Floresa.co – Ketika empat tahun lalu tamat kuliah, Avelina Kurniati kembali ke kampungnya di Kabupaten Manggarai.
Membawa ijazah sebagai Sarjana Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan [PJOK] dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] Citra Bakti Ngada itu, ia berharap segera dapat pekerjaan.
Namun, saat tiba di kampungnya di Pela, Desa Ndehes, Kecamatan Wae Ri’i, ia menghadapi kenyataan pahit: mengajukan lamaran ke beberapa tempat, namun tidak ada yang segera merespons.
Ia sempat berpikir kuliahnya “tidak berguna.”
Dalam situasi itu, ia bertemu dengan teman sekampungnya, Sari Nasul, yang juga baru lulus dari Universitas Kanjuruhan Malang, Jawa Timur.
Keduanya lalu mencoba mencari cara untuk tetap produktif.
Kebetulan, Sari punya ide untuk membuat kelompok belajar bagi anak-anak di kampung, kata Avelina kepada Floresa pada 2 Desember.
Dalam situasi pandemi Covid-19 kala itu, Avelina yakin itu ide bagus karena anak-anak juga membutuhkan aktivitas positif di tengah kejenuhan karena pandemi, di mana mereka tidak bisa ke sekolah.
Kelompok belajar itu dimulai dengan aktivitas sederhana.
Anak-anak membawa buku sendiri dari rumah dan “kami hanya mengandalkan semangat untuk belajar bersama,” kata perempuan 26 tahun itu.
Lantaran ia dan Sari masih sibuk mencari pekerjaan, aktivitas kelompok belajar itu hanya bertahan dua minggu.
Namun, pengalaman itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi Avelina.
“Saya melihat antusiasme anak-anak dan itu membangkitkan harapan saya bahwa sesuatu yang kecil bisa membawa perubahan besar.”
Mengambil Langkah
Avelina bisa mendapat pekerjaan dua tahun kemudian sebagai guru Mata Pelajaran PJOK di SD Katolik St. Angela Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat.
Berada jauh di kota yang terpaut 139 kilometer dari Pela, hati kecilnya masih selalu ingat dengan anak-anak di kampung halamannya itu.
Ia masih punya niat membantu mereka.
Apalagi, “setiap kali pulang libur, saya melihat anak-anak bermain di kali, di kebun, atau hanya berkumpul.”
“Saya tahu, mereka punya potensi besar, tapi mereka butuh bimbingan,” katanya.
Ia pun mulai berbicara dengan beberapa temannya tentang ide membangun kembali kelompok belajar.
Ia juga berdiskusi dengan seorang temannya, Maria Yohana Juita, yang juga punya pengalaman mendirikan komunitas literasi “Cenggo Baca” di Wae Moto, Desa Compang Liang Ndara, Labuan Bajo.
“Dia memberi saya banyak inspirasi dan dorongan untuk melanjutkan niat ini,” katanya.
Avelina segera mengambil langkah pertama pada Maret tahun ini.
Ia membuka donasi via media sosial untuk pengadaan buku, alat tulis dan alat permainan untuk anak TK.
Saat itu, “saya tidak tahu apakah akan ada yang membantu.”
“Namun, saya mencoba. Saya yakin bahwa niat baik pasti akan menemukan jalannya.”
Optimismenya memang terbukti karena bantuan mulai berdatangan. Ada yang menyumbang buku, alat tulis, bahkan mainan edukatif.
Ntala Lino, Simbol Harapan
Saat liburan sekolah, ia pun membawa semua donasi ini dari Labuan Bajo ke kampungnya.
“Melihat senyum anak-anak ketika menerima buku dan alat tulis baru adalah momen yang tidak akan pernah saya lupakan. Mereka sangat antusias untuk belajar,” kenangnya.
Avelina lalu resmi membentuk komunitas belajar itu.
Ia menamainya “Ntala Lino,” kata dalam Bahasa Manggarai yang berarti “Bintang Dunia.”
“Saya ingin nama ini menjadi simbol harapan bagi anak-anak di kampung,” katanya.
Ia berharap, komunitas itu bisa membawa perubahan setelah melihat fakta rendahnya budaya membaca anak-anak dan lebih sering bermain ponsel.
“Saya ingin membiasakan mereka memanfaatkan waktu luang untuk hal-hal yang lebih positif.”
Ia juga mencermati banyak anak di kampungnya yang belum memiliki keberanian untuk tampil di depan umum.
Karena itu, dengan Ntala Lino, ia berharap bisa “meningkatkan kepercayaan diri mereka agar berani berbicara di depan banyak orang.”
Komunitas ini, kata dia, menggerakan anak-anak memanfaatkan waktu luang dengan produktif, meningkatkan minat baca dan tulis, serta menumbuhkan rasa percaya diri.
“Saya ingin mereka memahami bahwa literasi adalah kunci untuk membuka dunia,” katanya.
“Saya ingin mereka percaya bahwa mereka bisa mencapai mimpi mereka, tidak peduli seberapa kecil kampung mereka.”
Ada Kendala, Namun Selalu Berharap
Avelina mengakui perjalanan untuk terus menghidupkan komunitas itu tidak mudah.
Kesulitan utamanya adalah mengatur waktu antara pekerjaan di Labuan Bajo dan kegiatan komunitas di kampung.
Ketika harus bolak balik ke Labuan Bajo, ia harus mengeluarkan biaya antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu, tergantung kondisi dan jenis kendaraan yang digunakan.
Dengan pendapatan yang hanya bersumber dari gaji sebagai guru, ia berusaha menghemat.
Kosnya di Labuan Bajo yang berjarak 100 meter dengan sekolah membuat ia bisa jalan kaki 10 menit.
Namun, ia harus tetap menyewa kos Rp250 ribu per bulan, ditambah untuk kebutuhan harian.
Ia juga mengaku menghadapi tantangan dalam mencari sumber daya karena “ada saat-saat donasi menurun.”
Ia juga sedang berpikir untuk memiliki fasilitas, terutama tempat khusus untuk mendukung keberlangsungan kegiatan komunitas.
“Selama ini kami masih pakai rumah bapa dan mama,” katanya.
“Kami juga membutuhkan banyak buku bacaan karena masih sangat kurang serta papan tulis yang lumayan besar,” katanya.
Avelina berkata, kendati ada kendala, ia berusaha “untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapi juga terus memberi kontribusi bagi lingkungan sekitar.”
“Pendapatan yang terbatas membuat saya lebih kreatif dan disiplin dalam mengatur keuangan.”
Ia memegang prinsip, “misi sosial jauh lebih berarti daripada hanya mencari keuntungan pribadi.”
“Saya percaya bahwa dengan kerja keras dan niat baik, hasilnya akan datang dengan sendirinya. Tuhan selalu menyediakan jalan.”
Editor: Herry Kabut