Miliaran Dana untuk Proyek Air Bersih di Manggarai Timur: Airnya Tak Kunjung Mengalir, Warga Tetap Konsumsi Air Keruh

Pemerintah telah gelontorkan anggaran Rp5,6 miliar selama beberapa tahun, namun warga di tiga kampung di Rana Masak — desa yang dikenal sebagai wilayah krisis air - tetap merana

Floresa.co Dengan hati-hati Rista mencelupkan jeriken berukuran lima liter ke dalam sebuah kolam kecil, tempat ia saban hari menimba air.

Sesekali tangan gadis berusia 16 tahun itu meminggirkan kotoran yang terapung agar tidak ikut masuk ke dalam jeriken.

“Tadi saya lupa bawa gayung,” kata gadis asal Kampung Maro, Desa Rana Masak itu.

Setelah jeriken penuh, dengan pelan Rista mengangkatnya, lalu meletakkannya di lantai semen yang berada persis di dekatnya.

“Kalau tidak hati-hati, nanti takut air jadi tambah keruh karena lumpur,” ujarnya kepada Floresa,  Selasa pagi, 27 Juni 2023.

Libo, demikian warga setempat menyebut kolam sedalam sekitar 30 sentimeter dengan diameter 1,5 meter itu.

Berjarak sekitar 500 meter ke arah utara Kampung Maro, libo itu berada di lembah di bawah sebuah pohon, pinggir kali mati.

Di sekelilingnya tampak sudah dibangun tembok pengaman. 

Warga menutup bagian atas libo itu dengan pelupuh bambu. 

Kendati demikian, airnya terlihat keruh. Dedaunan dan ranting-ranting kering terlihat mengapung di permukaan.

“Kami ambil air ini untuk minum dan memasak,” kata Rista.

Pagi itu, Rista sudah beberapa kali bolak-balik menimba air di sana. Setiap kali mengangkut, ia membawa dua jeriken berukuran lima liter.

Tiba rumahnya, ia menuangkannya ke dalam sebuah tong berukuran 100 liter hingga terisi penuh, untuk mencukupi kebutuhan tujuh orang anggota keluarganya. 

Mengambil air di libo menjadi rutinitas Rista setiap pagi dan sore. Ia berjalan kaki, menuruni dan mendaki bukit, demi mendapatkan air.

“Capek. Tapi, mau tidak ambil air di libo itu berarti tidak masak dan minum,” keluhnya, sembari mengusap keringat di jidat.

“Itu satu-satunya sumber air yang dekat dengan kami.”

Keluarga Rista dan puluhan keluarga lainnya di Kampung Maro mengonsumsi air dari libo itu selama bertahun-tahun.

Mereka tidak punya pilihan lain, sebab sumber air dengan debit yang lebih besar berada jauh dari desa itu.

“Kalau musim kering, kami biasa antre berjam-jam di libo itu karena debit airnya sangat kecil,” tutur Genoveva Mamus [52], ibunda Rista.

“Bahkan ada yang tidak tidur malam supaya bisa dapat air.”

Warga, kata dia, sedikit lebih lega, ketika musim hujan tiba, sebab mereka bisa memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan rumah tangga. 

Situasi serupa juga dialami oleh warga beberapa kampung lainnya di Desa Rana Masak, 

Di Kampung Golo Borong dan Metuk, warga juga mengonsumsi air yang mereka ambil dari libo.

Berjarak sekitar 20 meter dari pemukiman warga Golo Borong dan sekitar satu kilometer arah timur Kampung Metuk, kondisi air di libo itu juga terlihat keruh. 

Libo, kolam kecil yang menjadi sumber air minum bagi warga Golo Borong dan Metuk. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Yohanes Gajeng [45], warga Golo Borong mengatakan, air itu mereka gunakan untuk memasak dan minum. 

Sebelum ada jalan aspal ke kampung mereka, untuk  mandi dan mencuci, mereka sekeluarga harus mengambil air di  Kali Wae Bobo yang berjarak sekitar dua kilometer arah barat kampung.

“Kalau hujan, kami tampung air hujan,” katanya.

Sejak tahun lalu  karena jalan sudah bagus, kata dia, “untuk mandi, cuci dan kebutuhan di toilet, kami beli air di mobil-mobil tangki yang masuk ke kampung.”

Setiap pekan, kata dia, keluarganya mengeluarkan uang Rp50 ribu hingga Rp60 ribu untuk membeli 1.500 liter air dari mobil tangki yang datang dari Borong, ibu kota Manggarai Timur.

“Kami setiap bulan itu keluarkan uang rata-rata Rp200 ribu untuk beli air,” ujarnya. 

Sejumlah wadah yang digunakan untuk menampung air hujan yang digunakan oleh keluarga Yohanes di Kampung Golo Borong (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Berbeda dengan Yohanes, Theresia [45] yang tinggal berdua dengan ibunya di sebuah rumah sederhana di Kampung Metuk, masih harus berjalan kaki ke kali Wae Bobo, jika hendak mandi dan mencuci pakaian.

“Kami tidak beli air tangki karena tidak punya uang,” katanya.

“Kalau hujan, kami mandi dan cuci pakaian pakai air hujan,” ujarnya.

Sempat Senang Proyek Air Masuk Desa

Desa Rana Masak memang dikenal sebagai wilayah krisis air di Manggarai Timur. Tidak ada sumber air di wilayah desa itu. 

Berpuluh-puluh tahun warga hanya mengandalkan air dari kolam-kolam kecil yang mereka gali di pinggir kali mati di sekitar pemukiman.

Meski jarak dari Lehong, pusat pemerintahan Manggarai Timur hanya sekitar lima kilometer ke arah timur, pemerintah baru mulai memperhatikan masalah krisis air bersih di desa itu pada 2018. 

Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kabupaten itu mengalokasikan anggaran selama tiga tahun berturut-turut hingga 2020 untuk membangun jaringan air minum bersih  ke Desa Rana Masak. 

Seperti dikutip dari laman LPSE Manggarai Timur, pada 2018, pemerintah itu mengalokasikan anggaran lebih dari  Rp999 juta untuk proyek air itu.

Pada 2019, anggaran menjadi dua kali lipat, lebih dari Rp1,8 miliar untuk proyek yang sama.

Anggaran juga terus bertambah pada 2020, ketika pemerintah mengalokasikan Rp2,7 miliar.

Selanjutnya, pada 2021, pemerintah kabupaten itu kembali mengalokasikan anggaran senilai lebih dari Rp200 juta untuk biaya pemeliharaan.

Dengan demikian total Rp5,7 miliar yang telah digelontorkan.

Genoveva mengatakan, mereka sempat merasa senang ketika pada 2021, pipa dan meter air dipasang ke rumah-rumah warga.

“Tapi, sejak selesai dipasang, airnya tidak pernah keluar dari kran,” katanya.

“Kami sempat timba air itu dari pipa [jaringan utama] yang bocor,”tambahnya.

Namun, jelas dia, airnya keluar tidak sampai satu jam. “Setelah itu, tidak keluar lagi sampai sekarang.”

Hal senada juga diungkapkan Yohanes. Menurutnya, di wilayah Kampung Golo Borong, air keluar hanya sekali setelah proyek itu selesai dikerjakan.

“Air yang keluar itu juga sangat kotor dan keluarnya tidak lama. Mungkin tidak sampai satu menit,” ceritanya.

Yohanes kemudian menunjukkan angka kubikasi pada meteran air yang berada di samping rumahnya, di mana tertulis 0.0005 meter kubik.

Angka kubikasi pada meter air keluarga Theresia di Kampung Metuk. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Sementara Theresia mengatakan air dari pipa-pipa proyek itu tidak pernah mengalir hingga ke Metuk, kampung di ujung barat Desa Rana Masak.

“Pokoknya sejak selesai pasang ini meteran [meter air], air tidak pernah keluar,” katanya.

Pada angka kubikasi yang tercantum di meter air keluarga Theresia, tertulis 0.0001 meter kubik. 

“Dari awal pasang ini meteran, angkanya begitu,” ujarnya. 

Penjelasan Dinas PUPR

Ivan Mbula, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Manggarai Timur membantah pernyataan warga.

Ia mengklaim, air dari pipa-pipa proyek tersebut mengalir hingga ke Kampung Metuk.

“Dari awal, air itu jalan [mengalir],” katanya kepada Floresa, Selasa, 3 Juli.

Ia menuding pemicu air yang mengalir tidak stabil karena ada yang melubangi pipa.

“Ketika pipa dibocori, terjadi pengurangan tekanan [air] sehingga kalau di mendaki dia [air] tidak mampu [mengalir],” ujarnya.

Yang terjadi di Desa Rana Masak, kata dia, di samping karena ada kegiatan perbaikan jalan dari Bidang Bina Marga di dinasnya yang berdampak pada pipa-pipa air, masalah pipa yang dirusak “faktor paling utama.”

Dugaan pengrusakan pipa dianggap turut mengganggu pengerjaan badan jalan. “Daripada air dibuang-buang, [sekalian saja] petugas mengurangi volume air,” katanya.

Ivan juga mengklaim, saat serah terima proyek itu, air mengalir di semua kran yang dipasang di rumah-rumah warga.

Pernyataan Ivan dibantah Genoveva yang kembali dimintai pendapatnya oleh Floresa.

Ia mengatakan, tidak benar bahwa air mengalir di semua kran di rumah-rumah warga seperti klaim Ivan.

Menurutnya, hanya warga dua kampung di desa itu yaitu Lewe dan Melur, yang selama ini memang menikmati air proyek pemerintah itu.

“Kami di Maro tidak pernah rasakan timba air di kran yang dipasang di rumah-rumah kami,” katanya.

Ketika Floresa menunjukkan angka kubikasi pada meter air milik warga Metuk, di mana tidak ada perubahan sejak dipasang, Ivan berdalih, “mungkin air tidak mengalir sampai ke Kampung Metuk karena stop kran pembagian air ke wilayah itu belum dibuka.”

“Memang betul seperti yang masyarakat sampaikan,” katanya.

Ia mengatakan, pada prinsipnya, kalau diatur dengan baik, seharusnya air bsa mengalir sampai Metuk.

“Hanya saja, belum ada petugas yang buka-tutup keran. Itulah kenapa masyarakat mengeluhkan air tak [segera] keluar, bahkan sejak [prasarananya] selesai dibangun.”

Menurut Ivan, jaringan pipa air di Rana Masak dibagi dalam tiga segmen yakni menuju Sekolah Dasar, kiri-kanan jalan, dan segmen ke wilayah Maro, Golo Borong dan Metuk.

“Di situ semua ada stop-stop kran untuk pengaturya. Jadi umpamanya di sini tutup, di sana buka. Masyarakat kan tidak tahu,” katanya.

Ivan mengatakan, terkait pipa-pipa yang bocor akibat pengerjaan jalan, pihak kontraktor sudah bersedia mengantikannya.

“Ada 12 titik yang bocor [dari hulu] sampai di Kampung Maro. Minggu depan kita perbaiki karena penggusuran jalan sudah selesai,” kata Ivan.

“Kalau sudah di Maro nanti kita uji coba, apakah betul sampai di Metuk airnya.”

Pipa air proyek Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur tergeletak di pinggir jalan di Kampung Maro. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Minta Tidak Diberitakan

Ivan sempat meminta agar Floresa tidak memublikasikan berita terkait persoalan proyek ini, sebelum perbaikan pipa dilakukan.

“Mungkin ini jangan dulu ekspos, tunggu kita sambung semua [baru di ekspos] untuk meyakinkan Anda [bahwa air itu mengalir sampai ke Metuk],” ujarnya.

Setelah hampir dua tahun proyek AMB di Rana Masak selesai dikerjakan, hingga kini, keluarga Genoveva, Yohanes, dan Theresia, masih sulit mendapatkan air bersih.

Agar sedikit terbantu, Genoveva memodifikasi sebuah terpal berwarna hijau menjadi bak penampung air hujan yang ia tempatkan persis di samping rumahnya.

“Kami masih tampung air hujan untuk mandi, cuci pakaian, dan kebutuhan lain,” ujarnya, sembari membetulkan salah satu sudut bak terpal itu.

Sekitar sepersepuluh bagian bak berukuran sekitar 1,5 x 2 meter dengan tinggi 1 meter itu, tampak sudah terisi air.

Bak hasil modifikasi sebuah terpal yang digunakan keluarga Genoveva untuk menampung air hujan. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Ini air hujan yang kami tampung sejak kemarin,” kata Genoveva, Kamis pagi, 27 Juni.

Ia berharap, pemerintah segera memperbaiki jaringan pipa air menuju kampung mereka.

“Kalau air tidak keluar begini, sayang uang pemerintah dibuang-buang percuma,” ujarnya.

“Kasihan juga kami masyarakat. Awalnya boleh senang, tetapi ternyata airnya tidak kami nikmati.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA