Floresa.co – Menjelang jam 4 sore di sisi jalan utama Pasar Inpres Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, pintu geser sejumlah ruko tampak sudah tergembok. Sementara beberapa lahan parkir masih padat oleh sepeda motor yang tampilannya nyaris seragam: tanpa helm tergantung pada jok maupun spion.
Berjalan sekitar 50 meter ke dalam pasar, ternyata masih terdapat lahan-lahan parkir lain dengan pemandangan serupa. Nihil helm di atas sepeda motor terparkir.
Di pasar itu, helm-helm justru ditenteng atau dikenakan pada kepala.
“Orang-orang cenderung membawa masuk helm [ke pasar] karena faktor keamanan,” kata Engelbertus Nasa, seorang pengunjung pasar itu pada 7 Agustus.
Tak seperti halnya sepeda motor yang dapat digembok pada bagian cakramnya, kata dia, “helm itu tak berkunci, sehingga mudah diambil.”
Jawabannya senada dengan Tomi Anggur, juga pengunjung pasar utama di kota itu.
Ia selalu mengenakan helm selama berbelanja di sana lantaran “takut hilang,” apalagi “tidak ada tempat penitipan helm.”
Bobot helm cenderung ringan yang memungkinkannya “mudah dicuri orang,” kata Angel, satu pengunjung pasar lainnya. Lain halnya dengan sepeda motor yang “susah mereka curi.”
Berbelanja dengan seorang kerabat, perempuan itu tampak menenteng helm di tangan kanannya. Tangan kirinya menjinjing beberapa tas belanja.
Lama-kelamaan, katanya kemudian, “menenteng atau mengenakan helm ke mana-mana menjadi kebiasaan.”
Alasan lain adalah soal kepraktisan, kata Engelbertus.
“Kalau harus buka dan mengaitkan helm pada jok motor, mungkin makan waktu bagi orang yang sedang terburu-buru.”
Di Mana-mana Helm Raib
Pengalaman seperti di pasar itu, dengan orang-orang mengenakan helm atau menentengnya sambil berbelanja, juga terlihat dari mereka yang berbelanja di daerah pertokoan.
Berinteraksi dengan pedagang sambil mengenakan helm di kepala menjadi pengalaman biasa.
Orang-orang terpaksa melakukan itu karena takut helmnya dicuri, hal yang menurut sejumlah warga yang berbicara kepada Floresa, telah marak terjadi, meski tidak ada data statistik yang tersedia dari otoritas resmi.
Maling helm tidak hanya beroperasi di daerah ramai seperti di pasar, pertokoan, tetapi juga di tempat-tempat parkir di lembaga pemerintah, di jalan-jalan, bahkan di halaman gereja.
Basilius Ngabal, seorang warga Ruteng, satu di antaranya yang mengisahkan pengalaman istrinya.
Merespons pertanyaan lewat halaman Facebook Floresa tentang siapa yang pernah kehilangan helm di Ruteng, ia berkisah tentang pengalaman dua tahun silam saat istrinya yang bekerja sebagai seorang bidan terpaksa memarkir sepeda motor di sisi jalan raya di depan Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Ruteng.
Waktu itu, kata Basilius, “lahan parkir di [dalam area] RSUD sudah penuh. Sementara istri saya harus bergegas mendampingi pasien rujukan.”
Istrinya lalu mengaitkan helm merek Ink berwarna merah pada jok sepeda motornya. “Helm itu baru beli kurang dari sebulan,” katanya.
Beberapa jam kemudian ketika menghampiri sepeda motor, bersiap untuk pulang, “istri saya kaget karena helm merah barunya sudah tak ada lagi.”
Tak ada yang bisa ditanyai, apalagi dimintai tanggung jawab. Alhasil, istrinya terpaksa pulang tak berhelm.
Kisah lain disampaikan Agustinus Lahur ketika suatu sore ia pergi berbelanja ikan di Pasar Inpres Ruteng.
Ia meninggalkan helm pada sadel sepeda motornya yang terparkir di depan pasar.
Waktunya cenderung singkat lantaran ia hanya membeli ikan. Sayangnya, saat kembali ke parkiran, helmnya raib.
“Karena sudah sore, maka tak ada petugas parkir. Saya bingung mau mengadu ke siapa,” katanya.
Dedhy Angkur, warga lainnya mengatakan pernah kehilangan helm di lapangan parkir Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai.
“Helm itu saya simpan di atas motor lalu saya masuk dalam ruangan. Setelah 30 menit saya keluar, helm saya hilang,” katanya.
Seorang warga lain yang meminta Floresa tidak menyebut namanya berkisah tentang “helm baru saya yang seharga nyaris Rp500 ribu hilang di depan salah satu stasiun radio swasta di Ruteng.”
Terbiasa menaruh helm lawas di atas jok motor, demikian pula “saya memperlakukan helm baru saya. Taruh saja di atas jok.”
Ia sebetulnya hanya kurang dari 10 menit menjauh dari sepeda motornya. Namun sekembali ke parkiran, helm barunya sudah tiada.
“Sejak saat itu saya tak pernah membeli helm lagi. Saya kembali ke helm-helm lawas saya,” katanya.
Matilda Diana, warga lainnya mengatakan helmnya merek Ink berwarna merah hilang dari motornya yang sedang parkir di halaman Gereja Katedral Ruteng.
Atik Don juga mengaku kehilangan helm pada Desember tahun lalu saat ia sedang makan di rumah makan dekat kantor DPRD.
Sementara Ichan Lagur, seorang mahasiswa Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, juga kehilangan helm dari kampusnya saat ia sedang mengikuti kuliah.
Anomali Petugas Parkir
Sementara kasus pencurian makin marak, terjadi pola pembiaran, juga belum ada tindakan serius dari pemerintah dan polisi, institusi yang mendapat mandat menjaga keamanan.
Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai menyatakan, ada 12 tempat yang dijaga khusus para petugas resmi, tersebar di Ruteng dan Reo, ibu kota Kecamatan Reok di dekat pantai utara Kabupaten Manggarai. Mereka bertugas di lokasi antara pukul 08.00-15.00 Wita.
Namun, kinerja petugas parkir pemerintah ini jadi sorotan karena dianggap mempraktikkan model kerja yang aneh.
Engelbertus memberi catatan soal aturan penggunaan karcis parkir oleh petugas.
Ia mengatakan, seharusnya ketika hendak memasuki lahan parkir, petugas langsung sodorkan karcis ke pemilik kendaraan, yang kemudian dikembalikan ke petugas saat meninggalkan lahan parkir sambil membayar biaya parkir.
“Sementara di sini, petugas beri karcis ketika pengendara sepeda motor hendak meninggalkan lahan parkir,” katanya.
Keluhan terhadap praktik seperti ini pernah juga diungkapkan di media sosial oleh Rooney Guala, seorang warga asal Pagal, Kecamatan Cibal yang pernah tinggal di sebuah kota di Pulau Jawa.
“Hal yang masih membingungkan sampai sekarang di Kota Ruteng adalah model pembayaran uang parkir,” tulis Rooney.
Di mana-mana, tulisnya, karcis atau tiket parkir diberikan kala pengendara memasuki lahan parkir.
Tiket sekaligus “penanda bahwa kitalah pemilik kendaraan tersebut,” sementara di Ruteng, “yang berlaku sebaliknya.”
Seorang pengguna Facebook yang mengomentari unggahannya mengatakan, prosedur parkir di Ruteng merupakan “masalah serius yang harus ditangani.”
“[Petugas parkir Dinas Perhubungan] seolah dapat uang tanpa bekerja,” tulisnya.
Rooney mengatakan kepada Floresa bahwa pernah secara langsung memberi masukan terkait keanehan prosedur parkir sepeda motor ini, dengan bertanya: “Jika terjadi kehilangan barang, termasuk kendaraan, siapa yang nanti bertanggung jawab?”
Bahkan sesudah diberi masukan dari masyarakat pun, kata dia, “mereka tetap mempertahankan cara lama.”
Seorang warga Ruteng yang tak ingin namanya disebut dan kerap berbelanja di Pasar Inpres Ruteng menyatakan lahan parkir pasar itu “tak dibedakan, mana yang untuk pengemudi ojek, mana yang untuk pengunjung.”
Lahan parkir bagi pengemudi ojek, katanya, sama sekali tak dijaga petugas sepanjang hari. Oleh karenanya, mereka tak dikenai tarif parkir.
“Bisa saja pengunjung pasar memarkir sepeda motornya di situ. Campur saja semua, ojek dan pengunjung. Risiko kehilangan [helm] kian besar,” katanya.
Agustinus Dalur, Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai tidak menampik soal penerapan prosedur pemberian karcis kepada pengendara yang justru dilakukan ketika hendak keluar dari parkiran.
Ia mengklaim “sudah memikirkan segala keraguan masyarakat [terkait prosedur parkir di Ruteng]” itu.
“Meminimalisasi kehilangan, saya selalu sampaikan kepada teman-teman yang bertugas di lapangan saat apel pagi untuk sampaikan kepada pengendara supaya jangan tinggalkan barang di lokasi parkir,” kata Agus kepada Floresa di ruang kerjanya pada 10 Agustus.
Ia mengatakan kehilangan barang di tempat parkir yang dijaga petugas Dinas Perhubungan “merupakan tanggung jawab petugas. Sampaikan [soal kehilangan barang] kepada petugas [parkir],” katanya.
Agustinus mengklaim “belum dapat laporan adanya kehilangan barang, baik itu helm maupun jenis belanja lainnya di tempat yang ada petugas parkirnya.”
Respons Polisi yang Buat Kecewa
Polres Manggarai tidak memiliki data kasus pencurian helm. Lembaga itu hanya mencatat dan menangani kasus-kasus pencurian, yang umumnya terkait barang elektronik.
Jumlah kasus yang dilaporkan, menurut data mereka, menurun dalam tiga tahun terakhir. Berturut-turut tercatat 48 kasus pencurian [2021], disusul 36 kasus [2022] dan 18 kasus [Januari-Juli 2023].
Tidak terekamnya kasus pencurian helm, terjadi karena berbagai faktor, selain karena sikap pasrah pemilik helm, juga keputusan polisi yang menolak menindaklanjuti.
Basilius Ngabal tak melaporkan kasus kehilangan helm istrinya karena memilih “ikhlaskan saja.”
“Mungkin yang mengambil helm itu lebih membutuhkan,” katanya.
Sementara Dedhy Angkur yang memutuskan melapor kepada polisi mengaku mendapati jawaban yang mengecewakan.
“Polisi mengatakan, pengaduan saya tak bisa diproses karena kerugian di bawah Rp1 juta,” katanya.
Ia mengatakan, polisi tidak menjelaskan dasar aturan hukum terkait keputusan semacam itu.
Dedhy memprotes alasan itu, karena dia anggap “mengada-ada.” Seharusnya “sekecil apapun kerugian, tindak kejahatan harus diproses.”
Karena kesal, kata dia, usai ke Polres Manggarai “saya langsung pulang. Saya sempat keliling di kota Ruteng dengan tidak pakai helm, berharap polisi tahan saya, tapi tidak terjadi.”
Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub-bagian Humas Polres Manggarai membenarkan polisi tidak bisa memproses aduan pencurian dengan nilai kerugian di bawah Rp1 juta.
Hal tersebut, katanya kepada Floresa, sejalan dengan “Peraturan Mahkamah Agung [Perma] Nomor 12 Tahun 2002”.
Pasal 2 ayat [2] aturan tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP itu menjelaskan, apabila nilai barang atau uang bernilai tidak lebih dari Rp2,5 juta, ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.
Haruskah Dibiarkan Terus?
Dalih Perma yang memicu pembiaran polisi terhadap maling helm di Ruteng menjadi catatan Bonifasius Gunung, seorang praktisi hukum asal Manggarai yang tinggal di Jakarta.
Ia mengatakan, bagaimanapun “kejahatan tetaplah kejahatan, tak peduli berapa pun angka kerugiannya.”
Patokannya bukan lagi nominal, melainkan “seberapa jauh kejahatan-kejahatan kecil ini menimbulkan keresahan dalam masyarakat.”
Jika kejahatan-kejahatan kecil “secara masif memicu kekhawatiran masyarakat akan keamanan, polisi dapat melakukan tindakan inisiatif selain yang ditentukan dalam Perma.”
Menurut Boni, panggilannya, Perma berada pada struktur yang rendah dalam aturan hukum pidana Indonesia.
Perma, katanya, “tak menjawab keresahan masyarakat kecil.”
Penerapan Perma “hanya akan memicu kejahatan berulang dan pada saat yang sama menurunkan rasa keadilan dalam masyarakat.”
Alih-alih Perma, “polisi dapat kembali ke Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.”
Pasal itu pada intinya berbunyi “kepolisian berfungsi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban. Tak ada penyebutan nominal di dalam pasalnya.”
Dengan kata lain, kata Boni, “polisi wajib menerima dan menindaklanjuti apapun laporan masyarakat tanpa memandang nominal kerugian.”
Rosis Adir, Anastasia Ika dan Engkos Pahing berkolaborasi mengerjakan laporan ini.