Floresa.co – Yan Faroka disebut berada di lingkungan Pengadilan Negeri Sikka saat delapan umatnya mulai disidang pada 15 Januari.
Hakim mengakhiri sidang pertama dengan pengumuman: sidang berlanjut 22 Januari dengan agenda pembacaan eksepsi.
Di tengah-tengah pembacaan eksepsi, ekskavator merobohkan sekitar 120 rumah warga adat di Nangahale.
Romo Robertus Yan Faroka melayani umat di Stasi Santa Theresia Nangahale sejak Mei 2024.
Ia mengaku memvideokan perusakan papan sertifikat PT Kristus Raja Maumere yang berujung pada persidangan delapan umatnya.
Korporasi yang dikenal sebagai PT Krisrama itu dimiliki Keuskupan Maumere.
“Yan duduk di pendopo pengadilan selama sidang pertama berlangsung,” kata Antonius Yohanes “John” Bala, ketua tim kuasa hukum delapan warga adat.
Pendopo itu, katanya, berada di depan ruang sidang.
Letak pendopo membuatnya “dapat melihat beberapa peserta sidang mondar-mandir dari bangku mereka dan tempat Yan duduk.”
John “menduga Yan mengetahui jadwal sidang berikutnya.”
Floresa berusaha meminta konfirmasi Yan terkait kehadirannya di lingkungan pengadilan pada 15 Januari.
Ia tak merespons pesan WhatsApp berulang yang terkirim selama empat hari berturut-turut sejak 29 Januari.
Tiga hari sebelumnya ia menyatakan penggusuran yang bersamaan pembacaan eksepsi “hanya kebetulan.”
“Hexa Saya Rusak!”
Tetua selalu mendampingi delapan anggota komunitas mereka dalam persidangan.
Begitu pula pada 22 Januari.
Selagi para pemimpin adat dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di pengadilan, “hanya ada lansia, perempuan dan anak-anak di kampung.”
Kondisi tersebut, kata John, “membuat perlawanan tidak cukup kuat.”
Yan menyebut “perlawanan hari itu hanya terjadi di rumah pertama yang ‘kami datangi,’” katanya mengacu pada hunian Antonius Toni.
“Sisanya menerima,” kata Yan tanpa menjabarkan apa yang ia maksud “menerima.”
Anton merupakan Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Flores Bagian Timur.
Selain melayani sebagai pastor stasi, Yan menjabat direktur operasional Krisrama sekaligus direktur PT Langit Laut Biru, perusahaan penyedia mesin pertanian.
“Pembersihan 22 Januari bukan sesuatu yang tiba-tiba,” katanya.
“Telah lima kali kami meminta pemerintah daerah memfasilitasi pembersihan,” kata Yan pada 26 Januari, “lantaran ada saja halangannya pada hari terjadwal.”
Halangan yang ia sebut mulai Pemilu 2024, disusul Pilkada hingga pisah sambut Kapolres Sikka.
Ia mengaku “sudah menolerasi hingga 1,5 tahun” dari total waktu penyiapan lahan selama dua tahun.
“Bayangkan,” katanya, “kami tinggal punya waktu lima bulan. Kami harus gerak cepat.”
Ia berkali-kali menggunakan diksi “pembersihan.”
Ketika Floresa menanyakan alasannya menggunakan diksi itu ketimbang “perobohan hunian” yang nyata terjadi pada 22 Januari, ia menanggapi: “Memang pembersihan. Kami sebagai pemegang hak guna usaha berhak membersihkan lahan untuk, kelak, meremajakan pohon-pohon kelapa.”
Ditanya apakah ia mempertimbangkan manusia, yang ialah umatnya, hidup dalam hunian dan menghidupi diri dari tanaman yang digusur ekskavator, dengan suara meninggi Yan menjawab: “Mereka rusak alat saya! Hexa saya rusak!”
Hexa mengacu pada singkatan dari PT Hexindo Adiperkasa Tbk., produsen alat berat termasuk ekskavator.
Kepala Dinsos Bungkam
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] menyatakan penggusuran terhadap sekitar 120 rumah dan persidangan atas delapan warga adat di Nangahale merupakan dua kasus yang tak terpisahkan.
Ketua Umum PPMAN, Syamsul Alam Agus menegaskan rentetan peristiwanya “tak hanya soal konflik tanah, melainkan juga keberlanjutan masyarakat adat.”
“Pemerintah harus hadir sebagai pelindung masyarakat adat, bukan menjadi pendukung korporasi yang mengabaikan keadilan sosial,” kata Alam.
Karenanya, “kami mendesak transparansi dan keberpihakan pemerintah pada warga adat yang selama ini menjaga tanah mereka dengan penuh tanggung jawab.”
Desakan Alam muncul di tengah-tengah absennya pemerintah daerah pascapenggusuran 22 Januari.
Warga masih bertahan di tenda-tenda darurat. Mengandalkan bantuan dari sejumlah komunitas, mereka mempertanyakan pemerintah daerah yang tak juga hadir di Nangahale.
Floresa menghubungi Kepala Dinas Sosial, Rudolfus Ali pada 30 Januari.
Hari itu ia berjanji akan mengecek dan memberikan nomor Peraturan Menteri Sosial [Permensos] yang membuat institusinya tak juga turun tangan.
“Perihal bantuan sosial yang dapat kami berikan itu tercakup dalam Permensos Nomor 1 Tahun 2009,” katanya.
Permensos itu mengatur tentang penyaluran belanja bantuan sosial.
Ditanya bagian mana dari Permensos itu yang menegaskan ketidakhadiran dinasnya di Nangahale selagi Kementerian Sosial hadir pascakonflik di Adonara Barat, Rudolfus tak juga menjawab.
Floresa kembali menanyainya pada 31 Januari dan 1 Februari. Rudolfus tak menjawab hingga berita ini diterbitkan.
Editor: Herry Kabut