Floresa.co – Berbicara usai sebuah acara di Labuan Bajo pekan lalu, pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa cara berpikir [mindset] warga merupakan salah satu memicu tingginya kasus tengkes [stunting] di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].
Warga “menganggap protein bagus adanya di daging sapi,” kata Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik kementerian itu.
Ia menyebut hal ini sebagai ironi.
“Padahal, laut NTT kaya akan ikan yang juga sumber protein,” kata Usman usai acara “Sosialisasi Pencegahan Stunting kepada Forum Lintas Agama” di Labuan Bajo pada 30 Juli.
“Apalagi di Labuan Bajo. Ikan dapat dengan mudahnya didapat,” tambahnya, disitir dari Detik.com.
Sebagian kecil pernyataan Usman disepakati dua periset perikanan yang terlibat dalam penelitian tengkes di sejumlah daerah di NTT.
“Cara pikir warga NTT yang condong ke daging sapi sebagai pemenuh protein memang tak bisa dimungkiri,” kata Jotham Ninef, dosen perikanan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Pulau Timor.
Namun, “daging sapi juga tak setiap hari dikonsumsi warga NTT.”
“Mereka mesti menunggu gelaran upacara adat untuk bisa makan dagingnya,” katanya.
Ia lebih menyoroti dampak perubahan iklim yang mendorong ketersediaan ikan yang fluktuatif, lalu berdampak pada harga yang terus meningkat.
Hal ini, kata Jotham, “yang membuat warga berpikir ulang untuk menjadikannya konsumsi harian.”
Selain menangkap ikan, nelayan kecil di sejumlah daerah pesisir NTT mengusahakan produk sampingan, seperti rumput laut.
Namun, “rumput laut nyaris tak pernah mereka konsumsi pribadi atau dijual di kampung.”
Jotham yang beberapa kali meriset nelayan kecil di Pulau Rote yang terhubung dengan Samudra Hindia berkata, panen rumput laut di pesisir NTT dijual ke tauke “dengan harga yang juga fluktuatif dan seringnya rendah.”
Karena itu, menurutnya, diskursus tentang tengkes “tak bisa cuma berfokus pada satu variabel,” seperti soal cara berpikir dalam bahasa Usman Kansong.
“Perekonomian warga, termasuk nelayan sebagai penyedia protein dari laut, mesti pula dipikirkan,” kata Jotham.
Pernyataan Usman soal peringkat dua terburuk NTT untuk kasus tengkes merujuk pada Survei Kesehatan Indonesia yang terakhir kali dirilis Kementerian Kesehatan pada 2023.
NTT mencatat prevalensi tengkes 37,9 persen pada 2023, naik dari 35,2 persen pada setahun sebelumnya.
Posisi NTT yang lebih baik dari Papua Tengah, provinsi dengan prevalensi tengkes 39,2 persen, tertinggi di Indonesia.
Papua Tengah dimekarkan dari Provinsi Papua pada 2022. Survei Kesehatan Indonesia 2023 menandai pertama kalinya kajian kesehatan itu digelar di provinsi tersebut.
Papua Tengah didominasi kontur perbukitan yang merupakan bagian dari Pegunungan Jayawijaya.
Jotham yang baru pulang meriset tengkes di Kabupaten Belu, Pulau Timor berkata, di wilayah pegunungan NTT, “sebagian besar warga memperoleh protein dari sumber nabati, termasuk kacang-kacangan.”
Berdasarkan risetnya bersama sekelompok peneliti lain dari Universitas Nusa Cendana, Jotham “tidak menemukan defisit protein di Belu, yang sebagian besar juga berkontur pegunungan.”
Sementara itu, Welma Pesulima, dosen teknologi pengolahan hasil perikanan di Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang menyoroti soal kepercayaan sejak zaman leluhur di NTT “yang melarang perempuan dengan kondisi tertentu untuk makan ikan segar.”
Kondisi tertentu itu termasuk mengandung dan mengidap penyakit yang tak kunjung sembuh.
Karena itu, di tempat-tempat pendampingannya di Kabupaten Belu dan Kupang, Welma mengajarkan sejumlah perempuan meracik abon dan bakso ikan.
Selain dapat memenuhi kebutuhan protein, “kedua produk olahan ikan itu juga dapat menambah pendapatan keluarga mereka.”
Alih-alih memasalahkan cara pikir, kata Welma, “lebih baik pemerintah berfokus pada kesejahteraan nelayan dan pendampingan gizi seimbang yang saat ini belum maksimal di NTT.”
Editor: Ryan Dagur