Oleh: YOSEF SAMPURNA NGGARANG, Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat, warga Manggarai Barat
Terlihat dari dekat, hutan yang dulunya rimbun nan hijau itu sebagian sudah gundul. Akar-akar pohon yang sudah berumur puluhan, bahkan ratusan tahun tercerabut dari tanah tempat mereka mengakar.
Pemandangan lain, mobil-mobil truk keluar masuk hutan. Terdengar bunyi mesin vibro dan eksavator yang berada dalam kawasan yang di gerbang masuknya bertuliskan “Persemaian Modern Labuan Bajo NTT” dengan logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
Bunyi mesin-mesin tersebut menenggelamkan suara burung yang hidup bebas di kawasan hutan yang dibanggakan oleh masyarakat Labuan Bajo itu. Namanya Hutan Bowosie, membentang dari pinggir kota Labuan Bajo ke arah timur, bersambungan dengan hutan di Pegunungan Mbeliling.
Fanus, sopir truk yang baru beranjak dari dalam kawasan itu berhenti sejenak di depan gerbang. Dia sempat meladeni pertanyaan saya soal “Aktivitas apa saja di dalam kawasan itu sekarang? Dan apakah persemaian modern itu sudah mulai?”
“Sekarang baru pengerjaan agregat, sedangkan persemaian itu belum, masih lama,” kata Fanus yang sejak tahun 2021 lalu keluar masuk kawasan itu.
Di sepanjang jalan dari arah kampung Nggorang menuju tempat persemaian itu terdapat tiga papan pengumuman yang berisi himbauan dan peringatan keras dari KLHK: ”Setiap orang dilarang melakukan kegiatan apapun di dalam areal ini!” demikian tertulis, ditambah dengan ancaman hukuman penjara bagi yang melanggarnya.
Ada juga sebuah pilar berwarna biru yang bertuliskan: “BPOLBF 2021 BM-9.” Pilar ini tampaknya mengindikasikan bahwa areal hutan tersebut sudah sah menjadi bagian dari lahan 400 hektar yang dikuasai oleh Badan Pelaksana Otoritatif Labuan Bajo Flores (BPO-LBF), yang sebelumnya bernama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Labuan Bajo Flores (BOP-LBF)
Inilah kondisi hutan Bowosie hari ini. Proyek persemaian modern itu terletak di Satar Kodi, Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, sekitar 10 km dari pusat kota Labuan Bajo. Dimulai pada tahun 2021, proyek yang dikelola KLHK ini menelan anggaran Rp 39 miliar untuk tahap persiapan.
Korban Pariwisata Eksklusif
Proyek itu hanyalah salah satu dari rangkaian upaya alih fungsi hutan itu untuk pembangunan pariwisata eksklusif.
Sejak awal, upaya alihfungsi kawasan hutan itu mendapat perlawanan publik. Itu karena hutan ini merupakan daerah tangkapan dan resapan hujan, di mana terdapat 13 mata air sehingga berfungsi sebagai tandon air kebutuhan masyarakat Labuan Bajo. Bowosie juga menjadi hutan penyangga beberapa komunitas warga di Labuan Bajo seperti Lancang, Sernaru, Wae Mata, Kaper, Merombok, Nggorang dan Dalong.
Hutan itu juga merupakan ‘tabung’ oksigen untuk daerah pariwisata Labuan Bajo dan sumber air untuk irigasi lahan persawahan masyarakat. Di Desa Compang Longgo, 14 kilometer ke arah selatan Labuan Bajo misalnya, 500 hektar sawah bergantung pada irigasi dari Kali Wae Mese yang sebagian airnya dari wilayah Hutan Bowosie.
Memang menurut dokumen yang dipresentasikan oleh BPO-LBF, dalam desainnya hanya 10% dari total luas area 400 hektar itu yang akan dibangun sarana wisata alam, termasuk resort-resort eksklusif dan mewah. Namun, upaya pembangunan di kawasan hutan itu dikuatirkan akan membawa bencana ekologis bagi warga setempat dan kota Labuan Bajo.
Selain itu, ada kecemasan bahwa Hutan Bowosie akan sama nasibnya dengan Taman Nasional Komodo (TNK) yang zonasinya diutak-atik untuk memperluas zona pemanfaatan, demi membuka kran bagi konsensi bisnis. Ke depan, Hutan Bowosie bisa jadi akan digerogoti perlahan-lahan seperti halnya kasus TNK itu.
Di samping itu, soal yang juga pelik adalah lahan itu masih berada dalam status konflik dengan warga setempat, sebagaimana tampak dalam peristiwa pada Kamis kemarin, 21 April 2022. Langkah BPO-LBF yang menggusur lahan warga untuk pembuatan jalan menuju wilayah 400 hektar itu dihadang warga. Proyek jalan ini memakai APBN yang dikelola Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kawalan ketat aparat TNI dan Polri membuat warga untuk sementara harus mundur. Namun, itu tidak berarti mereka menyerah.
Setidaknya ada beberapa komunitas warga yang mempersoalkan lahan itu, yakni di Kampung Racang Buka, Lancang dan Nggorang. Warga di Racang Buka misalnya mempertahan lahan kurang lebih 150 hektar yang sudah dimanfaatkan sejak tahun 1999. Mereka sudah mengikuti proses-proses resmi dan telah mendapat pengakuan dari pemerintah lewat SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016. Sebagian dari lahan mereka itu masuk ke dalam wilayah yang dikelolah BPO-LBF.
Selain itu, sekitar 30 hektar adalah ulayat Warga Adat Lancang dan beberapa kampung sekitar hutan yang selama belasan tahun sudah dijadikan sebagai wilayah untuk pemukiman dan lahan pertanian. Di Nggorang juga terjadi perbedaan klaim antara warga dan pemerintah terkait batas hutan dengan wilayah kebun mereka.
Memang narasi yang dibangun untuk pengembangan kawasan bisnis di Hutan Bowosie, seperti halnya juga di TNK adalah sama, yakni ”wisata alam.” Namun, soalnya adalah wisata alam seperti apa? Apakah harus dengan meniadakan hutan yang berfungsi penting dan merusak ekosistem? Ataukah ini hanya membenarkan keresahan publik selama ini bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang digagas oleh teknokrat-teknokrat dari Jakarta lebih berorientasi proyek, bukan pada penyelamatan lingkungan. Meniadakan aspek penyelamatan lingkungan juga sama saja dengan mereduksi gagasan yang dinarasikan oleh BPOP-LBF selama ini, yang mengusung pariwisata berkelanjutan.
Di atas kertas, poyek persemaian moder di Hutan Bowosie itu disebut milik KLHK. BPO-LBF pun selalu menjawab demikian terhadap protes publik. Namun, patut diduga, itu adalah taktik untuk “bersembunyi” di balik KLHK, mengantisipasi resistensi publik mengingat BPO-LBF adalah salah satu BPO yang sering diprotes atau didemo.
Mungkin juga persemaian modern milik KLHK itu adalah semacam decoy, umpan? Dipoles dengan istilah persemaian modern yang terkesan mulia demi penyelamatan lingkungan, namun ujung-ujungnya untuk menyembunyikan agenda proyek sebenarnya. Persemaian itu patut diduga juga tidak berdiri sendiri. Dia bisa jadi ‘tunggangan’ agar semua desain BPO-LBF bisa berjalan mulus di area 400 hektar.
Oligarki Baru?
BPO-LBF dibentuk oleh Perpres 32 Tahun 2018 dan sejak awal memang sudah mengundang kontroversi, terutama karena kehadirannya dianggap lebih banyak memicu soal, dibanding membantu menyelesaikan persoalan laten pariwisata di Labuan Bajo dan Flores.
Kehadiran perusahan-perusahan swasta yang mengganggu konservasi di TNK, penguasaan dan penjuan pulau-pulau, krisis air di kota super premium, dan masalah agraria dalam konteks industri pariwisata tidak menjadi perhatian lembaga yang sejak awal dipimpin oleh Shana Fatina ini.
Alih-alih menyelesaikan masalah lahan, BPO-LBF malah masuk ke dalam pusaran konflik dan bahkan menggunakan cara pengusaan lahan secara paksa seperti halnya yang dilakukan para oligarki Jakarta yang menguasai lahan warga dan merusak hutan di tempat lain, seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Maluku dan Wadas?
Harapan konflik agraria di Labuan Bajo yang menjadi salah satu hambatan investor enggan berinvestasi segera terurai, juga pupus. Bisnis pariwisata yang mensyaratkan kenyamanan juga tidak terwujud. Yang muncul malah konflik vertikal: warga vs negara (BPO-LBF).
BPO-LBF pun lebih memberi kesan menjadi bagian dari oligarki yang ingin mengusai bisnis pariwisata di Labuan Bajo, dibanding berjuang agar mayoritas warga, terutama warga lokal bisa hidup dari pariwisata yang sudah mendunia itu dan kini dilabeli pariwisata super premium.
Jika BPO-LBF ngotot mengusai lahan yang masih konflik itu, mengabaikan suara-suara warga tanpa ada resolusi, maka anggapan bahwa lembaga ini bukan “mesin” kemakmuran bagi rakyat tapi “mesin” kemakmuran orang pusat makin sulit dibantah. Tepat pula jika dikatakan 400 hektar di Hutan Bowisie itu jadi lahan BOP: Bisnis Orang Pusat.