Floresa.co – Para aktivis kemanusiaan di NTT menilai tuntutan jaksa terhadap salah satu anggota DPRD Sikka terdakwa kasus perdagangan orang masih “terlalu ringan,” sembari mendesak agar ia ditahan, alih-alih tetap menjadikannya sebagai tahanan kota.
Jaksa Penuntut Umum [JPU] dari Kejaksaan Negeri Sikka menuntut Yuvinus Solo alias Joker dengan pidana penjara sembilan tahun dan denda Rp200 juta, subsider kurungan penjara enam bulan.
Pastor Otto Gusti Madung, imam yang ikut mengadvokasi korban kasus ini berkata, tuntutan tersebut “sebetulnya belum maksimal karena menurut Pasal 2 Ayat [1] UU Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO], tuntutan maksimal adalah 15 tahun.”
Ia menegaskan, perdagangan orang merupakan salah satu bentuk extraordinary crime against humanity atau kejahatan luar biasa yang melawan kemanusiaan.
“Dalam konteks NTT, kita sedang berada dalam darurat perdagangan manusia,” katanya kepada Floresa pada 20 November.
Suster Laurentina Suharsih, PI, biarawati Katolik sekaligus aktivis perempuan yang aktif mengadvokasi kasus TPPO di NTT juga berkata seharusnya tuntutannya 15 tahun “sehingga menimbulkan efek jera bagi yang lain.”
Joker, kata dia, adalah “orang yang seharusnya menjadi contoh untuk memperjuangkan nasib masyarakat kecil,” namun “tega menjual orang untuk keuntungan sendiri.”
Joker juga sebenarnya sudah tahu betapa mirisnya kasus TPPO di NTT di mana Pekerja Migran Indonesia yang “tinggal nama” karena meninggal di tempat kerja, katanya.
“Saya mengutuk berat perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan sangat merendahkan martabat manusia.”
Joker, anggota DPRD dari Partai Demokrat, dilaporkan merekrut puluhan warga Sikka ke Kalimantan Timur pada Maret, tanpa mengikuti prosedur legal.
Mereka kemudian ditelantarkan. Yodimus Moan Kaka atau Jodi, warga Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete yang termasuk dalam rombongan itu kemudian meninggal pada 28 Maret setelah sakit karena kelaparan.
Kasus ini dilaporkan ke Polres Sikka oleh istri Jodi, Maria Herlina Mbani pada awal April. Joker kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei. Namun, polisi tidak menahannya, mengklaim ia sakit. Ia pun tetap dilantik sebagai anggota DPRD pada 26 Agustus.
Dalam tuntutan yang dibacakan pada 14 November itu, Ahmad Jubair, salah satu JPU menyatakan Joker terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan TPPO.
Ia didakwa melanggar Pasal 2 Ayat [1] UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO juncto Pasal 55 Ayat [1] KUHP.
JPU juga menuntut Joker membayar restitusi atau ganti rugi kepada tujuh saksi dan seorang anak saksi dengan total Rp155.413.000.
Jika tidak mampu membayar restitusi tersebut, JPU menuntut Joker diberi hukuman pengganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Sementara itu, Valens Pogon, kuasa hukum dari lembaga Gereja Katolik Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores [TRUK-F] yang ikut mendampingi korban berkata, tuntutan JPU seharusnya juga mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota DPRD, yang dalam sumpah jabatannya “terdapat bagian yang menarik yaitu janji untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.”
Dalam UU TPPO khususnya pada bagian menimbang, kata dia, dinyatakan bahwa “perdagangan orang merupakan kejahatan yang melanggar Pancasila dan UUD 1945.”
“Jadi, dia [Joker] bertentangan dengan sumpah jabatannya sendiri. Ada juga bagian di dalam sumpah jabatannya bahwa dia akan memperjuangkan aspirasi masyarakat, bukan memperdagangkan masyarakat,” katanya.
Valens berkata, lantaran Joker melanggar sumpah jabatannya dan mengingat NTT merupakan daerah dengan status “darurat perdagangan orang” maka “orang-orang seperti ini harus diberi hukuman yang maksimal” supaya menimbulkan efek jera.
Tuntutan sembilan tahun penjara, kata dia, memang “mendekati maksimal” tetapi “belum maksimal,” begitu juga dengan denda yang “bila perlu Rp600 juta.”
“Apalagi berdasarkan berita-berita sebelumnya bahwa dia itu pemain lama,” dalam kasus TPPO, katanya.
Desak Tahan Joker di Rutan
Otto Gusti Madung juga menyoroti soal Joker yang belum ditahan di rutan dan hanya menjadi tahan kota.
Jika tuntutannya sembilan tahun, kata imam Katolik yang juga Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif itu, maka “dia harus ditahan di rutan.”
“Saya menduga aparat penegak hukum sedang bermain mata dengan terduga pelaku dalam kasus ini.”
Sudah menjadi rahasia umum “para penegak hukum kita korup dan tidak berpihak pada rakyat,” katanya.
Otto juga berkata, salah satu kewajiban negara adalah melindungi hak asasi manusia dan hakim serta jaksa adalah “perpanjangan tangan negara untuk melindungi hak-hak dasar para korban perdagangan manusia.”
Secara konstitusional, aparat penegak hukum harus “maju tak gentar membela korban,” bukan “membela yang bayar.”
“Seharusnya, sejak awal para penegak hukum sudah harus berpihak kepada korban dan jangan tunggu tekanan dari masyarakat sipil,” katanya.
Suster Laurentina juga ikut mendesak aparat penegak hukum agar segera menahan Joker di rutan karena ia “masih bisa melalang buana kalau hanya menjadi tahanan kota.”
“Pemerintah harus tegas. Siapapun itu harus diproses. Jangan hanya cepat menangkap orang kecil, giliran orang besar masih pakai tahanan kota segala,” katanya.
Sementara Valens meminta Kejaksaan Negeri Sikka memperlakukan Joker sama dengan terdakwa lainnya.
Ia berkata, penahanan di rutan “tidak mengurangi hak terdakwa untuk mendapat pelayanan kesehatan.”
Ia juga mengingatkan pentingnya mengawasi langkah lanjutan hingga pembacaan putusan kasus ini, mengingat dalam kasus sebelumnya “ada pengalihan dasar hukum dari Undang-undang TPPO ke UU Ketenagakerjaan sehingga pidananya menjadi lebih rendah.”
Pernyataan Valens merujuk pada kasus 17 anak perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia untuk dipekerjakan di empat tempat hiburan malam di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Mereka ditemukan dalam razia yang dilakukan Polda NTT pada 14 Juni 2021, yang kemudian dititipkan di rumah singgah TRUK-F untuk pendampingan. Pelaku kemudian diproses sesuai UU Ketenagakerjaan.
Valens berkata, berdasarkan fakta persidangan, “tidak ada celah yang bisa digunakan untuk mengalihkan UU TPPO ke UU Ketenagakerjaan.”
Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, ada praktik yang disebut supra hukum di mana “dasar hukum putusan dapat berubah kalau ada permainan dengan uang seperti sogok menyogok.”
“Kita perlu jaga dan berani omong seperti sekarang ini karena suap menyuap itu bukan cerita mati, melainkan cerita hidup dan nyata. Kita bukan hanya mewaspadai itu, tetapi mendorong agar benar-benar keadilan ditegakkan,” katanya.
Soroti Aksi Simpatisan Joker
Valens juga menyoroti soal simpatisan Joker yang menggelar demonstrasi di Maumere pada 19 November, dengan mendatangi beberapa lembaga, seperti Kejaksaan Negeri Sikka, Pengadilan Negeri Maumere, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik [Kesbangpol], Polres Sikka, dan istana Keuskupan Maumere.
Simpatisan yang berjumlah 400 orang itu datang dari Desa Hale Hebing, Kecamatan Mapitara. Mereka mengklaim tuntutan JPU terhadap Joker “sangat tidak berkeadilan karena tidak sesuai fakta-fakta persidangan.”
Mereka juga meminta majelis hakim “menegakkan keadilan sesuai fakta-fakta persidangan” dan berharap agar “tidak terpengaruh dengan desakan dari orang-orang yang berkepentingan dengan kasus tersebut.”
Valens mengaku mendapat informasi bahwa simpatisan Joker juga menuntut Kesbangpol Sikka supaya menutup TRUK-F dengan alasan lembaga kemanusiaan tidak mengurus politik.
Ia juga mengaku mendapat informasi bahwa di istana Keuskupan Maumere simpatisan Joker “mengklaim penanganan kasus ini terjadi karena ada intervensi dari pihak lain.”
Merespons klaim-klain itu, ia berkata, “sejak awal mengadvokasi kasus ini, TRUK-F berharap agar semua orang menaati asas dalam UU terkait kekuasaan kehakiman supaya peradilan itu bebas, tidak boleh ada campur tangan dari siapapun, termasuk tidak boleh ada intervensi dari pelaku maupun kuasa hukumnya.”
Dalam proses ini, kata dia, “kami tidak melakukan intervensi.”
Ia menambahkan, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pihaknya selama ini yang menuntut agar Joker diadili dan ditahan “berbasis pada Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia”
Pasal itu memuat tiga poin di antaranya “setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.”
Pasal itu juga menyatakan “setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.”
Selain itu, pasal itu menyatakan “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
“Kami melihat Joker ini dikhususkan karena sejak dari penyidikan sampai di pengadilan, dia tidak ditahan di rutan,” katanya.
Valens menyebut “tuntutan agar TRUK-F ditutup” sebagai sebuah pendapat yang sangat keliru karena “TRUK-F merupakan lembaga yang berbadan hukum dan merupakan lembaga layanan berbasis masyarakat dari 87 lembaga lain di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi.”
Keterlibatan TRUK-F dalam kasus ini merupakan bagian dari upaya menjalankan perintah negara yang tertuang dalam Pasal 60 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, katanya.
Jadi, kata dia, para simpatisan yang mempersoalkan TRUK-F itu “perlu dipertanyakan.”
“Apalagi simpatisan ini merupakan orang yang bersimpati kepada orang yang telah bersumpah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, justru memperdagangkan rakyat,” katanya.
“Kok masih ada yang membela orang yang memperdagangkan rakyat,” katanya.
Ia menegaskan, dalam pasal 60 UU TPPO, “kita diminta untuk mencegah perdagangan orang dan menangani korban, bukan membela pelaku,” tambahnya.
Floresa meminta tanggapan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sikka, Okky Prastyo Ajie soal alasan tidak menahan Joker.
Namun, ia tak merespons pesan WhatsApp yang dikirim pada 21 November, kendati bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
Editor: Ryan Dagur