Dijerat UU ITE, Seorang Warga yang Mengkritik Bupati Manggarai Barat Kembali Diperiksa; Polisi Sempat Mengeluarkan Surat Penangkapan, Lalu Dianggap Batal dan Tidak Berlaku

Polisi batal menangkap dan menahan tersangka karena dinilai kooperatif

Baca Juga

Floresa – Seorang warga di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang dua bulan lalu menjadi tersangka dan dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE] karena mengkritik bupati melalui media sosial, mendapat surat penangkapan, tetapi kemudian suratnya dianggap batal dan tidak berlaku oleh polisi.

Saverius ‘Rio’ Suryanto, warga Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo itu mendapat surat penangkapan pada Kamis, 7 Desember, setelah ditetapkan jadi tersangka pada 11 September.

Dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor S. P kap/ 49/Xll/2023/sat Reskim itu, yang salinannya diperoleh Floresa, polisi menyatakan bahwa “untuk kepentingan penyidikan tindak pidana, perlu dilakukan tindakan hukum berupa penangkapan terhadap seorang yang keadaannya atau perbuatannya diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Berdasarkan bukti yang cukup, kata pihak kepolisian, Rio “diduga keras telah melakukan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media online Aplikasi Facebook” terhadap Bupati Endi.

Penangkapan terhadap Rio kemudian dibatalkan setelah Hipatios Wirawan Labut, kuasa hukumnya, memberikan pertimbangan kepada polisi bahwa selama ini kliennya itu kooperatif, “tidak pernah menolak panggilan penyidik.”

“Rio pun membuat surat pernyataan bahwa dia akan kooperatif terus,” kata Wira kepada Floresa usai mendampingi Rio saat diperiksa polisi di Polres Manggarai Barat, Kamis siang.

Wira mengatakan “kesimpulan dari pemeriksaan hari ini, setelah penyidik berkoordinasi dengan pimpinan, surat perintah penangkapan untuk tersangka Rio dibatalkan dan dianggap tidak berlaku.”

Rio, kata dia, wajib lapor ke Polres Manggarai Barat setiap Kamis.

 “Jadi statusnya Rio  sebagai wajib lapor,” katanya.

Sementara itu, Ipda Leonardo  Marpaung, Kanit Tipiter Polres Manggarai Barat  mengatakan setelah ditetapkan sebagai tersangka, Rio sudah berstatus wajib lapor, tetapi selama ini tidak dilaksanakannya.

“Kita melakukan pemanggilan pada hari ini  untuk membuat surat pernyataan agar tidak melarikan diri, tidak melenyapkan barang bukti, tidak melakukan kesalahan yang sama,” katanya kepada Floresa

Karena Rio bersedia membuat surat pernyataan, kata dia, maka “penahanan batal dilakukan.”

Sementara Rio mengatakan, ia tidak pernah mendapat arahan dari penyidik untuk wajib lapor setelah dirinya ditetapkan menjadi tersangka.

“Saya baru mendapatkan arahan untuk wajib lapor setelah pemeriksaan hari ini,” katanya.

Soeherma, salah satu penyidik yang menangani kasus itu menguatkan cerita Rio, menyebut “sebelumnya belum perna ada arahan untuk wajib lapor.” 

Rio dilaporkan oleh Bupati Endi ke Polres Manggarai Barat pada 19 Mei, setelah ia mengunggah sejumlah gambar wajah politisi Nasdem itu di Facebook pada 9 Mei.

Gambar-gambar itu, yang juga diperoleh Floresa, memperlihatkan foto Endi ditimpa dengan gambar kaki. Gambar lainnya memperlihatkan ada tanduk di kepalanya.

Pada setiap gambar itu, terdapat sejumlah pernyataan kritikan. Salah satunya adalah Endi dianggap mengabaikan hak kelompok warga di Desa Macang Tanggar untuk mendapat sertifikat atas tanah mereka. Rio adalah termasuk warga desa itu.

Dalam wawancara dengan Floresa pada 18 September, Rio menjelaskan, dirinya memang bukan pihak yang pertama kali mengunggah gambar yang dipermasalahkan Endi.

Ia menyatakan gambar-gambar tersebut “pertama kali diunggah akun Instagram Serikat Pemuda NTT” yang disiapkan menjelang aksi demonstrasi menolak KTT ASEAN di Labuan Bajo pada Mei.

Ia mengatakan memilih ikut menyebarkannya karena merupakan salah watu warga Desa Macang Tanggar yang haknya diabaikan untuk mendapat sertifikat atas lahan mereka.

Menurut Rio, warga desa itu yang adalah transmigran lokal dari daerah lain di Flores barat sudah berjuang untuk mendapat sertifikat sejak 1996.

Ia mengatakan, dari informasi yang ia peroleh, 200 sertifikat hak milik warga desa sudah ada di Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, tetapi tidak kunjung diserahkan kepada mereka.

Karena memperjuangkan sertifikat itu, kata dia, unggahannya bukanlah pencemaran nama baik, melainkan suara warga yang sedang menuntut hak. 

“Saya tegaskan bahwa apa yang saya lakukan bukan merupakan penghinaan dan pencemaran nama baik, tetapi mengkritik Pemerintah Daerah agar sertifikat kami segera dibagikan,” katanya.

“Kami tak akan meminta apa yang bukan menjadi hak kami,” katanya.

Ia pun menganggap tindakan Endi sebagai “bentuk pembungkaman terhadap suara kritis warga.”

sebagai “bentuk pembungkaman terhadap suara kritis warga.”

Sesuai surat polisi, Rio dijerat Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal tersebut mengatur pelaku penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan dapat dipidana paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp750 juta.

UU ITE telah lama menjadi sasaran kritikan organisasi masyarakat sipil karena dinilai rentan dipakai untuk mengkriminalisasi mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah.

Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFENet], lembaga yang fokus pada advokasi kebebasan berekspresi, termasuk di ranah digital, mencatat selama periode 2013-2023 terdapat 490 orang yang dituntut pidana dengan UU ITE. 

Tahun lalu, lembaga itu mencatat 97 kasus yang melibatkan 107 orang terlapor. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan 30 kasus dengan 38 orang korban pada 2021.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini