Anggota DPRD Sikka Terpilih Tersangka Kasus TPPO Dekati Istri Korban agar Cabut Laporan, Kinerja Polisi Dipertanyakan

Yuvinus Solo atau Joker jadi tersangka sejak pertengahan Mei, namun tidak kunjung ditahan

Floresa.co – Anggota DPRD Kabupaten Sikka terpilih, tersangka kasus perdagangan orang, dilaporkan mendekati keluarga korban agar mencabut laporan di polisi, hal yang memicu desakan dari lembaga kemanusiaan untuk segera menahannya karena dianggap berusaha menghalangi proses hukum.

Yuvinus Solo atau Joker, politisi Partai Demokrat, dilaporkan berulang kali mendekati Maria Herlina Mbani, istri dari Yodimus Kaka agar mencabut laporan terkait kasus ini.

Jodi merupakan bagian dari puluhan tenaga kerja yang dikirim Joker ke Kalimantan pada 13 Maret, tanpa mengikuti prosedur legal. Warga Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete itu kemudian meninggal pada 28 Maret karena kelaparan. Ia dikuburkan di Kalimantan sehari setelahnya karena ketiadaan biaya pemulangan.

Polres Sikka menetapkan Jodi sebagai tersangka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] pada 17 Mei, usai dilaporkan pada awal April. Penetapan tersangka diumumkan usai aksi protes elemen sipil di Sikka.

Tujuh korban lainnya kemudian berhasil dipulangkan dari Kalimantan ke Sikka atas bantuan sejumlah lembaga kemanusiaan.

Suster Fransiska Imakulata, SSpS dari Tim Relawan Kemanusiaan Flores [TRUK-F] yang juga salah satu kuasa hukum para korban berkata, berdasarkan pengakuan Meri, “ada upaya berulang kali yang dilakukan Joker di mana ia berusaha membujuk untuk mencabut laporan polisi.”

Meri mengonfirmasi kepada Floresa soal pengakuan Fransiska.

Ia berkata, Joker dan keluarganya menemuinya tiga kali untuk “membujuk agar masalah ini segera diselesaikan secara damai,” dengan “meminta saya segera cabut laporan polisi agar dia tidak dipenjara.”

“Dengan begitu nanti urusan adat almarhum Jodi, kehidupan saya dan anak-anak dapat diurus,” kata Meri kepada Floresa pada 29 Juni.

Ia menyebut salah upaya pendekatan Joker dilakukan di Kampung Hebing, Desa Hebing, Kecamatan Mapitara pada 24 Juni. 

Meri mengaku semula diajak kakak iparnya ke Hebing, dengan alasan “omong proses adat almarhum Jodi.”

Namun, setibanya di kampung almarhum suaminya itu, ia mengaku bingung dan takut lantaran, “bukan proses adat yang dibicarakan, tetapi  mereka minta saya bertemu Joker dan omong tentang proses damai.”

“Ada Kakak Didi [Didimus Rusman] yang mempertemukan saya dan Joker. Kakak Didi juga berulang kali meminta saya segera berdamai dengan Joker,” katanya.

Didi adalah orang yang juga mendekati Meri pada April agar berdamai usai kasus ini dilaporkan ke Polres Sikka.

“Saya tidur, tetapi dibangunkan. Mereka bilang, ‘Kau bangun dulu ketemu Joker. Kalaupun kau tidak mau damai, kau ketemu saja dulu.’”

Meri berkata ia dikelilingi keluarga yang mendukung Joker yang membuatnya takut.

“Dia [Joker] tepuk lengan saya sambil tertawa dan bilang, ‘Kau kah yang lapor saya di polisi? Saya sudah lihat berkasnya di polisi yang belum kau tanda tangani. Kalau kau jadi tanda tangan, saya pasti masuk penjara,’” kata Meri menirukan ucapan Joker.

“Dia minta saya tarik laporan itu, biar dia bisa bebas. Dia bilang, kalau kau mau, hari ini saya panggil polisi di Polsek Bola supaya kita buat surat pernyataan,” katanya.

Joker juga berkata, “saya ini bisa biayai orang hidup dan orang mati,” aku Meri.

“Jadi kalau tarik laporan,” katanya lagi-lagi menirukan Joker, urusan adat Jodi akan ditangani.

Ia berkata, pihak keluarga yang mendukung Joker banyak sekali “tetapi mereka tidak pernah melihat penderitaan saya dan anak-anak.”

“Bahkan, jajan untuk anak saya pun saya tidak bisa beli. Dulu ada Jodi, biar sedikit hasil ojek, jajan untuk anak tetap ada,” katanya.

Meri berkata, “jika ada itikad baik dari Joker sewaktu Jodi menderita di Kalimantan, mungkin proses hukum juga tidak berjalan sejauh ini.” 

“Kalau dia mau komunikasi baik dan mau urus kepulangan jenazah suami saya, mungkin saya tidak laporkan. Tetapi sejak sakit hingga meninggal, telepon saja dia tidak pernah angkat. Lalu tiba-tiba dia datang minta damai karena alasan kami masih ada hubungan keluarga,” katanya. 

“Ini mau minta damai. Untuk apa damai? Suami saya sudah meninggal. Apakah dengan berdamai, suami saya bisa hidup lagi?,” tambahnya.

Karena takut dan merasa semakin ditekan oleh Joker dan keluarganya, Meri menelepon Petrus Arifin, salah satu korban Joker yang ikut bersama Jodi ke Kalimantan.

“Kalau terus-terusan begini [ditekan], saya tidak tahu lagi apakah nanti proses hukumnya dilanjutkan atau tidak. Jadi, sambil menangis saya telepon Ari dan minta tolong jemput kami.”

Yuvinus Solo, yang dikenal dengan sebutan Joker. (Istimewa)

TRUK F: Ada Upaya Halangi Proses Hukum

Heni Hungan, salah satu pendamping para korban dari TRUK-F menduga Joker “sengaja menghalang-halangi proses hukum yang sedang berjalan.”

Heni berkata kasus ini yang dilaporkan pada 6 April 2024 di Polres Sikka “sampai saat ini belum ada perkembangan yang signifikan.”

“Kita sudah gelar konferensi pers pada Kamis 27 Juni sebagai upaya dari kuasa hukum dan TRUK-F untuk menuntaskan proses penyidikan yang lebih transparan dan adil sehingga kasus ini bisa masuk dalam babak yang baru,” katanya kepada Floresa pada 28 Juni.

Hal serupa diungkapkan Suster Fransiska.

Pihaknya melihat aksi Joker sebagai “upaya untuk menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.” 

Ia berkata, jika upaya damai dari pihak Joker berhasil maka akan melemahkan proses pembuktian saat persidangan.

“Kalau sudah ada upaya damai, maka sanksi untuk pelaku itu pasti akan ringan dan kami sangat tidak mengharapkan itu,” katanya.

“Kita mau institusi penegakan hukum ini bekerja sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku,” tambahnya.

Fransiska berkata, pihaknya yakin aksi Joker sudah memenuhi unsur-unsur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO], “di mana ada yang merekrut, ada pemindahan, sampai di Kalimantan ada penelantaran, ada pembiaran hingga ada yang meninggal.”

Ia berharap Polres Sikka bekerja serius apalagi merujuk Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2023 tentang Struktur Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, jajaran polisi menjadi menjadi petugas hariannya.

“Kalau ini sudah menjadi atensi di tingkat nasional, kenapa kita di daerah ini lemah sekali? Jadi, kami sangat mengharapkan dan mendesak supaya aparat penegak hukum itu sungguh-sungguh bekerja,” katanya.

Ia berkata, “kami tidak mau menuding atau tidak mau menuduh ada upaya yang lain-lain.”

“Kami ingin aparat penegak hukum bekerja secara serius,” katanya.

Pertanyakan Alasan Sakit

Dalam wawancara dengan Floresa pada 13 Juni, Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto menyebut alasan Joker tidak ditahan karena ia “mengalami sakit komplikasi dan perlu perawatan.” 

Namun hal ini berkebalikan dengan fakta yang diungkapkan Meri.

Meri mengaku, saat bertemu di Hebing, Joker “sehat sekali dan menyapa saya dengan tertawa.”

“Tidak ada tanda-tanda dia sakit,” katanya.

Ia mempertanyakan alasan polisi bahwa ia sakit komplikasi.

“Kenapa orang komplikasi bisa pergi jauh dari Maumere menuju Hebing?,” katanya.

Fransiska menambahkan, pihaknya sudah mengonfirmasi penyidik dan katanya tersangka sedang sakit.

“Kami tidak bisa membuktikan apakah dia sakit benar atau tidak. Apalagi kalau berdasarkan cerita Mama Meri, kami dengar Joker sehat,” katanya.

Pihaknya pun berharap “aparat penegak hukum tidak ada kongkalikong di belakang karena kasus ini sudah nyata, korbannya ada, pelakunya ada dan buktinya sudah ada.”

“Apalagi yang masih kurang?,” kata Fransiska.

Dihubungi Floresa pada 29 Juni, AKP Susanto berkata, klaim Joker sakit merujuk pada “surat keterangan dari dokter.”

“Yang bisa menyatakan dia sehat atau sakit, ya dokter,” katanya.

Floresa menghubungi Joker pada 29 Juni, namun nomornya tidak aktif. Sementara Alfons Hilarius Ase, kuasa hukumnya, tidak merespons pertanyaan Floresa via pesan WhatsApp.

Joker, mantan Kepala Desa Hebing periode 2020-2023 dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO juncto pasal 55 ayat 1 KUHP atau pasal 186 ayat 1 UU TPPO  juncto pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.

Pasal 2 ayat 1 UU TPPO mengatur antara lain perekrutan seseorang dengan pemalsuan, penipuan untuk tujuan eksploitasi di wilayah negara Indonesia. Ancaman hukumannya antara 3-15 tahun dan denda antara Rp120.000.000 – Rp600.000.000. Sementara pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur ketentuan kewajiban memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.

Pasal 55 ayat 1 KUHP berbicara soal mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan.

Fransiska mengingatkan bahwa “kasus TPPO yang dilakukan Joker menjadi salah satu kasus kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime.”

“Kami merasa bahwa jika sudah ada alat bukti yang cukup, maka pihak penyidik selain menetapkan tersangka, seharusnya sudah menahannya,” katanya.

Lambannya polisi, yang juga tidak menahan Joker, katanya, “menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan korban dan saksi.”

Editor: Ryan Dagur

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya