Pendoa: Menyembuhkan atau Memicu Penderitaan Baru

Mendatangi dan mendatangkan mereka yang disebut pendoa seringkali jadi pilihan untuk menyembuhkan penderita gangguan jiwa. Ini umum terjadi di wilayah seperti Flores. Namun, yang didapat acapkali bukanlah kesembuhan, tetapi malah penderitaan baru.

Oleh: AVENT SAUR, Pendiri Kelompok Kasih Insanis, Relawan Peduli Sehat Jiwa NTT

Ada sekian banyak pengalaman dukacita yang menerpa penderita gangguan jiwa dan keluarga mereka ketika mendatangi atau mendatangkan pendoa. Istilah pendoa di sini merujuk pada mereka yang diklaim atau mengklaim diri bisa menyembuhkan siapapun yang menderita sakit dan selalu beranggapan bahwa semua sakit terjadi karena kerja setan. Dari pengalaman meminta bantuan pendoa itu, ternyata bukan hanya pengalaman dukacita biasa yang terjadi, melainkan terutama pengalaman kejahatan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Menghadapi itu, penderita dan keluarga lebih banyak diam saja. Sekalipun mereka tahu bahwa itu kejahatan, mereka toh membiarkannya terjadi. Sebab mereka berharap dan yakin, mungkin dengan cara itu, penderitaan yang mereka alami bertahun-tahun akan segera berakhir.

Namun, faktanya bukan berakhirnya penderitaan yang mereka dapatkan, melainkan sebaliknya yakni penderitaan baru karena trauma, pencemaran nama baik dan tuduhan yang tidak beralasan.

Kejahatan Pertama

Ada dua kejahatan pendoa yang paling saya ingat sejauh ini.

Pertama, peristiwa yang baru saja terjadi pada 1 Januari 2022, ketika saya mengunjungi korban pasung dan keluarganya di wilayah Kabupaten Nagekeo, Flores.

Ayah dari korban pasung menceritakan dengan nada merendah dan mata berbinang; sepertinya ia sedang mengorek luka lama di kedalaman perasaannya yang selama ini ia simpan serapi mungkin. Ya, cerita tentang bagaimana praktik kejahatan pendoa terhadap dirinya.

Konon, belasan tahun silam, ia mengantar anaknya yang menderita gangguan jiwa sejak usia remaja ke Mbay, Ibukota Kabupaten Nagekeo. Di situ, sekian banyak pendoa berkumpul, dan sekian banyak orang sakit berdatangan dan didatangkan, ingin disembuhkan.

Dengan ritus-ritus modern, orang-orang sakit diberi tindakan pendoaan secara bergilir, hingga tiba pada giliran anak dari sang ayah ini. Seketika itu, si ayah langsung dituduh bahwa ia memegang ilmu hitam; dituduh di tengah sekian ratus orang di dalam gedung itu. Betapa malunya ia.

Ia diminta untuk jujur dan segera menanggalkan ilmunya. Karena pendoa merasa bahwa permintaan itu tidak diindahkan, maka ia dipaksa untuk jujur, dipaksa dengan cara memukul. Ia dipaksa berlutut, dipaksa menyembah, dipaksa bersujud, dipaksa memakan tanah, dipaksa rebah, dan lain-lain.

Semuanya ia lakukan. Ia ikuti semua pemaksaan dengan penuh ketaatan sembari berharap bahwa mungkin dengan cara ini, anaknya bisa pulih. Sepanjang kekerasan dan ketaatan buta itu, ia tetap pada pendiriannya bahwa dirinya tidak pernah memegang ilmu hitam.

“Saya datang pada kalian supaya anak saya sembuh. Saya yakin Tuhan bisa sembuhkan anak saya melalui doa-doa kalian,” begitu tuturnya merendah sambil memohon belas kasihan para pendoa yang beringas itu.

“Kau berani melawan? Harus jujur, Anda pegang ilmu hitam,” teriak para pendoa dengan nada intimidatif.

“Saya tidak melawan. Jujur, saya tidak pegang ilmu hitam. Saya beriman kepada Tuhan. Maka saya datang minta doa kalian, sebab kalian dekat dengan Tuhan,” jawabnya.

Siksaan demi siksaan, sang ayah jalani dengan tangguh, sekalipun rasa sakit pada tubuh makin tak tertahankan dan rasa sakit pada kedalaman hati makin perih. Di kedalaman hatinya, ia berteriak kepada Tuhan, memohon agar siksaan itu segera dihentikan.

Namun Tuhan seakan-akan tuli. Siksaan makin menjadi-jadi. Pendoa makin beringas. Dan itu ia jalani berapa lama? Sejak pukul 16.00 Wita hingga pukul 04.30 pagi hari berikutnya. Sungguh tak terbayangkan! Sungguh-sungguh mengerikan!

Pagi pukul 04.30 itu, ia dipaksa masuk ke rumah ibadah di dekat praktik penyembuhan massal itu. Betapa ia bergembira sebab mustahil para pendoa menyiksanya di dalam rumah ibadah.

Dengan tenaga yang tersisa, selain karena tak makan dan tak minum sejak sore hingga pagi itu, juga karena siksaan hebat yang dideritanya, ia memasuki rumah ibadah dengan langkah tertatih-tatih, duduk merenung sebentar, lalu mendekati beberapa arca rohani, memeluknya, dan berterima kasih atas berhentinya penyiksaan.

Ia melantunkan doa khusus buat para pendoa yang telah melakukan kejahatan dan pencemaran nama baiknya. Dengan keyakinan kuat, ia membangun komitmen untuk tidak akan lagi mendekati pendoa siapa pun untuk kesembuhan anaknya. Ia hanya menaruh harapan pada Tuhan.

Kenapa pendoa menyiksanya demikian sadis? Selain karena dianggap tidak jujur, ia juga dianggap melawan pendoa. Dan dalam pandangan para pendoa, yang melakukan perlawanan bukanlah sang ayah, melainkan setan yang diyakini ada dalam diri sang ayah. Jadi penyiksaan itu bukan terhadap sang ayah, melainkan terhadap setan atau roh jahat pada sang ayah. Mengerikan!

Dan yang mengatakan “saya tidak memegang ilmu hitam”, dipandang oleh para pendoa bukan perkataan asli sang ayah, melainkan perkataan setan atau roh jahat. Para pendoa merasa sangat yakin bahwa sang ayah sedang dikuasi setan.

Dari peristiwa ini kita pun tahu bahwa praktik kejahatan atas nama Tuhan bukan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal garis keras atau gerakan ISIS di negeri-negeri Timur Tengah sana, melainkan juga oleh orang-orang di sekitar kita di Flores yang sehari-hari bergaul dengan kita, yang sering kali makan semeja dengan kita, yang selalu duduk ngobrol dengan kita, yang bersama kita duduk sopan di rumah-rumah ibadah, yang duduk bersama kita dalam acara-acara budaya, yang motornya kita boncengi di jalanan.

Kejahatan Kedua

Saya kurang ingat dengan baik, sekitar tahun 2017, saya menyambangi rumah sebuah keluarga yang di dalamnya ada penderita gangguan jiwa yang sedang terpasung. Keluarga itu menyambut para sukarelawan dengan ramah dan menyimak dengan baik apa tujuan kehadiran kami di tengah mereka.

Dari sekian banyak isi obrolan, sang kepala keluarga menceritakan bahwa mereka sudah belasan tahun tidak mencari solusi atas sakit yang diderita anaknya yang saat itu berusia 30 tahun.

Mereka tidak kunjung mencari solusi, bukan karena putus asa dan pasrah pada keadaan, melainkan karena mereka sangat terpukul dengan satu kejadian belasan tahun silam, kejadian kejahatan oleh pendoa.

Suatu hari, kata Sang Ayah, anaknya yang sakit dibawa ke seorang pendoa di sebuah kampung, di wilayah utara Kabupaten Ende, Flores. Rumah-rumah penduduk di kampung itu dipenuhi khalayak ramai yang berdatangan mencari bantuan pendoa itu. Dan keluarga ini, menginap di sana kurang lebih satu bulan sambil menunggu giliran tindakan pendoaan.

“Pendoa pakai sepatu seperti tentara. Dia tendang anak saya sambil berteriak mengusir setan,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

“Saya lihat, makin lama pendoa tendang membabi-buta. Anak saya tak berdaya, hampir semamput (pingsan).”

Sang Ayah tak tahan menangis ketika menyaksikan kondisi anaknya dipelakukan demikian. Namun ia membiarkannya dengan harapan bahwa mungkin dengan cara itu, anaknya bisa sembuh.

Namun menit demi menit, praktik kejahatan pendoa tak terkendalikan. Teriakan pendoa mengusir setan makin menggelegar. Anaknya makin lemas, tidur melintang dengan napas terengah-terengah.

“Sambil menangis, saya pun berteriak sekeras mungkin, ‘Stop! Biarkan anak saya sakit, daripada kau tendang tidak tahu diri.’ Lalu kami pulang dengan rasa sakit yang luar biasa.”

Sang Ayah sangat menyesal dengan dirinya sendiri lantaran telah membawa anaknya ke pendoa. Ke pendoa, justru mendatangkan penderitaan baru pada anaknya.

Sekitar sebulan lamanya, luka-luka memar pada sekujur tubuh anaknya ia kompres hingga pulih. Ia rawat sembari memohon maaf pada anaknya dan  berkomitmen untuk tidak membawa anaknya kepada pendoa mana pun.

Apa Itu Doa?

Sebagaimana biasa, di mana pun kita pergi dan berjumpa dengan keluarga siapa pun yang di dalamnya ada anggota yang menderita gangguan jiwa, para sukarelawan memberikan edukasi kesehatan jiwa seusai mendengarkan pelbagai keluh-kesah mereka.

Selain mengutarakan apa itu gangguan jiwa dan solusi yang harus ditempuh, kita selipkan satu dua hal tentang apa itu doa, apa itu hidup beriman.

Misalnya, bagi saya, hakikat doa mengandung dua hal. Pertama, doa sebagai hak. Kita orang beriman memiliki hak yang sama untuk memohon apa pun kepada Tuhan.

Kita sakit, kita memiliki hak untuk memohon kesembuhan sambil berjuang merawatnya pada tenaga profesional kesehatan. Kita gagal, kita memiliki hak untuk memohon ketabahan dan kesuksesan kepada Tuhan sambil berjuang untuk bangkit dan mengayun langkah maju. Kita menempuh perjalanan jauh, kita memiliki hak untuk memohon perlindungan dalam perjalanan sambil berhati-hati penuh kewaspadaan.

Tuhan kabulkan doa itu atau tidak, itu urusan Tuhan. Tuhan memiliki hak prerogatif untuk mengabulkan doa kita atau tidak. Dan kita tetap berjuang untuk hidup sebaik-baiknya dengan menaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangannya.

Meminta orang lain mendoakan kita, itu salah satu aspek sosial dari praktik beriman. Bahwa dalam kehidupan bersama dan karena kita semua beriman, kita harus saling mendoakan satu sama lain. Bahkan kita beragama beda pun, kita harus saling mendoakan. Itu adalah tanda bahwa kita saling mendukung dan saling meneguhkan dalam hidup bersama.

Kedua, doa sebagai kewajiban. Berdoa adalah sebuah keharusan bagi setiap orang beriman. Melalui doa, kita menjaga kedekatan relasi dengan Tuhan.

Mungkin kita perlu contoh yang paling sederhana untuk memahami doa sebagai kewajiban. Orang yang sedang berpacaran, misalnya, komunikasi di antara mereka harus dirajut dengan baik dan intens agar relasi itu tetap terpelihara. Suami dan istri serta anak-anak harus saling berkomunikasi dengan baik dan intens agar kedekatan antarmereka terjaga. Keluarga hidup damai, keterbukaan tercipta, berbagi kasih diwujudkan senyata mungkin.

Kalau dalam hal pacaran dan relasi suami-istri-anak saja seharusnya kita lakukan demikian, maka apalagi dengan Tuhan yang kita imani. Komunikasi yang intens dengan Tuhan adalah sesuatu yang seharusnya kita lakukan.

Sebab Tuhan itu lebih tinggi kedudukan-Nya daripada sekadar pacar, lebih daripada sekadar suami-istri, lebih daripada sekadar kawan sepermainan.

Tuhan itu Mahakuasa, Maha Pencipta, Mahakasih. Tuhan adalah pencipta kita dan alam semesta. Daripada-Nyalah kita berasal, kepada-Nyalah kita akan pergi setelah meninggalkan dunia ini. Tuhan adalah alfa dan omega, awal dan akhir hidup kita. Dan kita semua tahu tentang ini.

Pemimpin Agama Diam?

Bukannya para tokoh agama tidak mengetahui praktik-praktik doa seperti ini di tengah umat dan masyarakat. Pemimpin agama rupanya ragu-ragu, apakah para pendoa itu salah atau justru benar-benar sedang mendapat karunia khusus dari Tuhan, sekalipun mereka tahu bahwa praktik itu melenceng dari ajaran agama. Ya sebuah keragu-raguan yang justru mendukung praktik-praktik kejahatan para pendoa.

Yang semestinya dilakukan para pemimpin agama adalah mendekati dan mendatangi atau mendatangkan para pendoa, kemudian menyelidiki isi doa dan ritus serta praktik-praktiknya. Apakah itu semua sesuai dengan ajaran teologis agama mainstream yang notabene para pendoa itu juga menganutnya? Jika tidak sesuai, pemimpin agama memiliki tanggung jawab untuk mengoreksi bahkan membubarkannya.

Jika tidak melakukan hal-hal demikian, maka pemimpin agama rupanya memelihara para pendoa dengan praktik demikian. Lalu quo vadis umat beriman?

Tuhan yang Mahatahu mengetahui semuanya itu lebih daripada apa yang saya tahu. Tuhan yang Mahatahu mengetahuinya lebih daripada apa yang kita semua tahu. Tuhan yang Mahatahu mengetahuinya lebih daripada yang para pemimpin agama tahu. Tuhan yang Mahatahu mengetahuinya lebih daripada apa yang para pendoa tahu.

Namun sepengetahuan saya dan para relawan Kelompok Kasih Insanis, kita terus membongkar kedok-kedok di balik praktik pendoaan yang menjanjikan kesembuhan palsu, yang menyediakan produk-produk iman instan.

Untuk perjuangan tiada akhir dalam kepedulian pada kemajuan layanan kesehatan jiwa di Provinsi kepulauan ini, kita kembali tegaskan “Stop ke pendoa!”

spot_img

Artikel Terkini