Floresa.co – Keluarga dari seorang Pasien Dalam Pemantauan (PDP) di Manggarai yang meninggal dan dikuburkan sesuai protokol Covid-19 menyurati Gugus Tugas Covid-19 di mana mereka meminta kepastian terkait statusnya.
Dalam surat yang dikirim pada Selasa, 19 Mei 2020 itu kepada Kepala Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Manggarai, Laurensius Randang, suami dari PDP atas nama Teresia Leonarda Juita (55), menyatakan, ia menulis surat itu “bertindak untuk dan atas nama anak-anak dari keluarga yang sangat berduka dan yang sampai dengan saat ini belum menerima kenangan kematian almarhumah.”
“Kami butuh kepastian untuk melanjutkan hidup,” tulisnya dalam surat yang salinannya diperoleh Floresa.co, Rabu, 20 Mei.
Ia meminta surat resmi untuk dan atas nama Gugus Tugas sebagai berita resmi kematian istrinya dan surat resmi hasil pemeriksaan swab.
“Dalam hal belum terdapat hasil pemerikasaan swab, maka mohon pertimbangkan agar kepada kami keluarga yang berduka untuk dilakukan pemeriksaan tes swab,” katanya.
Ia juga meminta Gugus Tugas menyampaikan dengan resmi kepada media terkait hasil pemerikasaan dan menyampaikan klarifikasi secara publik mengingat status PDP yang disematkan kepada almarhumah yang telah diketahui secara luas oleh publik.
Teresia meninggal pada 3 Mei dan kemudian dimakamkan sesuai protokol untuk pasien dengan Covid-19.
Gugus Tugas dalam pernyataannya menyebut ia ditetapkan sebagai PDP ketika dirawat di RSUD Ben Mboi, berdasarkan berbagai gejala klinis.
Namun keluarga korban memprotes hal itu, di mana menurut mereka, selama dirawat, ia tidak diperlakukan sebagai PDP dan penetapan status PDP baru dilakukan ketika ia meninggal. Selain itu, rapid test juga menunjukkan hasil negatif.
BACA: Keluarga PDP yang Meninggal di Manggarai Kritik Gugus Tugas Covid-19
Laurensius mengatakan, dengan status sebagai PDP, isterinya tidak bisa melaksanakan upacara kematian, baik sesuai adat Manggarai, maupun sesuai tata cara Agama Katolik.
“Upacara kematian dalam kebudayaan Manggarai adalah rangkaian upacara adat yang menjadi satu kewajiban hakiki dari tradisi dan nilai-nilai luhur kebudayaan Masyarakat yang harus dilaksanakan secara turun temurun,” tulisnya.
“Dalam tradisi/kepercayaan budaya Manggarai, ketika upacara ini tidak dilaksanakan akan ada karma yang menimpa (Itang diang nangki tai) dan kami keluarga sudah melanggar tradisi ini.
Ia menambahkan, upcara kematian sesuai ketentuan Agama Katolik, seperti Misa Arwah, Pemberkatan Jenasah, Pemberkatan Kubur juga tidak bisa dilaksanakan.
Ia mengatakan, hal yang paling menyakitkan adalah tidak dapat melihat jenasah almarhumah untuk yang terakhir kali dan memberikan penghormatan kepadanya sebagai orang yang telah menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka.”
“Stigma yang menempel pada kami keluarga yang ditinggalkan masih begitu kental dalam lingkungan sosial dan ini menjadi simbol ‘kematian baru bagi kami keluarga yang ditinggalkan,” katanya.
“Kami seperti telah mendapat ‘kutukan’ di mata masyarakat dan ini sangat berdampak buruk terhadap psikologi pribadi per pribadi kami sebagai keluarga,” tambahnya.
Ia menutup suratnya dengan harapan agar tim Gugus Tugas selalu diberkati dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab menangani dan mencegah penyebaran pendemik covid-19 di Kabupaten Manggarai.
Andi Rendang, putra almarhumah mengatakan, permintaan klarifikasi dalam surat ini bertujuan pemulihan nama baik keluarga.
Ia menyatakan anggota keluarga mereka sudah mengikuti rapid test dua kali dan hasilnya negatif.
Dimintai komentar perihal surat tersebut, Ludovikud D. Moa, juru bicara Gugus Tugas mengatakan, mereka sudah menerimanya.
Ia menjelaskan, dari hasil tes swab PDP tersebut sudah diperoleh dan negatif.
Namun, katanya, mereka tidak bisa memenuhi poin-poin tuntutan keluarga karena tidak ada regulasi yang mengatur hal itu.
ENGKOS PAHING/FLORESA