BerandaREPORTASEPERISTIWABank Dunia Kembali Datangi...

Bank Dunia Kembali Datangi Wae Sano, Warga Tolak Jadi Korban Atas Nama Proyek Rendah Karbon

Warga menilai Bank Dunia tidak serius menanggapi suara penolakan mereka yang sudah disampaikan berulangkali, termasuk dalam pertemuan pertama pada Mei lalu.

Floresa.co – Selasa, 13 Desember 2022. Waktu menunjukan sekitar pukul 09.00 Wita. Beberapa mobil nampak berbaris di depan Kantor Desa Wae Sano. Fortuner, Pajero dan Hilux, merk mobil tersebut, ditumpangi oleh pihak Bank Dunia, PT Geodipa Energi, Staf Kantor Staf Presiden serta Tim Komite Bersama yang baru saja tiba dari Labuan Bajo, ibu kota Kota Kabupaten Manggarai Barat, menuju desa yang terletak di tepi danau Sano Nggoang, danau vulkanik terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Tak jauh dari situ, di sebuah rumah panggung berukuran sekitar 8 x 8 meter, nampak sekelompok warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani itu berkumpul. 

Mereka duduk bersila, mengisi setiap sudut rumah tersebut. Beberapa mengenakan ‘songke’ sarung adat Manggarai baik perempuan pun laki-laki yang dipadukan dengan destar, kain pengikat kepala serta dengan topi yang menyerupai peci.  

Kita akan kembali bertemu dengan Bank Dunia. Apa yang akan kita sampaikan?” ungkap pria tua berusia sekitar 60-an tahun, yang bersila di sudut timur rumah itu dan diapiti oleh beberapa pria lainnya. 

Dia ialah Herman Hemat, salah satu tetua masyarakat adat Wae Sano, pihak yang konsisten menolak proyek geothermal yang dibiayai oleh Bank Dunia dan tengah dipaksakan untuk diloloskan oleh pemerintah dan perusahaan.    

“Tidak ada negosiasi lagi. Kita tetap pada sikap kita, menolak geothermal Wae Sano. Karena ini adalah ruang hidup kita,” timpal Maria Afrida, seorang ibu yang selama ini yang turut aktif menyuarakan penolakan. 

Warga mengadakan pertemuan di Rumah Adat Nunang sesaat sebelum berdialog dengan Bank Dunia.

“Dialog apa lagi? Seharusnya kali ini mereka datang menyampaikan hasil dialog yang diadakan sebelumnya,” ujar Rofinus Rabun, warga lainnya.

Sebelumnya, pada 9 Mei 2022, Bank Dunia pernah mengunjungi Wae Sano, dan berdialog dengan warga terkait proyek tersebut. Sejak saat itu, hingga kunjungan mereka kali ini, belum ada jawaban resmi atas sikap penolakan warga yang secara resmi disampaikan saat kunjungan pertama tersebut.  

Pada Februari 2020, warga juga pernah mengirimkan surat penolakan. Dan, pada tahun yang sama, karena alasan pandemi covid-19, Bank Dunia sempat menawarkan untuk mengadakan pertemuan secara daring melalui zoom meeting. Namun warga tidak setuju dan meminta Bank Dunia untuk secara langsung ke kampung mereka.

Pertemuan di rumah adat tersebut berlangsung sekitar 20 menit. Lalu, perlahan mereka turun dari tangga rumah itu, sembari menteng spanduk dan karung, yang berisikan kutipan penolakan terhadap proyek tersebut. 

“No Consent, No Project. World Bank Please Respect Your Own Principle; Tambang Panas Bumi, Rendah Karbon Tinggi Korban; dan beberapa lainnya.

Mereka melangkah ke kantor desa, yang berada di sebelah barat rumah adat melewati beberapa rumah yang sebagian besar singnya nampak sudah berkarat, efek dari kandungan H2S yang dihasilkan dari danau vulkanik tersebut. 

Sesampai di kantor desa, nampak pihak Bank Dunia, PT Geodipa Energi dan Tim Komite Bersama sontak mengangkat telepon genggam masing-masing. Merekam momen warga yang tengah menenteng spanduk dan karung-karung berisi suara penolakan tersebut. 

Sejenak warga berhenti di depan kantor desa, sembari menunjukkan spanduk-spanduk tersebut lalu kemudian masuk ke kantor desa berukuran 5 x 10 meter tersebut. 

Masing-masing mengambil posisi duduk. Warga berbaris menghadap perwakilan Bank Dunia, antara lain Muchsin Abdul Qodir, Energi Specialist Bank Dunia; Senior Eskternal Affair Office Bank Dunia, Lestari Boediono; Tim Sosial, Anye dan Satoshi yang berbaju putih, celana pendek yang berpadu dengan sepatu ala pendaki gunung.  

