Narasi berikut dibuat untuk mengenang Pastor Remigius Ismail Sene SVD, yang biasa disapa Pater Remi. Ditulis Gerard Bibang, adik kelas Pater Remi saat sekolah di Seminari Pius XII Kisol-Manggarai Timur, narasi ini dibacakan di akhir Misa 40 malam meninggalnya Pastor Remi di Gereja St Yosef Matraman, Jakarta Timur Rabu (28/1/2015). Pater Remi berasal dari Ruteng. Ia mengembuskan nafas terakhir pada Sabtu, 20 Desember 2014 lalu pukul 19.30 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat, karena serangan jantung. Ia terakhir kali bertugas di Paroki St Yosef Matraman.
Setelah mengambil jarak 40 hari 40 malam pasca kepergiannya, akhirnya saya menemukan kalimat singkat ini untuk merangkum 55 tahun hidup Pater Remi Sene SVD:
Laecheln Gottes ist zu mir, sage Ich dir
Aku tae agu hau, Mori Keraeng imus agu aku
Ku-katakan kepadamu, Tuhan tersenyum kepadaku
Ada dua istilah yang mendukung keyakinan saya ini. Istilah pertama, mesin tik merek Olympic di Ledalero thn ’85-an. Pada masa itu, belum banyak komputer, apalagi laptop. Para frater mengetik skripsi pake mesin tik. Frater Remi memiliki mesin tik merek olympic. Untuk kami yang dibesarkan dalam zaman mesin tik, kami tahu betul bagaimana bunyi ketikan mesin ini: Sangat-sangat kencang dan brisik! Begitu seorang frater mengetik, maka seluruh bukit Ledalero bergetar. Yah, kira-kira kurang lebih sama-lah jika Anda mengetik tuk-tak-tuk-tak di sekretariat Pastoran Matraman, bunyi itu bisa sampai kedengaran kencang di Warung Lapo Pramuka atau bahkan sampai ke Atrium Senen.
Bagi saya: bukan peredaran dari kamar ke kamar mesin tik-lah yang penting. Bukan sifat dermawan sang pemilik. Bukan pula bunyi tuk-tak-tuk-tak yang brisik dan membahana. Bagi saya, yang paling penting adalah: striker yang ditempelkan pada board antara tuts mesin tik dan batang spasi. Tertulis pada striker itu sebuah frase berbahasa Jerman, seperti yang saya ucapkan di awal:
Laecheln Gottes ist zu mir, sage Ich dir
Aku tae agu hau, Mori Keraeng imus agu aku
Ku-katakan kepadamu, Tuhan tersenyum kepadaku
Jadi: selama Anda mengetik, selama itu pula Anda menatap strikter itu, mau tidak mau. Bagi saya, striker itu adalah KREDO sosial seorang Remi. Kredo ini dibangun bukan dari kuliah Teologi Fundamental. Bukan dari buku-buku ilmiah. Bukan dari ceramah-ceramah filsafat yang sering melelahkan. Tapi dari pengalaman nyata sehari-hari akan Allah yang hidup.
Di bawah spirit mesin tik olympic, Remi mengalami Allah yang senantiasa pro-aktif kepada dirinya, yang tersenyum kepadanya terus menerus, yang menawarkan kepadanya jalan bagaimana untuk selalu nyaman bersama ALLAH. Bukankah ini adalah tesis iman kita sesungguhnya? Hanya dalam pengalaman nyata akan tesis ini, sebuah iman yang nyata adalah hidup yang tersenyum, dermawan, berbagi dan berbaik-hati.
Maka, Remi pun tidak usah jauh-jauh mencari Allah. Dan untuk apa? Saudara dan saudari di sekitarnya adalah Imago Dei, Gambar Allah. Yang pendek, tinggi, kecil tua, hidung mancung atau pesek, semuanya Imago Dei. Keceriaan frater mengetik, kerewelan dan kebandelan konfrater terhadap mesin tiknya, bunyi brisik mesin tik, semua itu adalah senyum-senyum Allah dalam berbagai cara.
Ketika kemudian Frater Remi memilih moto tahbisan: “KepadaNya Kami Menaruh Harapan”, saya tidak heran sedikit pun. Penjelasannya sangat sederhana: senyum dan gembira adalah terjemahan paling langsung dari sebuah harapan. Maka mudah bagi saya untuk mengerti ketika di berbagai kesempatan katakese di Ledalero, frater Remi selalu berulang2 berkata dengan berbagai versi, tapi intinya sama: “Segala-galanya boleh hilang, silahkan! Segala-galanya boleh mampus, lewatlah kau! Tapi JANGAN SEKALI-KALI KAU BUNUH HARAPAN!”
“Pa’ang Olo Ngaung Musi’
Saudara-saudari terkasih. Istilah kedua, saya ambil dari tanah kelahirannya Manggarai: pa’ang olo ngaung musi, yang berarti “gerbang di depan hingga dapur di belakang”. Dilahirkan dan dibesarkan di tanah Manggarai, maka istilah ini telah mengalir dalam darah dan daging Pater Remi hingga detik-detik kematiannya 40 hari lalu.
Dengan pa’ang olo ngaung musi, gerbang di depan hingga dapur di belakang, semua yang berdiam pada satu tempat tinggal adalah saudara dan saudari. Apalagi, mereka yang berdiam di bawah satu atap. Tempat di mana kakimu berpijak, di sana lah saudara dan saudarimu berada. Di tarik secara lebih makro,pa’ang olo ngaung musi hendak berkata: “Di bawah kolong langit, semua ciptaan bersaudara!”
Maka jelaslah, sosok Pater Remi membadankan spiritualtias ini. Coba lihat. Ia begitu egaliter. Ia menyapa semua tanpa memandang Anda siapa dan memiliki apa. Kaul-kaul kebiaraan dalam Serikat Sabda Allah yang dulu diucapkannya bertahun-tahun, hanyalah meneruskan apa yang sudah mengalir dalam darahnya.
Coba simak! Betapa enteng langkahnya ia berpindah dari satu paroki ke paroki lain dengan wajah tersenyum. Di mana ia berpijak, di sanalah saudara dan saudarinya.
Coba simak juga: betapa orang dari segala lapisan usia nyaman di dekatnya. Ia bisa berbicara dengan siapa saja, dari yang kecil usia belum TK hingga profesor doktor, dengan piawai, enak dan egaliter tanpa memandang kau dari mana, kau siapa, bergelar apa dan memiliki apa. Bagi Pater Remi: kau dan aku, satu dan sama yaitu saudara!
Begitulah misalnya dulu ada seorang profesor teologi dogmatik dari Swiss yang belajar bahasa Indonesia di Ledalero. Dengan badan tegap tinggi dan kekar ditambah dengan gelar profesor, kami merasa segan, sungkan dan jauh-jauh dari profesor ini. Tapi BUKAN utk Frater Remi. Ketika jam haustus, jam minum sore, di meja makan, Frater Remi iseng men-tes bahasa Indonesia dari profesor ini.
“sudah lancar ko pater…”
“oihhh sulit! awalan banyak sekali..”
“Pater jawab ya, harus cepat:
“beruang”
“memiliki uang”
“berkebun “
“memiliki kebun”
“bersepeda”
“naek sepeda”
“berkuda”
“naek kuda”
“ber-nardus”
Profesor ini diam. Suara frater Remi lebih keras: B-E-R-N-A-R-D-U-S!
“NAEK NADUS” jawab profesor ini kurang dari hitungan menit. Dan Frater Remi pun bilang: “Jangan lihat di kamus ya pater karena ini kata baru.”
Profesor ini tergeleng-geleng saat keluar kamar makan. Bingung: “Huhhhffffff ..ada kata baru…. Bernardus….. Naek Nadus…”
Etos Saudara
Pater Remi yang berbahagia. Ragamu telah dibenamkan ke dalam rahim bumi tapi engkau meninggalkan etos bagi kami di dunia ini bahwa hidup di sini, sebenar-benarnya hanyalah untuk MENJADI SETIA. Setia kepada TUHAN. Setia sebagai saudara dan saudari. Bukan terutama untuk uang. Bukan terutama untuk kekayaan. Bukan terutama untuk kenikmatan rasa dan raga. Bukan terutama untuk mencetak prestasi demi prestasi.
Engkau pergi tanpa arah kembali tapi engkau meninggalkan etos bahwa dunia ini hanyalah tempat kami berselancar dari satu senyuman ke senyuman di antara gelombang waktu ke gelombang waktu hingga akhirnya TUHAN menghamparkan kami ke tepian saudara kematian. Dan inilah saudara kami yang terakhir di dunia ini yang menjemput kami ke dalam ke-ABADI-an.
Tersenyumlah abadi, Pater Remi. Inilah seruan kami dari sini. Sampai jumpa di surga.