provinsi Kepulauan Riau dan di sana mereka akan bertemu calo yang membantu menyelundupkan mereka ke Malaysia.
Selain itu, kata dia biasanya, orang yang pulang merantau akan mengajak kerabat atau warga sekampungnya saat ia kembali ke tempat perantauan, seperti yang dilakukan Maria.
Menurut Noben, esuai informasi yang ia dapat dari beberapa sumber, orang-orang yang membawa tenaga kerja ke Malaysia secara ilegal biasanya mendapat bayaran sekitar lima sampai tujuh juta rupiah per orang.
“Ini yang memang sedang terus kita sosialisasikan kepada masyarakat. Yang jadi calo itu orang terdekat seperti paman, kakak, adik atau keluarga dekat lainnya,” ujarnya.
Heraklius Lusi, 41 tahun, mantan Pekerja Migran Indonesia [PMI] non prosedural yang dideportasi dari Malaysia pada 2021, membenarkan pernyataan Noben.
“Jujur saja, kami merantau itu karena masalah ekonomi,” kata warga Bloto, Pulau Adonara tersebut saat ditemui pada 14 Juli 2022.
“Kalau harap hasil pertanian, itu tidak cukup untuk kebutuhan hidup. Apalagi mau bikin rumah yang layak. Makanya kita harus merantau. Banyak orang dari sini bisa buat rumah batu [tembok] dan bisa sekolahkan anak karena merantau,” tutur Heraklius.
Ia bersama istri dan dua anaknya memutuskan untuk merantau ke Malaysia pada 2012. Saat itu, mereka berangkat mandiri ke Batam dan dari sana mereka bertemu tekong atau calo yang ‘membantu’ menyelundupkan mereka ke Johor, Malaysia.
Di Johor, mereka dijemput oleh bos yang sebelumnya telah berkomunikasi dengan calo tersebut.
“Tekong ini orang dari sini [Adonara]. Dia sudah lama di Batam dan kerjanya itu menyelundupkan orang-orang yang hendak ke Malaysia tanpa dokumen resmi,” tutur Heraklius sembari meminta untuk tidak menulis nama calo tersebut yang masih punya hubungan kekerabatan dengannya.
Di Malaysia, Heraklius bekerja di peternakan. Ia mengaku cukup beruntung karena majikannya sangat baik dan ia diberi upah yang layak.
“Bos juga selalu memperhatikan saya dan keluarga. Di saat ada razia tenaga kerja tanpa dokumen, bos selalu melindungi kami,” ujarnya.
“Saya pernah ditangkap saat mau antar anak untuk pulang ke Indonesia, tetapi saat itu bos yang tebus, sehingga saya bisa bebas lagi.”
Diburu Aparat Keamanan hingga Anak-Anak Tidak Sekolah
Menurut Heraklius, tak sedikit PMI non prosedural di Malaysia yang mengalami nasib malang.
Ia mengatakan, dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum sudah menjadi hal biasa.
“Pekerja ilegal di Malaysia itu tinggal di hutan terus. Kita jarang sekali ke kota karena takut ditangkap,” ceritanya.
Situasi ini juga berpengaruh terhadap anak-anak para pekerja migran yang tidak bisa mengakses pendidikan.
Putri sulung Heraklius yang berusia 16 tahun misalnya, hingga kini tidak pernah duduk di bangku sekolah.
Heraklius bersama istri dan dua anaknya dideportasi setelah mereka gagal pulang ke Indonesia melalui ‘jalur gelap’.
“Kami pulang itu hanya bawa baju di badan. Uang sekitar Rp 300 juta itu hilang saat kami lari dikejar aparat keamanan Malaysia ketika hendak pulang melalui ‘jalur gelap’ menuju Medan,” ceritanya.
“Bersyukur, saat itu kami dibantu oleh orang India. Saya berusaha menghubungi keluarga di sini yang kemudian memberi kontak ibu Noben. Ibu Noben yang membantu kami sehingga kami bisa terhubung dengan KBRI di Malaysia, sampai kami akhirnya pulang dengan selamat sampai di kampung ini.”
Kini, Heraklius dan keluarganya memulai kehidupan baru di Kampung Bloto. Mereka tinggal di rumah sederhana berukuran sekitar 4×5 meter. Rumah berkonstruksi bambu dan berlantai tanah itu milik orang tua istrinya.
Untuk bertahan hidup, Heraklius bertani. Ia menanam sayur-sayuran dan buah-buahan.
Kendati mimpinya untuk hidup lebih layak setelah pulang merantau, ia masih bersyukur.
“Meskipun kami hidup mulai dari nol lagi, tetapi saya bersyukur, kami sekeluarga bisa pulang dalam keadaan selamat,” ujarnya.
Belum Ada Pengawasan
BP2MI Provinsi NTT mencatat sejak 2018 hingga Mei 2022, total PMI asal provinsi itu yang meninggal dunia di luar negeri adalah 480 orang. Dari jumlah itu, hanya 17 PMI yang berstatus legal.
Untuk Kabupaten Flores Timur, pada 2020, 16 PMI meninggal di luar negeri dan 48 orang yang dideportasi. Jumlahnya meningkat pada pada 2021, di mana PMI meninggal di luar negeri 19 orang dan yang dideportasi melonjak drastis menjadi 288 orang.
Selama tahun ini, data hingga September, PMI yang meninggal dunia di luar negeri sejumlah 10 orang.
Kendati kasus-kasus kematian dan deportasi PMI ilegal itu terus terjadi setiap tahun, belum nampak langkah antisipasi untuk menekan laju migrasi warga ke luar negeri yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
Di Pelabuhan Larantuka misalnya, para calon PMI ilegal dengan bebas menumpang kapal, kendati tidak memiliki surat-surat resmi sebagai tenaga kerja.
Floresa.co tidak melihat tidak melihat petugas yang mengawasi arus migrasi warga. Para calon TKI tanpa dokumen resmi yang hendak ke Malaysia dibiarkan begitu saja.
Sekretaris Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Flores Timur Mohamad Ikram mengakui keterbatasan pihaknya dalam mengawasi warga yang berangkat ke luar negeri secara non prosedural tersebut.
“Pengawasan kita belum maksimal sehingga banyak yang masih lolos juga lewat kapal ke luar negeri,” kata Ikram kepada Floresa.co di ruangan kerjanya pada 17 Juli 2022.
Dia menyatakan, untuk mengantisipasi laju migrasi non prosedural ke luar negeri, pihaknya telah membuat surat yang akan dikirim kepada setiap kecamatan dan desa agar mereka ikut bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi masyarakat di wilayah masing-masing.
“Yang jadi persoalan, mengapa mereka tidak mengikuti prosedur? Karena ada keluarga yang pulang dari Malaysia. Satu orang pulang dari Malaysia, pada saat dia kembali [ke Malaysia] dia bawa 10 orang tidak melalui jalur pemerintah atau non prosedural. Itu jadi persoalan selama ini,” tuturnya.
Padahal, kata dia, kalau calon PMI mengurus dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri, nama mereka akan tercatat di Dinas Nakertrans Flores Timur dan akan terkoneksi ke BP2MI Pusat.
“Kalau secara prosedural, nama mereka, foto, tempat kerja, umur berapa, gaji berapa, itu dikontrol di pusat. Persoalan apa di sana, itu di pusat tahu, sehingga pemerintah selalu menjaga keamanan para buruh migran kita di luar negeri,” katanya.
Salah seorang warga Flores Timur yang mengaku pernah merantau ke Malaysia menyatakan proses pengurusan dokumen resmi yang bertele-tele membuat banyak PMI, termasuk dirinya, memilih jalur non prosedural.
“Kita ini kan butuh cepat. Tetapi ketika prosesnya lama, makanya kita berpikir lebih baik kita selundup saja ke Malaysia. Toh banyak orang-orang kita di sana juga tidak punya dokumen resmi,” kata pria berbadan tinggi-besar itu saat ditemui di Pelabuhan Larantuka.