Perwakilan Bank Dunia [kiri-kanan] Muchsin, Satoshi, Anye dan Lestari Boediono. [Fotp: Floresa].
Dari PT Geodipa Energi yakni Johnedy Sinurat; sementara dari Tim Komite Bersama atas nama Sil Harsidi, Itho Umar dan Geri Minus serta Perwakilan Kantor Staf Presiden, Yando Zakaria. 

Hadir juga Kepala Desa Wae Sano, Mikael Pedo serta Camat Sano Nggoang, Alfons Arfon. Pertemuan dimulai sektar pukul 09.45. Molor dari waktu yang ditentukan panitia yakni sekitar pukul 09.00. 

Kepala Desa Wae Sano, Mikael Pedo yang bertindak sebagai pemandu acara membuka pertemuan tersebut. Alfons sendiri tidak mengenakan busana dinas. Ia mengenakan baju berwarna hitam bergaris merah, yang berpadu dengan topi hitam bertuliskan korpri. 

Usai menyapa semua pihak yang hadir, Alfons yang diangkat Bupati Mabar, Edistasius Endi sebagai camat menggantikan Siprianus Silfris itu juga secara khusus mempertanyakan kehadiran jurnalis yang meliput kegiatan tersebut. 

“Berapa media hadir. Ada kartu pers?” demikian dia melemparkan pertanyaan kepada salah satu jurnalis Floresa.co, yang tengah berdiri di sisi selatan perwakilan warga. “Ia, dari Floresa.co. Ada [kartu pers],” ujarnya. “Dari pikiran rakyat,” sambung San Edison, jurnalis media Pikiran Rakyat. 

“Pa Kades, berapa media yang sudah lapor?” sambungnya sembari mengarahkan pandangannya kepada Kades Mikael. Namun, tidak jelas apa jawaban Kades Mikael kepadanya. 

Dia juga mengaku hadir mewakili Pemda Mabar. Ia menyatakan bahwa tim pemda Mabar, asisten bupati dan sekretaris daerah disebutnya berhalangan karena sedang menyelesaikan tugas lain di Labuan Bajo. 

“Mereka mewakilkannya kepada kami di kecamatan,” akunya. 

“Kami ini tidak sempurna, kesempurnaan ada pada kita semua. Kita semua sama-sama menyempurnakan hal yang belum sempurna,” tutupnya sembari menyampaikan permohonan maaf kepada warga yang hadir.  

Warga Sampaikan Kekecewaan kepada Bank Dunia

Tampil juga memberikan sambutan, Energy Specialist World Bank untuk Indonesia, Muchsin Abdul Qadir. Ia menyatakan kunjungan mereka kali ini merupakan tindak lanjut kunjungan pertama, yang digelar pada Mei 2022 lalu.  

“Pertemuan kali ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama kami lakukan pada bulan Mei 2022 lalu di mana pada kesempatan itu kami melakukan pertemuan dengan beberapa pihak yang terlibat dalam proyek juga kepada masyarakat, baik masyarakat pendukung maupun yang masih belum menerima proyek ini,” ungkapnya.

Pernyataan Muchsin itu langsung direspons pihak perwakilan warga Wae Sano, Yosef Erwin Rahmat yang kembali menegaskan sikap mereka atas proyek tersebut.  

“Sikap warga tegas menolak, apapun dalil, apapun argument, apapun cara, dengan tegas, warga yang menolak proyek geothermal Wae Sano tetap tidak berubah sikap,” ungkap Yosef dengan lugas. 

Yosef juga mengungkapkan kekecewaannya kepada Bank Dunia yang menurutnya tidak memiliki empati terhadap sikap penolakan warga.

Pasalnya, kata Yosef pasca kunjungan pertama, terdapat beberapa kegiatan pihak PT Geodipa Energi dan Tim Komite bersama, salah satunya ialah usulan untuk memindahkan titik ke kawasan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari pemukiman.

Namun, tidak tidak diketahui secara pasti di mana letak kawasan yang dimaksud. Menurut Yosef, rekomendasi tersebut datang dari Bank Dunia, yang kemudian diteruskan oleh anggota Tim Komite Bersama, Geri Minus kepada warga.  

“Kami merasa, suara penolakan kami diabaikan. Karena apa, karena kami tidak lagi mau mendengar masukan selain kami menyatakan sikap bahwa,geothermal Wae Sano kami tolak,” ujarnya. 

“Kegiatan-kegiatan sebelumnya merupakan bentuk sikap pengabaian yang kami sampaikan dalam surat penolakan kami selama ini,” tambahnya.

Setelah itu, perwakilan warga lain Eduardus Watu Medang membacakan surat penolakan.

“Pemerintah pusat, khususnya Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi serta Bank Dunia harus belajar patuh pada hak dan kewajiban serta tanggung jawab kami warga Wae Sano untuk mempertahankan hak-hak kami, ruang hidup serta kehidupan kami, dari segala bentuk pemaksaan penguasaan ruang hidup atas nama proyek pembangunan apapun,” demikian salah satu kutipan dalam surat yang dibacakan Eduardus. 

Surat kemudian secara resmi diberikan Tetua Adat Nuang, Herman Hemat kepada perwakilan Bank Dunia, Muchsin. 

“Kami akan menyampaikan kepada pimpinan kami,” ujar Muchsin. 

Pernyataan Muchsin langsung tanggapi Herman. Ia mengaku sesal dengan Bank Dunia, yang dianggap tidak mendengarkan suara penolakan mereka. 

Pasalnya, Bank Dunia belum memberikan jawaban atas surat pertama yang pernah mereka berikan di tempat yang sama hingga warga kembali ke Wae Sano untuk melakukan dialog seperti yang dilakukan pada Mei 2022 lalu.  

“Ini pernyataan [sikap penolakan] yang kedua. Hari Senin 9 Mei 2022, di mana menyatakan bahwa surat ini akan kami sampaikan kepada pimpinan. Tetapi, sampai saat ini kami belum mendapat jawaban pasti secara surat,” tutup Herman.

Pertemuan antar warga penolak dengan Bank Dunia berlangsung hanya sekitar satu jam, dari durasi tiga jam yang disediakan panitia, pukul 09.00 – 12.00 Wita.

Selain dengan warga penolak, Bank Dunia juga menjadwalkan pertemuan dengan warga pro, yang digelar mulai pukul 14.00 – 16.30 Wita.

Pada pukul 17.00 Wita, Bank Dunia juga menjadwalkan pertemuan dengan tokoh penolak dan yang menerima proyek tersebut. Masing-masing yang diundang berjumlah enam orang serta Kepala Desa Wae Sano.

Perwakilan warga penolak atas nama Yosef Erwin, Herman Hemat, Eduardus Watu Medang dan beberapa lainnya memilih untuk tidak hadir karena tidak ingin secara berulang menyampaikan sikap penolakan mereka.

“Sejak awal kami menolak proyek yang mengancam ruang hidup kami ini. Tidak ada negosiasi, tidak ada lagi pertemuan-pertemuan. Kami tolak,” pungkas Yosef.

Awalnya proyek itu, dengan perkiraan bisa menghasilkan energi listrik 45 MW, direncanakan dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI], namun belakangan beralih ke PT Geo Dipa Energi. Keduanya merupakan Badan Usaha Milik Negara di bawah Kementerian Keuangan.

Warga Wae Sano terus menyuarakan protes, baik dengan beberapa kali menghadang tim dari pemerintah yang mendatangi wilayah mereka, maupun dengan aksi damai di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat.

Pada 4 Maret 202 mereka mengadakan parade hasil bumi di Labuan Bajo, dengan membawa berbagai hasil pertanian, seperti padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan berbagai jenis sayuran, sebuah aksi simbolis bahwa kehadiran proyek itu akan mengancam sumber kehidupan mereka.

Pihak pemerintah dan perusahaan telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi sikap warga, termasuk dengan melakukan pendekatan kepada pimpinan Gereja Katolik.

Upaya itu memang berhasil ketika Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat membuat surat kepada Presiden Joko Widodo pada Mei tahun lalu, memberi rekomendasi untuk melanjutkan protek itu.

Uskup Siprianus Hormat meneken MoU dengan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM terkait proyek geothermal Wae Sano. [Foto: Media Indonesia}.
Namun, surat itu yang disusul dengan pembentukan panitia bersama antara Keuskupan, pemerintah dan perusahaan telah memicu protes terbuka warga Wae Sano, yang adalah umat Katolik, kepada pimpinan mereka.

Proyek geothermal Wae Sano adalah salah satu dari proyek geothermal yang didorong pemerintah di banyak tempat di Pulau Flores menyusul penetapan pulau itu pada 2017 sebagai Pulau Geothermal.

Proyek itu adalah merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikenal dengan nama Proyek Pengeboran Pemerintah atau Goverment Drilling (GEUDPP).

Di tempat lain, seperti di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai pemerintah juga sedang mendorong proyek serupa, perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Proyek yang ditargetkan akan menghasilkan 40 MW tenaga listrik itu juga ditentang warga.

Seperti halnya di Wae Sano, penolakan warga karena titik-titik pengeboran yang sangat dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.

***

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga