Perubahan Iklim Membuat Musim Tak Tentu, Nelayan NTT Kian Susah Cari Ikan

Dampak perubahan iklim di pesisir tak bisa dijawab dengan solusi palsu, menurut perwakilan organisasi masyarakat sipil

Floresa.co – Kepada seorang peneliti, sejumlah nelayan kecil di Rote–pulau kecil terluar yang terhubung dengan Samudra Hindia–telah sejak tiga tahun silam mengeluhkan susahnya memperoleh ikan. 

Musim ikan berubah. Tak lagi jelas dan teratur.

Pengetahuan lokal akan waktu kemunculan ikan-ikan tertentu, khususnya pelagis, “tak lagi berlaku,” kata Jotham Ninef, dosen Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan pada Fakultas Peternakan, Kelautan dan Perikanan di Universitas Nusa Cendana Kupang.

Tuna, tongkol dan kembung tercakup dalam jenis pelagis, ikan yang hidup berkelompok [schooling] di dekat permukaan air. 

Ketika musim ikan tuna tiba, misalnya, nelayan kecil akan membawa alat tangkap berupa pancing ulur.

Sementara ikan kembung biasa dijaring dengan pukat pantai yang, lantaran berat dan panjang, mesti diulur-tarik oleh lebih dari empat orang yang semuanya harus diupah.

Musim ikan yang tak menentu membuat nelayan kecil Rote, salah satu pulau kecil di bagian paling selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] “lebih banyak wait and see.”

Wait and see, yang Jotham terjemahkan sebagai “menahan diri,” akhirnya membuat nelayan kecil kehilangan pemasukan.

Sementara beragam tunggakan–mulai dari warung sayur, pendidikan dan perbaikan perahu–jalan terus.

Ketika nelayan kecil berkutat mencari akal guna menutup tunggakan, “kian banyak nelayan industri dan nelayan dari luar NTT yang mengarungi wilayah tangkap nelayan kecil Rote,” kata Jotham yang kerap menemui nelayan kecil di sana.

Ditelisik dari bentuk dan fasilitas yang tersedia di palkanya, nelayan-nelayan itu “cenderung memiliki lebih banyak modal ketimbang nelayan kecil Rote.”

Menimbang tunggakan selagi gerombolan pelagis yang tak kunjung naik ke permukaan Laut Sawu, nelayan kecil Rote lalu menumpang melaut bersama mereka.

Berlayar lebih ke selatan, kapal mereka bersandar hingga perairan dangkal Benua Australia.

Nelayan kecil NTT berlayar di Laut Sawu, perairan yang terhubung dengan Samudra Hindia. Foto diambil pada 11 Juni 2022. (Anastasia Ika/Floresa)

Berlayar ke Selatan

Pada 1974, pemerintah Australia dan Indonesia menandatangani suatu Nota Kesepahaman atau Memo of Understanding [MoU]. 

MoU mengizinkan “nelayan tradisional Indonesia yang menerapkan metode penangkapan ikan tradisional untuk beroperasi di pulau karang khusus di selatan Pulau Rote.”

Metode penangkapan ikan tradisional itu mencakup penggunaan perahu tak bermesin, atau yang oleh sejumlah besar nelayan NTT disebut jonson–meminjam nama merek motor tempel “Johnson.”

Selain itu, MoU juga hanya mengizinkan praktik penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tak dilengkapi mesin.

“Setiap tahun perahu tradisional nelayan di sekitar Laut Sawu berlayar hingga pulau-pulau karang Australia,” kata Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang, Imam Fauzi. 

MoU berlaku hingga hari ini. Awalnya terdapat tiga atol tujuan yang diizinkan dalam MoU. 

Oleh nelayan kecil Rote, ketiganya diberi nama dalam bahasa lokal dan Indonesia. Masing-masing adalah Pulau Pasir [Ashmore], Pulau Baru [Cartier] dan Pulau Dato [Scott Reef].

Ketiga atol itu kaya akan teripang. 

“Nelayan Australia jarang mengumpulkan teripang,” kata Imam, “kondisi yang dianggap peluang besar bagi nelayan kecil yang berlayar dari pantai-pantai sekitar Laut Sawu.”

Kumpulan teripang lalu dibawa kembali ke Rote untuk kelak diekspor ke China. 

Selain dianggap berkhasiat sebagai obat kuat, teripang juga diperjualbelikan di pasar kuliner Negeri Tirai Bambu. 

Pada 1989, pemerintah Australia menetapkan Ashmore sebagai cagar alam, yang membuat atol itu dikeluarkan dari MoU. 

Penyisihan Ashmore mendorong nelayan Rote melaut lebih ke selatan lagi ke Pulau Bawah Angin [Rowley Shoals], atol yang sebetulnya tak tercakup dalam MoU.

Dorongan muncul seiring tuntutan dari tauke atau pengepul akan kuantitas teripang. 