Lemahnya Penegakan Hukum
Maraknya praktik pengiriman tenaga kerja non-prosedural ini, yang rentan dengan kejahatan perdagangan orang, menurut kelompok advokasi adalah karena lemahnya penegakan hukum.
Floresa.co menemukan contoh kasus Katarina Kewa Kolin [41], warga Kelurahan Pohon Bao yang menjadi korban dugaan perdagangan orang.
Ia dari empat putri itu mengaku tergiur ketika pada Maret 2021, ia didatangi oleh Vero Langkamau, yang sebelumnya ia kenal sebagai pegawai koperasi mingguan, tempat ia meminjam uang untuk modal usaha kue.
Ia mengatakan, Vero menggodanya untuk bekerja di Jakarta. Ia diberitahu bahwa di ibukota ada tiga jenis pekerjaan yang bisa dipilih, yakni sebagai pembantu rumah tangga, menjaga anak, dan mengurus jompo.
“Dia bilang lebih baik kita pergi merantau. Di sini gaji kecil. Utang banyak Perinkop. Kita kerja di sana, kita [bisa] bayar utang, [bisa] biayai anak sekolah, [bisa] bangun rumah,” cerita Katarina mengulangi perkataan Vero saat itu.
Perinkop adalah istilah warga Flores Timur untuk koperasi, yang umumnya menawarkan pinjaman kepada warga dengan angsuran harian, mingguan, maupun bulanan.
“Dia bilang kalau urus jompo itu gajinya besar. Tiga juta rupiah per bulan,” tuturnya sembari menambahkan bahwa Vero datang membujuknya selama tiga hari berturut-turut.
Kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat Katarina tergiur dengan bujuk rayu Vero untuk mencari peruntungan di tanah rantau, yang disejui anak-anaknya.
Ia mengatakan, Vero meminta dirinya menyiapkan KTP, Kartu Keluarga, dan surat keketerang sudah mendapat vaksin Covid-19.
“Katanya mau kirim ke bos yang di Jakarta. Saya tidak tahu bos itu siapa. Yang berhubungan dengan bos hanya Ka Vero.”
Empat hari kemudian, lanjut Katarina, Vero kembali mendatangi rumahnya dan menyerahkan uang sebesar satu juta rupiah untuk belanja tas, sepatu, dan beberapa perlengkapan lainnya. Vero berpesan, uang sisa belanja barang-barang itu diberikan kepada anak-anak Katarina.
Keesokan harinya, Senin 5 April 2021, sekitar pukul 15.00 Wita, Vero menjemput Katarina menggunakan mobil travel – taxi – untuk dibawa ke Maumere. Jarak Larantuka Maumere sekitar 150 Km.
Di dalam mobil itu, selain Vero dan sopir, ada seorang perempuan lain yang juga direkrut Vero.
“Bilangnya kapal berangkat malam dari Maumere. Sampai di Maumere sudah gelap dan langsung beli tiket ke Makassar,” ceritanya.
Dari Maumere ke Makassar mereka menggunakan KM Siguntang. Di atas kapal, Katarina bersama Vero dan satu lainnya bertemu dengan tiga perempuan yang juga hendak ikut bekerja di bawah koordinasi Vero. Ketiga perempuan itu berasal dari Pulau Adonara.
“Sampai Makassar Sabtu subuh. Kita turun. Vero bilang kita cari penginapan di sini. Kita dapat kos di Bapak Haji yang dekat pelabuhan di Makassar,” tambahnya.
Sabtu pagi, 9 April 2021, Vero memberitahu Katarina dan empat calon pekerja lainnya bahwa mereka akan ke Surabaya menggunakan pesawat.
Katarina pun menanyakan kepada rekan-rekannya terkait perubahan tujuan perjalanan tersebut.
“Mereka bilang kita akan ke Kuala Lumpur. Sebelum ke Kuala Lumpur, urus surat-surat di Surabaya selama satu minggu,” ujarnya.
“Saya bilang, itu hari katanya mau kerja di Jakarta. Akhirnya saya telepon beritahu anak-anak bahwa saya akan bekerja di Malaysia,” ceritanya. “Anak-anak tidak mau. Mereka bilang mama pulang saja.”
Katarina menambahkan setelah memberitahukan bahwa mereka akan ke Surabaya, Vero juga menginformasikan bahwa ia akan kembali ke Flores Timur karena ada urusan kantor.
“Dia bilang, dia akan menyusul ke Surabaya setelah urusan kantornya selesai.”
Lia Mage [19], anak perempuan Katarina yang paling tua mengatakan, ia bersama kedua kakak laki-laki dan adik-adiknya keberatan ibu mereka ke Malaysia karena tidak sesuai dengan tujuan awal yakni Jakarta.
“Di sini Tanta Vero bilang kerja di Jakarta. Kalau dari sini bilang mau ke Malaysia, kami tidak akan izin mama merantau,” katanya.
Apalagi, kata dia, Katarina tidak mengantongi surat-surat resmi untuk bekerja ke luar negeri.
“Kami takut terjadi sesuatu dengan ema [mama],” ujarnya.
Informasi tentang Katarina dan kawan-kawannya yang akan diberangkatkan ke Malaysia itu pun sampai ke telinga Noben. Ia mendatangi kediaman anak-anak Katarina dan menggali informasi terkait proses awal hingga ibu mereka berangkat ke Makassar.
Noben kemudian mengontak Katarina. Menurut Katarina, saat ditelepon Noben, Vero selalu menghalanginya dan meminta dia untuk tidak bicara.
“Ka Vero selalu di depan-depan. Dia langsung kasih mati HP terus. Dia bilang, tidak usah angkat HP. Saya bilang anak-anak minta saya pulang,” katanya.
“Ka Vero langsung telepon bos di Jakarta bilang sudah sampai Makassar sudah beli tiket semua, jadi saya tidak bisa pulang. Harus sampai di Surabaya dulu,” tambahnya.
Noben kemudian mendamping anak-anak Katarina melaporkan kasus itu ke pihak kepolisian Flores Timur.
Pada malam itu juga, pihak polisi di Makassar langsung mengamankan Vero, Katarina, dan beberapa calon tenaga kerja lain yang hendak dibawa ke Malaysia tersebut.
Menurut Lia, setelah diamankan polisi, Katarina menelepon dan meminta mereka agar memberitahu polisi bahwa sejak di Flores Timur, Vero telah memberitahukan untuk bekerja di Malaysia.
“Ema marah kami. Dia minta kami ikut tanta Vero punya mau supaya beritahu polisi bahwa sejak dari sini dia sudah bilang ke Malaysia. Kami tidak mau ikut karena di sini dia bilang mau kerja di Jakarta,” kata Lia.
Floresa.co dua kali mendatangi rumah Vero untuk mengonfirmasi terkait kasus ini pada Selasa pagi dan sore, 12 Juli 2022. tetapi dia selalu tidak berada di tempat. Dihubungi melalui pesan WhatsApp, awalnya dia menuding bahwa wartawan hendak menjebaknya.
“Mau jebak saya lagi ka? ” tulisnya di pesan WhatsApp pada Selasa malam.
“Owww dari wartawan yang belum tahu cerita jelasnya dari kami semua langsung tulis nama saya jelas-jelas itu?”
Setelah diberi penjelasan, ia sempat mau bertemu dan diwawancara pada Rabu, 13 Juli. Tetapi saat hendak mendatangi rumahnya pada Rabu sore, Vero memberitahu melalui pesan WhatsApp bahwa ia masih ada kesibukan. Beberapa saat setelah mengirim pesan itu, ia memblokir nomor WA yang menghubunginya.
Floresa.co telah berupaya untuk menghubungi Vero menggunakan nomor telepon seluler yang lain pada 25 September 2022, tetapi tidak tersambung.
Pihak Polres Flores Timur menyatakan telah memeriksa 10 orang terkait kasus itu termasuk Vero Langkamau.
“Saat memberikan keterangan, Vero ini mengaku korban karena dia juga hendak bekerja. Yang meminta dia untuk rekrut itu saudara AM,” kata Kasi Humas Polres Flores Timur, Ipda Anwar Sanusi.
Namun, hingga kini, pihak Polres Flores Timur belum berhasil mengambil keterangan dari AM.
“Kami sudah kirim surat panggilan, tetapi yang bersangkutan belum datang. Jadi tinggal dia yang belum diperiksa,” ujarnya.
Seorang perwira polisi yang pernah bertugas di bagian Reserse Kriminal Umum Polda NTT menginformasikan bahwa AM pernah dilaporkan ke Polda NTT terkait kasus dugaan Human Trafficking. Namun, saat itu, AM melarikan diri.
“Dulu dia rekrut orang [PMI ilegal] di Pulau Timor. Saya sudah lupa tahun berapa kasus itu,” kata sumber tersebut.
Sumber Floresa.co di Larantuka mengatakan, selama ini AM sering membawa tenaga kerja ilegal dari Flores Timur ke Malaysia.
“Dia dulu pernah kerja di Malaysia. Sekarang dia sudah jadi calo yang bawa orang ke Malaysia. Saya dengar, dia sedang di Johor sekarang,” katanya.
Pihak Polres Flores Timur menyebut kasus yang menimpa Katarina belum bisa dinaikan ke penyidikan karena belum terjadi tindak pidana.
“Menurut keterangan Vero, sudah ada gambaran dari sini [Flores Timur] bahwa akan dibawa ke Malaysia. Saat di Makassar, mereka ditahan dan dikirim kembali ke Flores Timur. Jadi belum ada tindakan pidana di sini karena belum dikirim [ke Malaysia],” ujar Sanusi.
Sanusi juga mengatakan, pihak yang melapor kasus itu juga telah menarik laporannya.
Kendati demikian, kata dia, kasus itu masih bisa dibuka kembali, apabila ada bukti baru yang mengarah ke tindak pidana.
Floresa.co tidak menulis nama lengkap AM kendati pihak Polres Flores Timur menyebutnya karena kami belum berhasil mendapat tanggapan AM terkait keterlibatannya dalam kasus Katarina dan Vero.
Perlu Peningkatan Pemahaman Aparat Hukum
Sr. Fransiska Imakulata, SSpS, Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusian – Flores [TRUK-F] – lembaga advokasi milik Gereja Katolik yang juga ikut menangani banyak kasus human trafficking mengakui bahwa banyak kasus-kasus human trafficking di di Flores yang penanganannya tidak jelas.
Ia menuding pemicu utamanya adalah kurangnya pemahaman Aparat Penegak Hukum [APH] terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO].
“APH itu mesti punya pemahaman yang sama [tentang UU TPPO] supaya dalam menghadapi suatu kasus, mereka benar mengerti, sungguh-sungguh mengerti kasus itu ketika melihat kronologi mereka bisa membaca kasus ini arahnya ke sini,” katanya.
“Kalau kita hadir di pertemuan Nasional itu, APH di pusat sana mereka punya pemahaman [tentang UU TPPO]. Yang di daerah perlu ditingkatkan lagi kapasitasnya.”
Menurut Sr. Fransiska, dalam beberapa kasus dugaan perdagangan manusia yang mereka advokasi, APH selalu menggunakan UU Ketenagakerjaan untuk menjerat pelaku. Padahal, kata dia, jika dilihat dari proses perekrutan, pengiriman, dan lainnya, sudah jelas-jelas termasuk dalam TPPO.
“APH selalu mengabaikan proses awal sampai orang mau bekerja ke luar daerah atau luar negeri,” ujarnya.
Ia juga menyebut masalah terkait integritas APH. Kendati belum memiliki bukti yang cukup kuat, kata dia, “kita duga mereka [APH] ada di balik itu [human trafficking].”
“Kalau memang kerja murni untuk persoalan kemanusiaan,” kata dia, harusnya penegak hukum bisa serius mengusut kasus-kasus yang dilaporkan.
Ia menjelaskan, perhatian serius pada kasus-kasus human trafficking di Flores juga mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir, Flores tidak hanya menjadi penyumbang tenaga kerja ilegal yang rentan human trafficking, tetapi juga menjadi daerah tujuan perdagangan orang.
Ia mencatat, para korban direkrut dari Jawa dan beberapa pulau lainnya untuk bekerja di sejumlah pub atau tempat hiburan malam di Maumere, Ende, dan beberapa kota lain di Flores.
“Ada yang direkrut langsung oleh bos di sini, ada yang karena teman. Dia pulang dari sini, dia cerita hasilnya yang baik di sini, lalu anak yang dari sana [Pulau Jawa] ikut dia ke sini. Ada yang [direkrut] melalui media sosial Facebook,” kata Suster Fransiska.
TRUK-F mencatat, selama 2020 hingga 2021, total 22 kasus perdagangan orang di Flores yang mereka advokasi, yang mayoritas korban adalah perempuan dan anak di bawah umur dari luar Flores.
Salah satu contoh kasus yang mereka tangani adalah terkait 17 anak pekerja pub di Maumere, Kabupaten Sikka. Kasus ini mencuat ketika aparat Ditres Polda Nusa Tenggara Timur [NTT] dan Satres Polres Sikka menggelar razia di tempat hiburan malam di kota Maumere pada Senin, 14 Juni 2021. Para korban ini ditemukan di empat tempat hiburan malam. Mereka berusia 14-17 tahun.
Menurut Suster Fransiska, sesuai pengakuan sejumlah korban, mereka direkrut untuk bekerja di restoran, namun, ketika tiba di Maumere, mereka dipekerjakan di tempat hiburan malam.
“Kemudian juga ada penjeratan utang. Mereka diberi gaji tiga sampai empat juta rupiah, tetapi mereka tidak bisa keluar kompleks pub. Mereka belanja kebutuhan hidup itu di dalam pub dengan harga yang sangat mahal. Menurut pengakuan korban, satu bungkus mie instan itu Rp15 ribu. Ini yang kita sebut penjeratan utang,” katanya.
“Kasus 17 anak ini berjalan lambat,” kata Suster Fransiska. “Para pelaku juga tidak semuanya jadi tersangka. Dan pelaku hanya dijerat dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan bukan TPPO. Padahal, sudah jelas unsur-unsur TPPO dalam kasus ini.”
Menanti Langkah Serius Pemerintah
Suster Fransiska berharap Presiden Joko Widodo serius memperhatikan masalah perdagangan manusia di NTT.
“Dulu pada 2014 Pak Jokowi bilang NTT darurat human trafficking. Tetapi, langkah nyata untuk memberantas itu belum nampak,” ujarnya.
“Kami juga berharap agar pemerintah memfasilitasi, mendekatkan pelayanan, dan memangkas prosedur yang panjang dalam pengurusan dokumen orang-orang yang hendak bekerja ke luar negeri maupun antar daerah supaya mengurangi kasus tenaga kerja ilegal yang rentan human trafficking di NTT.”
Gabriel Goa Sola, aktivis ant perdagangan orang yang juga Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian [Padma] Indonesia mengatakan, pemerintah Provinsi NTT dan semua pemerintah kabupaten di provinsi tersebut mesti segera menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk mencegah migrasi ilegal.
“Pemerintah juga harus berkolaborasi dengan semua pihak untuk melakukan gerakan anti human trafficking,” katanya.
Sementara belum ada upaya serius pemerintah mengatasi masalah ini, di tempat akses keluarga bagi pekerja migran seperti di Pelabuhan Larantuka, calon pekerja migran tidak berdokumen dan para calo masih bebas berkeliaran
Noben mengatakan kepada Floresa.co, setiap kali KM Lambelu muncul di Pelabuhan Larantuka dua kali sebulan, sekitar 100 orang yang berada di ruang tunggu adalah mereka yang hendak ke Malaysia.
“Yang jujur ke kita hanya sedikit orang. Yang lain tidak mau jujur. Biasanya ketika ada persoalan di Nunukan, baru mereka huru-hara hubungi kita,” katanya.
Liputan ini terselenggara atas kerja sama Floresa.co dengan Tempo.co, Tempo Institute, Buletin Ekora NTT, Task Force Media dan Zero Human Trafficking Network [ZHTN]