Jakarta, Floresa.co – Pihak Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) membuat pernyataan penting ibarat bola panas terkait kasus kematian Aloysius Laurensius Wadu di Kabupaten Lembata pada 2013 silam di mana mereka mengakui terjadi pembunuhan berencana terhadap warga asal Lewoleba itu.
Pelaku pembunuhan berencana itu, demikian menurut Polda NTT, adalah Antonius Loli Ruing yang dikenal Tolis Ruing dan Petrus Urbanus P Ruing atau Bence Ruing.
Menurut siaran pers yang diterima Floresa.co di Jakarta, Selasa (19/5/2015), pengakuan tersebut disampaikan Polda dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Komnas HAM RI, dengan nomor R/015/XII/2014 pada 5 Desember 2014 dan dikutip Komnas HAM dalam surat bernomor 1.358/K/PMT/IV2015 tertanggal 6 April 2015.
Surat Komnas HAM itu yang ditandatangani Komisioner Dianto Bachriadi dialamatkan kepada Pastor Mikael Peruhe OFM, Kordinator Koalisi Penegak Keadilan dan Kebenaran (KPK2), sebuah aliansi yang mengadvokasi kasus pembunuhan Laurens Wadu.
Sebelumnya, Koalisi ini telah melayangkan surat pengaduan kasus ini ke Komnas HAM.
Dalam surat Komnas HAM, dinyatakan bahwa Polda NTT telah melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka pembunuhan Laurens Wadu serta menyita beberapa barang bukti.
“Berdasarkan hasil dari pemeriksaan terhadap para saksi dan tersangka serta barang bukti yang telah disita, penyidik mendapat petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh tersangka Sdr Antonius Loli Riung dan Sdr Petrus Urbanus P Ruing terhadap korban Sdr Aloysius Laurens Wadu,” demikian pernyataan Polda.
Pernyataan itu mengejutkan karena dua nama yang disebut sebagai pelaku pembunuhan berencana itu hingga kini masih bebas.
Keduanya memang pernah ditangkap dan diproses oleh Polres Lembata, namun mereka dilepaskan karena dianggap tidak cukup bukti untuk mengadili keduanya.
Meski sudah dibebaskan oleh Polres Lembata, namun dalam suratnya, Polda NTT menyatakan, akan tetap memproses keduanya.
Untuk diketahui, Laurens Wadu, mantan Kepala Dinas Perhubungan, Infomasi dan Komunikasi Kabupaten Lembata ditemukan tewas di kebunnya pada 9 Juni 2013 lalu.
Proses pengadilan terhadap kasus ini sampai pada vonis tetap terhadap empat orang yang didakwa sebagai pelaku, yakni Marselinus Suban, Yohanes Liko, Rofinus Ratu Loli Maran dan Vinsen Wadu. Vinsen merupakan adik kandung korban.
Mereka divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Lewoleba pada tahun lalu.
Kasus ini menuai polemik, karena proses penanganan yang dinilai penuh rekayasa, petugas kepolisian tidak profesional dan para terdakwa mengalami penganiayaan selama proses persidangan sehingga mereka berada di bawah tekanan.
Terkait bebasnya Tolis Ruing dan Bence Ruing misalnya, terjadi karena menurut polisi keterangan dari tersangka – yang kini sudah dipenjara – terkait keterlibatan dua orang itu selalu berubah-ubah.
KPK2 sudah menyatakan berulang kali kepada aparat penegak hukum bahwa berubah-ubahnya pengakuan tersangka, karena mereka berada di bawah tekanan akibat penganiayaan selama proses penyidikan.
Marsel Welan misalnya, dalam persidangan pada 18 November 2013 mengaku bahwa Tolis Ruing dan Bence Ruing adalah pelaku pembunuhan.
Namun, pasca sidang, Marsel yang saat itu mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri Lewoleba dijemput polisi dan dianiaya. Ia pun dipaksa oleh penyidik untuk mengaku bahwa apa yang ia sampaikan pada siang itu hanya mimpi.
Dan, pada sidang berikutnya, di hadapan majelis hakim, ia akhirnya mengikuti arahan polisi yang menganiayanya, di mana ia mengaku, apa yang dikatakan sebelumnya hanya mimpi.
Temuan demikian sudah disampaikan dan dilaporkan kepada aparat penegak hukum dan instansi terkait, namun diabaikan.
KPK2 juga pernah melapor sejumlah anggota Polres Lembata, seperti Aipda Dominikus Donni Kia, Aiptu Lazarus Lit Raya, Brigpol Ady Sumarto Lesik, Brigpol Antonius Roni Moa dan Brigpol Amon Jalla terkait kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap tersangka, berupa pemukulan, pencabutan kuku dan berbagai tindak kekerasan lainnya.
Di tengah sejumlah catatan buram itu, kini, pengakuan Polda NTT rupanya akan membuka tabir terkait sejumlah kejanggalan proses hukum kasus ini.
Polda NTT, dalam suratnya sudah jelas mengakui sejumlah polisi di Satreskrim Polres Lembata memang benar melakukan penganiayaan terhadap para tersangka.
“Dari hasil penyidikan Seksi Propam Polres Lembata, telah terbukti Sdr Aiptu Lazarus Lit Raya, dkk telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan kode etik, berupa melakukan penganiayaan terhadap tersanga pembunuhan Sdr Aloysius Laurensius Wadu dan kepada keenam (enam) terperiksa tersebut (anggota Satreskrim Polres Lembata) telah dilaksankan sidang disiplin oleh Kapolres Lembata pada hari Jumat, 05 Agustus 2014 dengan hasil putusan berupan teguran tertulis,” demikian pernyataan pihak Polda.
Meski menyatakan sejumlah polisi bersalah, namun, Polda NTT tetap membela prosedur penanganan kasus ini oleh Polres Lembata, di mana dikatakan, proses perkara ini telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional, proporsional dan akuntabel.
Sementara itu, menanggapi pernyataan pihak Polda NTT terkait pelaku pembunuhan Laurens Wadu, Pastor Mikael Peruhe OFM menegaskan, itu merupakan salah satu konfirmasi terkait kejangggalan dalam proses hukum kasus ini.
Ia menjelaskan, dalam surat Komnas HAM, pihaknya diminta untuk menanggapi laporan dari Polda NTT.
“Kami akan melakukan konsolidasi, mengumpulkan bukti-bukti baru dan semua informasi yang dibutuhkan untuk memproses tuntas kasus ini,” katanya.
Ia mengatakan, kasus kemanusiaan yang besar ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja seiring dengan vonis atas keempat orang yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan Laurens Wadu.
“Karena itu kami akan menjumpai Komnas HAM untuk mendiskusikan lebih lanjut kasus tersebut,” tegasnya. (Ari D/ARL/Floresa)