Mantan Menteri Emil Salim Minta Pemerintah Upayakan Pembangunan yang Perkuat Resiliensi Masyarakat Pesisir NTT

Memperingati Hari Laut Sedunia pada 8 Juni, Emil Salim mengingatkan pentingnya mempertimbangkan keragaman adat istiadat dalam pembangunan berwawasan lingkungan

Floresa.co – Mantan menteri yang juga pemerhati masyarakat adat, Emil Salim mengingatkan pembangunan di kepulauan bagian timur Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur [NTT], tak bisa diperlakukan sama dengan Pulau Sumatra dan Jawa.

Emil yang sempat menjabat sejumlah posisi menteri terkait lingkungan hidup itu menyatakan, “ekosistem di kepulauan timur berbeda dengan pulau-pulau sebelah barat Indonesia.”

Namun, katanya, soalnya bukan cuma ekosistem.

“Perbedaan juga menyangkut peri kehidupan sosial, tak terkecuali adat istiadat yang diyakini sejak zaman nenek moyang,” kata Emil membuka diskusi publik “Ocean-Climate Open Forum” di @america, pusat kegiatan budaya Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 7 Juni.

Diskusi ini salah satu rangkaian kegiatan lintas organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, pemerhati lingkungan dan peneliti menjelang peringatan Hari Laut Sedunia pada 8 Juni.

Keragaman adat istiadat, kata Emil yang kini berusia 94 tahun, “menjadi penting guna menentukan tak hanya arah, melainkan juga praktik pembangunan berkeadilan di wilayah terkait.”

Wilayah timur Indonesia “memiliki sistem pertahanan laut yang berbasis kepulauan,” kata Emil yang berbicara di atas kursi roda, “oleh karenanya kita tak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat pesisir.”

“Ekosistem laut NTT memiliki unsur-unsur alami yang dapat menjaga keberlanjutan kehidupan,” katanya mengingatkan, “tetapi minim pembangunan yang menyentuh kehidupan itu sendiri.”

Nelayan NTT sedang berlayar di Laut Sawu dalam foto yang diambil pada 11 Juni 2022. (Anastasia Ika/Floresa)

Pembangunan yang Menyentuh Kehidupan

Perairan di wilayah NTT seluas 191.484 kilometer persegi, menurut data Badan Pusat Statistik [BPS]. 

Produksi perikanan tangkap NTT sebesar 123.714 ton pada 2019, turun dari 157.691 ton setahun sebelumnya.

Data BPS pada 2019, atau tahun terakhir publikasinya, mencatat NTT sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di Indonesia setelah Sulawesi Selatan.

Pemerintah kerap menggadang-gadang produksi perikanan NTT sebagai salah satu andalan pemasukan ekonomi negara, usungan yang dikritik Emil Salim di hadapan sekitar 100 peserta diskusi “Ocean-Climate Open Forum.”

“Selama ini,” kata lelaki yang lahir dan besar di Lahat, Sumatra Selatan itu, “kita belum mampu mengintegrasikan sifat kelautan dan kehidupan sosial yang unik di NTT.”

Nelayan Lamalera dalam posisi diam atau “huro”, ketika melihat pergerakan air Laut Sawu yang bergolak. Pergerakan air yang semacam ini terkadang mengisyaratkan “kedatangan” mamalia laut yang berenang di sekitar perahu. (Foto: Anastasia Ika)

Minimnya integrasi “membuat NTT belum juga berada pada jalur pembangunan manusia yang efektif.”

Alih-alih mengawetkan pembangunan yang tak memberikan manfaat riil bagi warga, “lebih baik pemerintah berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia yang tanggap terhadap dinamika iklim.”

Cara itu, kata Emil, dapat memperkuat resiliensi masyarakat pesisir, khususnya, guna menghadapi dampak negatif perubahan iklim.

“Perkuat cabang ilmu pengetahuan terkait dampak perubahan iklim. Ajak anak muda di timur Indonesia untuk secara aktif berdiskusi. Merekalah yang akan menanggung baik buruknya langkah kita hari ini,” katanya.

Pengingat Emil menjadi catatan bagi Alfa Jan Seran, mahasiswa sekaligus Ketua Australia-Indonesia Youth Association wilayah NTT yang hadir dalam forum.

Lelaki asal Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara di Pulau Timor itu mengungkapkan selama ini “banyak diskusi, advokasi dan kolaborasi lintas organisasi masyarakat sipil” terkait perubahan iklim.

Namun, katanya separuh bertanya, “mengapa pemerintah terkesan diam saja?”

“Bila pemerintah terus saja begitu, apalah artinya kolaborasi kita ini?”

Ketua Australia-Indonesia Youth Association wilayah Nusa Tenggara Timur, Alfa Jan Seran dalam diskusi Ocean-Climate Open Forum di Jakarta pada 7 Juni 2024. (Anastasia Ika/Floresa)

Pertanyaannya dijawab Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [KIARA], Susan Herawati Romica, salah satu penanggap diskusi.

“Memang tak ada jaminan apakah kerja-kerja kita akan didengar pemerintah,” katanya.

Dua hari sebelum gelaran diskusi, Susan melawat ke wilayah pesisir Demak, Jawa Tengah. Di sana ia bertemu nelayan yang, “seperti di sejumlah wilayah lain di Indonesia, mengeluhkan minimnya peran negara guna menyejahterakan ‘orang kecil.’”

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica. Susan menjadi salah satu penanggap diskusi Ocean-Climate Open Forum di Jakarta pada 7 Juni 2024. (Anastasia Ika/Floresa)

“Nelayan kecil terus mengadu ke pemerintah. Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah mau dengar?,” katanya.

Ia tak menjawab pertanyaannya sendiri. “Pemerintah yang bisa jawab,” kata Susan mengakhiri tanggapannya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA