Bom Waktu Polemik Lahan Bandara di Matim

Floresa.co – Untunglah sejak awal rencana pembangunan bandar udara (Bandara) di Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) dipersoalkan. Konfliknya adalah mengenai lahan 100 hektar di Tanjung Bendera, sekitar 10 kilometer sebelah barat Waelengga, ibukota Kecamatan Kota Komba.

Pihak Pemkab Matim mengaku bahwa tanah itu telah diberikan secara gratis oleh suku Motu, pemilik lahan tersebut dalam pertemuan pada 23 April 2015 di kantor Camat Wae Lengga.

Dan, sedianya bandara itu, kata Bupati Matim, Yoseph Tote, akan menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke Manggarai Timur.

Akan tetapi, baru-baru ini pengakuan pemerintah tersebut dibantah oleh sejumlah sub-klan suku Motu. Beberapa suku tidak merelakan tanah itu diberikan secara gratis.

Ketua Paguyuban Motu Tujuh Bersaudara, Irenius Lagung mengatakan pertemuan tersebut tidak mengakomodasi kepentingan semua sub klan suku Motu.

Selain itu, menurutnya pertemuan tersebut sarat dengan intimidasi dan konspirasi. Sebagai buktinya, Petrus Ila, salah satu perwakilan subklan Motu Kaju Leke, yang turut hadir dan menandatangani surat penyerahan tanah tersebut berani membongkar proses tersebut.

Menurutnya,  dirinya dipaksa menandatangani surat penyerahan tanah, padahal ia sama sekali tidak tahu isi surat tersebut. “Saya tidak tahu baca. Saya juga tidak mengetahui kalau surat yang saya  tanda tangan itu berisi penyerahan tanah seluas 100 Hektar Area (Ha) di Tanjung Bendera,” kata Petrus kepada Floresa, Selasa (5/5/2015).

Kini, saling klaim sebagai pihak yang benar menyeruak ke permukaan. Pemerintah mengaku punya bukti yang signifikan tentang transparansi proses tersebut. Sementara masyarakat suku Motu tetap bersikukuh tak akan memberikan lahan tersebut lantaran sarat dengan kepentingan elite.

Lalu, pengakuan pihak mana yang layak dipercaya? Tentu ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Perdebatan bisa semakin memanas.

Akan tetapi, terlepas dari kepelikan itu, yang jelas bagi publik, kenyataan itu sudah mensinyalir adanya konflik yang bisa pecah kapan saja di masa mendatang. Ibarat bom, konflik ini hanya tunggu untuk meledak.

Dikatakan demikian karena bukan cerita baru di Manggarai Raya masalah tanah dianggap sangat sensitif. Tanah sejengkal saja tak jarang harus dibayar dengan nyawa. Perang antarsuku sudah sering terjadi.

Mengingat kerawanan tersebut, memang kalau tak diselesaikan dengan bijak, konsekuensi yang paling buruk seperti pertumpahan darah hampir pasti terjadi terjadi dalam masalah penyerahan lahan bandara tersebut.

Kemungkinan konflik horisontal bisa saja terjadi antara anggota sub klan. Dalam hubungannya dengan pemerintah, pertikaian dengan aparat juga bisa menjadi momok yang menakutkan.

Kalau pun tidak separah itu, tetap saja ada hal-hal yang tak diinginkan muncul di kemudian hari. Hati masyarakat yang tak puas amat wajar apabila bertingkah “aneh” dan seterusnya menganggu proses lalu lintas di bandara.

Di samping itu, persoalan ini memberikan jeda yang menguntungkan. Di luar diskusi siapakah yang benar dalam pengakuan kedua belah pihak tersebut, kini publik bisa menilik substansi lain dari rencana pembangunan bandara itu.

Melihat kondisi pembangunan di Matim saat ini, orang-orang bisa saja bertanya, apakah memang mendesak dibangun sebuah bandara di Manggarai Timur dalam waktu dekat?

Kesannya, rencana pembangunan bandara tersebut sangat ironis dengan kenyataan di lapangan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Anggota DPRD NTT, Freddy Mui bandara belum terlalu mendesak saat ini. Seharusnya yang lebih diprioritaskan adalah pembangunan jalan raya, jembatan, gedung sekolah dan lain-lain.

Pasalnya, selama ini kondisi infrastruktur jalan raya saja di Matim masih jauh dari harapan. Freddy, misalnya, menyebutkan bahwa jalan raya belum begitu diperhatikan di Kecamatan Elar, Elar Selatan, Lambaleda dan Sambi Rampas.

Tentu akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Komoditas pertanian dan perkebunan tak serta-merta disalurkan dengan mudah ke pusat-pusat aktivitas ekonomi.

Kurangnya melihat skala prioritas tersebut memberikan kesan bahwa pembangunan bandara sarat dengan kepentingan segelintir orang atau proyek elite. Tentu kecurigaan yang paling mungkin,  karena urusan proyek selalu terkait dengan uang. Dan,  pembangunan bandara bisa menjadi sumber penghasilan “tambahan”.

Maka pertanyaannya adalah berapa yang harus masuk ke pundi-pundi pribadi kalau lahan untuk lokasi bandara pun diperoleh secara cuma-cuma?

Kecurigaan demikian memang sangat pantas. Teka-teki seputar urusan proyek sudah lama menjadi buah bibir masyarakat sedemikian sehingga sangat gamang untuk menentukan, apakah sebuah proyek itu dibuat demi kepentingan rakyat atau hanya karena ada tawaran menggiurkan di baliknya.

Terlepas dari sampai kapan persoalan ini akan menemukan titik terang, yang jelas saat ini nada pesimis lebih mendominasi dalam rencana pembangunan bandara.  Substansi pembangunan bandara tersebut masih sangat problematis. Jadi, tidak memasukkan pembangunan bandara dalam skala prioritas pembangunan jangka pendek tentunya sangat diharapkan.

Untunglah penolakan datang dari suku Motu sendiri. Ini momentum berharga untuk mengecek apakah pembangunan bandara itu benar-benar memberikan harapan atau tidak.

Lebih dari itu, lagi-lagi ada catatan penting bagi Pemkab Matim: jangan menganggap enteng suara protes masyarakat. Klaim bahwa semua prosedur sudah dilakukan tak bisa menjadi justifikasi untuk memaksakan kehendak. Para pemilik lahan sudah memberi Anda peringatan: masih ada persoalan yang belum selesai. Dan, jika diabaikan, itu, sekali lagi, adalah bom waktu yang hanya menanti momen untuk melahirkan konflik lebih besar.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini