Floresa.co – Pembangunan sebuah hotel dan resor di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat yang diduga membabat hutan mangrove tetap dilanjutkan, kendati mendapat sorotan publik dan polisi sempat mengklaim melakukan penyelidikan.
Pantauan Floresa di lokasi pembangunan Hotel dan Resor Wae Watu di pesisir Pantai Ketentang, Desa Batu Cermin itu, pekerja masih beraktivitas.
Pada 18 Oktober siang, mereka terlihat sedang membangun pagar seng untuk menutup lokasi pembangunan. Pagar itu kira-kira setinggi satu meter.
Lokasi pembangunan berada di sisi jalan raya dari Labuan Bajo ke wilayah di arah selatan. Ketinggian pagar seng membuat pembangunan tak terlihat dari jalan raya, kecuali jika mendekati kawasannya.
Di lahan itu berdiri sebuah bangunan yang, dari sisi jalan raya, tampak dikelilingi hutan mangrove. Bangunan itu berjarak sekitar empat meter dari bibir pantai.
Tarsius [35], salah seorang pekerja mengungkapkan, “polisi sering mendatangi lokasi” tersebut sejak bangunan mulai dikerjakan.
Kendati begitu, pengerjaan tetap dilanjutkan karena “perwakilan perusahaan mengaku mereka sudah kantongi izin.”
Pada plang yang berada di sisi jalan raya tertulis: “Tanah Milik PT KNM,” merujuk pada PT Karya Nusa Mahardika, disertai kode Sertifikat Hak Milik.
Sorotan terhadap pembangunan hotel dan resor itu mencuat sejak akhir September 2023, kala sejumlah media massa memberitakan dugaan pembabatan hutan mangrove.
Beberapa di antaranya mengutip pernyataan Kapolres Manggarai Barat, AKBP Ari Satmoko yang mengklaim “telah memerintahkan penyelidikan.”
Floresa meminta konfirmasi Polres Manggarai Barat terkait perkembangan penyelidikan dugaan itu.
Namun, Kepala Seksi Humas Polres Manggarai Barat, Iptu Eka Dharma Yudha merespons; “Kami tidak bisa memberikan keterangan terkait kasus ini.”
Sementara itu, Anton Indradi, kuasa hukum PT KNM mengklaim “tak ada polisi yang selidiki PT KNM” dan membantah dugaan kliennya telah membabat hutan mangrove.
“Tak ada pembabatan mangrove sejak awal pembangunan di sini,” katanya, meski menurut pantauan Floresa, wilayah kiri-kanan bangunan itu berupa hutan mangrove.
“Perizinan kami beres dan pembangunan tetap dilanjutkan,” katanya ketika ditemui Floresa di lokasi pada 18 Oktober.
Selain bersikeras pembangunannya tak menyalahi aturan, ia juga memprotes pemberitaan media yang ia klaim “tidak berimbang.”
“Kenapa PT KNM saja yang disebut, sedangkan banyak pembangunan di sekitar sini? Apa cuma kami yang diduga membabat mangrove?”
Menurut Anton, “pemberitaan media yang bias” membuat lokasi pembangunan kliennya didatangi perwakilan dari beberapa institusi, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan NTT.
Di lokasi pembangunan, menurut Anton, perwakilan dari jajaran institusi tersebut memastikan betul atau tidaknya mereka membabat mangrove.
“Kami sudah klarifikasi bahwa kami tidak membabat mangrove. Tidak ada masalah,” katanya.
Ketika Floresa melihat lokasi pembangunan dari sisi jalan raya, tampak beberapa pohon mati di sekitarnya. Tidak bisa dipastikan apakah itu mangrove, yang dapat teridentifikasi dari bentuk akar tunjangnya.
Dugaan pembabatan hutan mangrove oleh PT KNM turut menjadi perhatian Indonesia Ocean Justice Initiative [IOJI], wadah pemikir [think tank] dan advokasi kebijakan tata kelola kelautan berkelanjutan berbasis Jakarta.
Karenina Lasrindy, Program Manager IOJI menggarisbawahi perizinan yang diklaim telah dikantongi PT KNM.
Jika mereka memang sudah mengantongi izin, kata Karenina kepada Floresa, “sudahkah sesuai dengan peraturan tata ruang wilayah?”
Anton menyebut “perizinan pembangunan PT KNM sudah lengkap,” namun ketika ditanya tentang dinas-dinas apa saja yang menerbitkan perizinan tersebut, ia menjawab: “Saya tetap pada pernyataan semula.”
“PT KNM telah memiliki seluruh izin yang diperlukan untuk melakukan pembangunan,” katanya.
Ia “meminta pihak-pihak lain jangan mengklaim PT KNM tak memiliki izin pembangunan” dan menyebut klaim yang tak berdasar “dapat dikategorikan sebagai fitnah dan atau pencemaran nama baik.”
Karenina menyatakan perizinan pembangunan di wilayah hutan mangrove harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang diatur lewat Undang-Undang [UU] Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
UU tersebut menjadi salah satu dasar perlindungan ekosistem mangrove yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW].
Perlindungan mangrove juga diatur melalui tiga rezim hukum lainnya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Perlu dicari tahu aturan perlindungan mangrove di Manggarai Barat untuk menghindari pengrusakan terhadap ekosistemnya,” kata Karenina.
Ia juga menyoroti mangrove yang dengan mudahnya dipindahtanamkan demi alih fungsi ekosistem.
Praktik tersebut, kata Karenina dapat mendorong “pelepasan karbon yang sangat besar” yang memicu dampak berlapis, baik bagi lingkungan hidup maupun manusia.
Beberapa di antaranya, kata dia, adalah kenaikan suku yang mendorong cuaca ekstrem, mengusik kehidupan biota laut, mengurangi pasokan air bersih serta mempercepat penyebaran penyakit menular.