Floresa.co – Sikap berbeda dari salah seorang hakim di Pengadilan Tinggi NTT yang menyebut bahwa terpidana dalam kasus Terminal Kembur di Manggarai Timur tidak bersalah dan mesti dibebaskan menguatkan pihak keluarga untuk menempuh proses hukum lebih lanjut.
Dalam putusan terhadap upaya banding salah satu terpidana, Benediktus Aristo Moa, Pengadilan Tinggi NTT menyatakan “menguatkan Putusan PN Tipikor Kupang” dan menjatuhkan hukuman bagi Aristo yakni 2 tahun penjara serta membayar denda 100 juta rupiah. Putusan banding itu lebih berat dari Putusan PN Tipikor Kupang, di mana Aristo divonis hukuman 1,6 tahun penjara serta membayar denda 100 juta rupiah.
Meski demikian, Anshori, salah satu dari tiga hakim yang mengadili perkara itu menyatakan bahwa Aristo tidak bersalah, sehingga harus dibebaskan dari hukuman.
Hakim Anshori menyoroti unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” yang menjadi salah satu pertimbangan hakim PN Tipikor Kupang untuk menjatuhkan hukuman penjara terhadap Aristo.
Menurutnya, fakta persidangan telah berhasil mengungkapkan fakta hukum bahwa objek tanah Terminal Kembur adalah tanah milik Gregorius Jeramu, warga yang juga sudah menjadi terpidana dalam kasus itu.
Hal itu, kata Anshori, berdasarkan keterangan saksi batas, penguasaan fisik lebih dari 20 tahun, dan sekarang sudah bersertifikat atas nama Pemda Manggarai Timur yang membuktikan bahwa asal usul kepemilikan atas tanah tersebut dapat dinilai benar atau tidak bermasalah atau tidak diklaim pihak lainnya.
Anshori menyatakan Penuntut Umum tidak dapat membuktikan tanah itu adalah tanah bermasalah atau tanah milik negara, bukan tanah perorangan milik Gregorius.
Ia menambahkam bahwa kesalahan Aristo hanya terkait administrasi karena ketidakcermatan, bukan karena penyalahgunaan wewenang.
Aristo yang merupakan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan [PPTK’ pengadaan tanah Terminal Kembur pada 2012. Ia dinyatakan bersalah karena tidak meneliti status hukum tanah tersebut yang dibeli dari Gregorius itu. Gregorius hanya mengantongi Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan [SPT PBB] sebagai alas hak, bukan sertifikat.
Paskalis Baut, salah satu penasehat hukum Aristo mengatakan pertimbangan Hakim Anshori tersebut “menunjukan integritas yang kuat terhadap terciptanya keadilan.”
“Beliau tidak takut untuk membebaskan terdakwa dalam perkara korupsi bila memang [menurut] fakta persidangan tidak bersalah,” katanya.
“Integritas yang dimiliki oleh Hakim Anshori ini belum tentu dipunyai oleh yang lainnya yang cenderung ‘cari aman’ dalam mengadili perkara korupsi demi peningkatan karir,” katanya.
Paskalis mengatakan Aristo mengajukan keberatan terhadap putusan Pengadilan Tipikor Kupang karena putusan tersebut tidak sesuai fakta persidangan.
Aristo, kata dia, dibebankan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
“Aristo hanya sebagai PPTK, tetapi dibebani pertanggungjawaban hukum seolah olah sebagai tim pengadaan tanah,” katanya.
Ia juga menyebut, dalam putusan PN Tipikor Kupang, “tidak ada fakta yang dijadikan dasar oleh hakim bahwa tanah yang dijual oleh Gregorius adalah tanah milik negara atau milik orang lain.”
Meski faktanya demikian, lanjutnya, hakim menyimpulkan bahwa tanah yang diklaim oleh Gregorius diragukan sebagai miliknya, sehingga Aristo dan Gregorius harus dipenjara.
“Pertimbangan hakim Tipikor tersebut diamini oleh dua hakim di Pengadilan Tinggi Kupang, sehingga hakim Anshori kalah di dalam musyawarah,” katanya.
Ia menyatakan, “pertimbangan hakim Anshori yang berdasarkan kebenaran yang hakiki dikalahkan oleh kebenaran yang abu abu.
Sebagai penasehat hukum, katanya, ia harus taat dengan putusan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut, “walau kami tidak menghormatinya.”
Jefry Moa, perwakilan keluarga Aristo mengatakan, mereka bersama masyarakat adat dan pecinta keadilan telah berjuang mencari keadilan sejak awal kasus ini bergulir.
“Suara-suara kami untuk mencari keadilan telah sampai dimana mana dan kami kira sudah sampai juga ke hakim-hakim itu,” katanya.
Ia mengatakan bingung dengan kasus ini karena “dengan logika yang sangat sederhana saja bisa melihat dengan terang benderang bahwa tidak ada masalah dalam pengadaan lahan.”
“Kendatipun jaksa dan hakim melihat ada masalah dalam pengadaan lahan, mestinya mereka tahu siapa yang mesti bertanggung jawab,” katanya.
Aristo, kata dia, hanyalah pegawai kecil yang baru lulus PNS pada tahun 2012.
“Perannya pun hanya mengetik surat dan menyiapkan dokumen yang diatur dan diarahkan atasan-atasannya,” katanya.
Jefry mengatakan, mereka akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dengan harapan “barangkali ada celah keadilan yang masih tersimpan di hati hakim-hakim ini dengan bekerja secara profesional dan obyektif melihat fakta-fakta yang ada.”
“Sebagai keluarga, kami tetap berjuang mencari keadilan bagi kakak kami,” ujarnya.
Kasus Terminal Kembur mulai diselidiki Kejaksaan Negeri Manggarai pada awal 2021, setelah ramainya pemberitaan media massa terkait kondisi bangunannya yang rusak dan tidak difungsikan.
Dalam penyelidikan itu, jaksa memeriksa 25 orang saksi, termasuk Fansi Jahang dan Gaspar Nanggar, dua orang yang menjabat sebagai Kepala Dinas dan Kepala Bidang Angkutan Darat pada Dinas Perhubungan dan Informatika Manggarai Timur saat pembangunan terminal tersebut.
Selain itu, mantan Bupati Yoseph Tote serta kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.
Jaksa kemudian hanya mengusut terkait pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan fisik terminal belum tersentuh sampai saat ini.