“Mereka [nelayan kecil Rote] merasa harus melakukan itu demi pulang membawa uang bagi keluarga,” kata Jotham Ninef.

Apalagi, katanya kepada Floresa pada 10 Juni, “pasca siklon Seroja, mereka tak lagi bisa mengandalkan panen ikan setempat.”

Diperparah Aktivitas Antropogenik

Siklon Seroja menerjang pesisir NTT, termasuk Rote, pada April 2021. Intensitasnya terus meningkat selama nyaris sepekan, sebelum mulai melemah dan benar-benar hilang pada 12 hari kemudian.

Selepas siklon Seroja, Imam Fauzi berkeliling Laut Sawu untuk mengecek kondisi terumbu karang di sekitar kawasan konservasi perairan itu.

“Itulah saat saya menyadari betapa dahsyatnya kekuatan siklon Seroja,” katanya melalui sambungan telepon pada 11 Juni. 

Terumbu karang di beberapa titik Laut Sawu, kata Imam, “terangkat dari dasar laut hingga terdampar ke daratan.” 

Sebagian terumbu tak terangkat, tetapi “rusak parah, mengalami pemutihan [coral bleaching] atau mati.”

Terumbu karang merupakan tempat ikan mencari makan, berlindung dan berkembang baik. 

Rusak atau matinya terumbu karang membuat produksi ikan berkurang. 

“Ditambah aktivitas antropogenik,” kata Imam yang menjabat kepala BKKPN Kupang sejak tiga tahun silam, “nelayan kecil di sekitar Laut Sawu kian kesusahan memanen ikan.”

Sementara Jotham, yang beberapa kali meriset di desa-desa pesisir di pulau-pulau kecil NTT menemukan “perubahan iklim yang diperparah antropogenik membuat nelayan kecil beralih mata pencaharian.”

Peralihan itu termasuk menjadi petani rumput laut dan awak kapal perikanan migran–mata pencaharian yang acapkali justru memerangkap mereka sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Seorang anak lelaki (bercelana cokelat) menyunggi seember ikan yang habis ditangkap ayahnya (berbaju biru) di Ile Ape, Pulau Lembata. Ile Ape merupakan salah satu kecamatan yang terkena dampak terparah siklon Seroja pada April 2021. (Anastasia Ika/Floresa)

Solusi Palsu

Dampak perubahan iklim, kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica “tak terlepas dari man-made features.

Susan menjelaskan man-made features sebagai kontribusi manusia dalam pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan–dalam konteks ini, ekosistem laut.

Ia mencontohkan satu di antaranya: pembangunan dinding penahan ombak.

“Dinding penahan ombak digadang-gadang dapat menahan laju kenaikan permukaan air, tetapi sebetulnya belum teruji secara ilmiah,” katanya.

Pada saat bersamaan, “izin pertambangan dan pariwisata terus saja diloloskan.”

“Tanpa kita sadari,” kata Susan dalam diskusi Ocean-Climate Open Forum di Jakarta pada 7 Juni, “pariwisata mengejawantah sebagai rupa terbaru ocean grabbing.” 

Suharyanto, Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Suharyanto mengatakan perampasan ruang laut terus terjadi di sejumlah wilayah pesisir Indonesia.

Perampasan “bahkan sudah merangsek ke kampung-kampung nelayan,” kondisi yang “saya harapkan tak terjadi di pesisir NTT.”

Penerobosan tanah di kampung-kampung nelayan, katanya, kerap terjadi ketika “nelayan kecil membutuhkan dana dan tergiur harga tawaran calon pembeli tanah.”

Yang kerap terlewatkan oleh nelayan kecil, kata Suharyanto kepada Floresa pada 12 Juni, “ialah lepasnya tanah lamat-lamat mengubah ruang penghidupan mereka.”

Perubahan ruang penghidupan nelayan kecil NTT turut menjadi sorotan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi], Parid Ridwanuddin.

Dermaga sandar perahu di pesisir barat Flores, katanya beberapa waktu silam, “berubah fungsi jadi lokasi wisata.”

Pernyataannya mengacu pada penelitian yang ia tempuh pada 2019 di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. 

Sebelumnya pada tahun yang sama, pemerintah menetapkan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai salah satu kawasan strategis pariwisata nasional.

Tempat sandar yang kian jauh dari wilayah tangkap ikan membuat bahan bakar kian boros. 

Kalaupun ingin memaksimalkan bahan bakar yang tersedia, “belum tentu ikannya sebanyak di wilayah tangkap yang bertahun-tahun mereka kenal.”

Dalam diskusi Ocean-Climate Open Forum, Susan menanggapi keresahan sejumlah perwakilan warga adat yang terdampak perubahan iklim disertai aktivitas antropogenik di sejumlah pulau kecil Indonesia.

Dampak perubahan iklim, katanya, “tak bisa dijawab dengan solusi palsu.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA