BerandaREPORTASEMENDALAMCemas Dipaksa Terima Proyek...

Cemas Dipaksa Terima Proyek Geothermal, Warga Adat Poco Leok di Flores Minta Solidaritas Gereja

Proyek yang dikerjakan PT PLN ini terus mendapat penolakan dari warga

Floresa.co –  Warga adat di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT meminta solidaritas Gereja Katolik karena khawatir bahwa pemerintah akan menggunakan cara-cara paksa demi meloloskan proyek geothermal di wilayah mereka, salah satu dari sejumlah titik yang sedang dicanangkan di daratan Flores.

Warga 10 gendang atau komunitas adat dari wilayah di Kecamatan Satar Mese itu baru-baru ini menemui pimpinan Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation Serikat Sabda Allah (JPIC-SVD), lembaga advokasi salah satu kongregasi religius Gereja Katolik yang berbasis di Ruteng.

“Kemungkinan besar akan ada daya paksa,” kata Simon Wajong [57], salah satu tokoh masyarakat Poco Leok.

Namun, apapun yang terjadi, kita harus tetap konsisten dengan sikap menolak proyek geothermal,” tambahnya dalam pertemuan pada Sabtu, 28 Januari 2023 itu. 

Simon Wajong, salah satu tokoh masyarakat Poco Leok sedang berbicara saat pertemuan degan JPIC-SVD Ruteng pada Sabtu, 28 Januari 2023. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Stefanus Baru [63], Tu’a Gendang [pemimpin adat] dari Kampung Nderu menceritakan, ia beberapa kali didatangi utusan PT Perusahan Listrik Negara atau PT PLN – yang mengerjakan proyek itu –  dan dari pemerintah setempat.

“Mereka merayu warga dengan memberikan uang ganti rugi [lahan] hingga tawaran-tawaran lainnya agar warga menyerahkan lahan untuk menjadi salah satu titik pengeboran,” katanya.

“Tetapi kami tetap menolak. Yang lain-lain mungkin bisa diganti oleh pemerintah, tetapi bagaimana dengan kuburan leluhur kami? Bagaimana pula dengan keturunan kami? Apa yang akan kami wariskan jika semuanya sudah hancur?” ujarnya dalam pertemuan itu.

Agustinus Tuju [50], seorang tokoh adat Nderu menambahkan, “tanah adalah ibu kita.”

“Siapa yang rela membiarkannya dilukai, dicabik-cabik, dihancurkan? Kita tidak mau ibu yang menghidupkan kita akan hancur.  Saya tidak akan setuju ibu bumi Poco Leok hancur,” katanya.

Pertemuan itu dihadiri 35 orang tokoh adat, pemuda, dan perwakilan dari 10 gendang di lingkar proyek itu yakni Gendang Mocok, Mori, Nderu, Jong, Racang, Mucu, Lungar, Tere, Mano, Cako, dan Rebak.

Klaim demi EBT

Wilayah Poco Leok mencakup tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.

Kawasan ini merupakan salah satu dari banyak titik yang direncanakan PT PLN sebagai sumber energi baru dan terbarukan [EBT] di Flores, daerah yang ditetapkan sebagai pulau geothermal pada 2017. 

Wilayah pegunungan di bagian barat daya Gunung Ranaka itu termasuk dalam rencana pengembangan unit 5 dan 6 PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012. PLTP Ulumbu berlokasi di Desa Wewo, tidak jauh dari Poco Leok. Kapasitas energi yang ditargetkan dari proyek di Poco Leok mencapai 2×20 megawatt. 

Saat konsultasi publik di Lungar pada November tahun lalu, Prapsakti Wahyudi, Manager Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara mengatakan geothermal Poco Leok menjadi taruhan pemerintah untuk menjalankan komitmen di hadapan negara-negara G20 yang menggelar Konferensi Tingkat Tinggi [KTT] di Bali pada 15-16 November 2022 lalu.

“[Di forum G20] disampaikan bahwa di tahun 2025 nanti, pemakaian EBT, energi yang ramah lingkungan adalah 23%,”  katanya.

Presiden Joko Widodo memang tengah mendorong pengembangan EBT, utamanya geothermal, sebagai Proyek Strategis Nasional.  Ia bahkan menerbitkan Perpres nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dua hari sebelum perhelatan KTT G20.

Namun, di tengah klaim pemerintah soal manfaat proyek itu, sejumlah komunitas warga di Poco Leok masih terus menentangnya.

Menghadapi perlawanan warga, PT PLN dilaporkan berupaya memindahkan titik-titik pengeboran dari kampung yang terus menentangnya ke kampung-kampung lain.

Setelah muncul penolakan dari Gendang Nderu misalnya, PT PLN dikabarkan menggeser titiknya ke Gendang Mesir yang diklaim menerima kehadiran proyek tersebut.

Namun, langkah tersebut tetap ditentang warga Nderu karena lokasi pengeboran di lingko milik Gendang Mesir berada di ketinggian yang curam, persis di atas perkampungan adat mereka.

“Lokasi pengeboran rawan longsor, berjarak sekitar 600 meter dan letaknya persis di atas kampung kami. Ini jelas-jelas berdampak pada keselamatan kami yang ada di bawahnya,” jelas Stefanus Baru dalam pertemuan itu.

Ia menjelaskan, di sekitar kampung Mesir terdapat banyak bekas longsor.

“Itu terjadi saat belum ada pengeboran, apalagi jika ada pengeboran geothermal,” lanjutnya. 

JPIC-SVD Siap Dampingi

Merespons permintaan warga, Pater Simon Suban Tukan,  Koordinator JPIC SVD Ruteng  menyatakan dalam pertemuan itu kesiapannya untuk mengadvokasi aspirasi mereka. Ia menyebut penolakan warga tersebut sebagai hal yang sangat logis dan mestinya didengarkan oleh pemerintah.

“Jika proyek itu dipaksakan, risikonya tinggi sekali. Risiko kerusakan sangat tinggi. Secara ekologis [proyek itu] tidak mendukung kehidupan mereka,” katanya. 

Topografi kawasan Poco Leok, papar Simon, berada pada kemiringan yang curam dengan kondisi tanah sangat labil sehingga menjadi langganan longsor setiap musim hujan.

“Dua titik yang saat ini menjadi lokasi pengeboran letaknya sangat dekat dengan pemukiman, berada di ketinggian dengan pemukiman warga, lahan pertanian, pemakaman leluhur, dan mata air ada di bawahnya,” ungkapnya. 

Menentang anggapan yang sering kali disampaikan pemerintah, imam tersebut mengatakan “geothermal tidak ramah lingkungan.”

“Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, pemerintah bisa gunakan tenaga air, panas matahari, angin, atau gelombang laut. Jika alasannya karena biaya mahal, toh geothermal juga biayanya sangat mahal dan risikonya lebih tinggi,” katanya.

Dalam acara di Lungar pada November 2022, Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Setda Manggarai, Yosep Mantara sempat merespons kecemasan soal dampak proyek itu, dengan menyebut bencana atau kecelakaan merupakan hal biasa dan utamanya karena faktor alam, bukan semata-mata karena adanya pengeboran geothermal. 

“Kecelakaan itu bisa saja terjadi,” katanya. “Tanpa ada pembangunan pun terjadi gempa bumi, terjadi longsor. Itu kan alam.”

Sementara Ali Ashat, ahli geothermal dari Institut Teknologi Bandung [ITB] yang dihadirkan oleh PT PLN membeberkan potensi bencana berdasarkan studi pada sejumlah proyek geothermal,  seperti banjir bandang, gempa bumi, kekeringan, gunung api, likuifaksi, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, serta longsor.

Namun, senada dengan Yosep Mantara, ia mengatakan bencana seperti itu sering terjadi tanpa harus ada pengeboran geothermal. 

“Daerah Indonesia itu mau ada kegiatan atau enggak ya gempa,” ujarnya sambil menyebutkan sejumlah contoh bencana, termasuk gempa di Cianjur, Jawa Barat baru-baru ini.  

Khusus untuk kawasan Poco Leok, ia tidak memberikan jawaban pasti apakah tidak akan berpotensi bahaya untuk lingkungan dan warga sekitar. Namun, ia mengklaim potensi bencananya tidak seberapa jika proyek geothermal berjalan. 

“Kecil potensi terjadinya. Jawabannya kira-kira begitu karena bisa aja berapa ribu tahun yang akan datang, ini berubah. Bisa aja. Jadi kita nggak boleh mengatakan pasti,” katanya.

“Banyak hal yang kita harus akui di luar kendali kita,” tambahnya.

Belajar dari Peristiwa di Tempat Lain

Sementara pemerintah tidak memberikan garansi bahwa proyek itu tidak akan membawa bencana, warga tetap ragu dengan keselamatan masa depan mereka.

Paulus Garing [69], Tu’a Gendang Cako mengatakan, awalnya tak mau peduli dengan kehadiran proyek itu karena titik pengeborannya berada di lingko milik gendang lain. 

“Toh lokasi itu bukan lahan milik kami. Begitu pikiran kami dulu. Kami belum memikirkan dampaknya karena mereka [PT PLN] datang omong baik-baiknya saja,” katanya. 

Paulus Garing, Tu’a Gendang Cako. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Namun, perlahan-lahan muncul kesadaran akan adanya ancaman bahaya, apalagi lokasi pengeboran hanya berjarak 200 meter dari Gendang Cako.

Pengalaman warga Desa Wewo di sekitar PLTP Ulumbu yang harus mencium udara kotor, gas beracun, dan atap rumahnya cepat berkarat; serta pengalaman warga Mataloko, Kabupaten Ngada yang tiba-tiba muncul semburan lumpur dan gas, cukup baginya untuk menolak kehadiran proyek tersebut. 

“Dengan jarak yang sangat dekat itu, kami pasti hirup udara dengan gas beracun. Atap rumah kami pasti cepat karat. Belum lagi jika lubang yang mereka bor itu gagal lalu tiba-tiba ada semburan gas atau lumpur panas di wilayah kami. Itu sebabnya kami tolak proyek itu meskipun berada di lingko milik gendang lain,” katanya. 

Yudi Onggal [29], pemuda Gendang Lungar mengatakan, tidak percaya lagi dengan janji-janji kesejahteraan yang selalu dipakai PLN untuk memengaruhi warga, mulai dari mempekerjakan warga lokal hingga program-program pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan. 

“Tidak perlu jauh-jauh kita mencari contohnya. Secara kasat mata, apa yang membedakan kesejahteraan warga Desa Wewo yang selama ini sudah beroperasi [pembangkit listrik] Geothermal Ulumbu dan desa-desa lainnya di Poco Leok?” ujarnya.

Sementara Pastor Simon mengatakan, kerusakan lingkungan yang terjadi di Mataloko dan sekitar Ulumbu sudah cukup menjadi bahan pelajaran bagi masyarakat Flores untuk menolak kehadiran proyek geothermal.

Ia juga mengkritik penetapan Flores sebagai pulau geothermal, yang ia sebut “sebagai upaya mempercepat kehancuran ruang hidup orang Flores.”

“Bayangkan pulau sekecil ini dibor di mana-mana. Mulai dari Nunang [Wae Sano], Ulumbu dan sekarang melebar ke Poco Leok, lalu Mataloko, Sokoria, Sikka, hingga Flores Timur. Semua panas buminya dibor. Rusak Flores ini,” katanya. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga