ReportasePeristiwaAlumni dan Mahasiswa Kampus di Belanda Bersolidaritas dengan Warga Poco Leok, Kritik Model Kepemimpinan Nabit

Alumni dan Mahasiswa Kampus di Belanda Bersolidaritas dengan Warga Poco Leok, Kritik Model Kepemimpinan Nabit

Mereka menyebut tindakan Nabit tidak mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan almamaternya

Floresa.coAlumni dan mahasiswa dari kampus berbasis di Belanda yang juga menjadi tempat kuliah Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit menyatakan solidaritas terhadap warga Poco Leok yang terus mengalami intimidasi karena berjuang melawan proyek geotermal.

Mereka juga menyampaikan sejumlah kritikan terhadap Nabit karena model kepemimpinannya mengangkangi nilai-nilai yang diajarkan kampus.

Dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 6 Juni, alumni dan mahasiswa International Institute of Social Studies (ISS) itu menyatakan “kami bicara sebagai bagian dari komunitas akademik dan praktisi yang menolak ketidakadilan dan kekerasan atas nama pembangunan.”

“Sebagai pelajar dan lulusan institusi yang menjunjung pendekatan ilmu sosial yang kritis, keadilan sosial, partisipasi bermakna dan pembangunan yang tidak menyingkirkan kelompok rentan, kami merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan sikap dan solidaritas kami,” kata mereka.

Pernyataan itu diinisiasi dan disusun secara kolektif oleh sekelompok alumni dan mahasiswa ISS asal Indonesia yang “berpihak pada perjuangan warga Poco Leok untuk keadilan sosial-lingkungan.”

Para alumni dan mahasiswa merilis pernyataan itu sehari usai aksi unjuk rasa warga Poco Leok di Ruteng yang menyampaikan penolakan tegas dan tanpa syarat terhadap proyek ini. 

Dalam aksi tersebut, warga mendapat intimidasi dari kelompok massa tandingan yang dikerahkan dan diprovokasi oleh Nabit. Intimidasi itu membuat unjuk rasa berakhir lebih cepat demi menghindari bentrokan.

Sebelum mengerahkan massa yang berasal dari kelompok loyalisnya, Nabit yang mengaku tersinggung dengan isi orasi warga sempat berusaha menghadapi mereka di depan kantornya. Ia berusaha menerobos gerbang sebelum kemudian dihadang oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tak lama kemudian ia keluar kantor lalu membawa massa.

Sebagian warga Poco Leok berhasil langsung kembali ke kampung mereka. Namun, sebagian lagi sempat diamankan di kantor Polres Manggarai, sebelum kemudian pulang pada sore hari dengan pengawalan aparat.

Para mahasiswa dan alumni ISS menyatakan, tindakan Nabit “memperlihatkan penggunaan taktik pecah belah yang berpotensi memicu dan memperparah konflik horizontal–di samping juga bentuk represi terhadap warga yang menjalankan hak konstitusional mereka untuk menyatakan pendapat dan mempertahankan ruang hidup.”

Mereka mendukung aspirasi warga Poco Leok yang mendesak pencabutan Surat Keputusan Penetapan Lokasi Proyek (SK Penlok) yang dikeluarkan Nabit pada 1 Desember 2022 dan menjadi fokus desakan warga saat unjuk rasa itu.

Bagi para mahasiswa dan alumni ISS, proyek itu yang dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara dan didanai Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) “tidak memenuhi prinsip keadilan sosial-ekologis hingga prosedural.”

Mereka menyoroti penerbitan SK Penlok “tanpa konsultasi publik yang bermakna” dan upaya meloloskan proyek itu yang diwarnai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak atas tanah ulayat, termasuk pendekatan yang tidak transparan, intimidatif dan bersifat memecah belah.

Mereka pun mempertanyakan sikap Nabit yang tidak mencabut SK itu “meskipun warga dan Gereja Katolik di Flores telah menyampaikan penolakan secara konsisten dan terbuka.” 

Mereka merujuk pada sikap enam uskup yang pada Maret lalu menyatakan penolakan terhadap seluruh proyek geotermal di Flores. 

Bagi alumni dan mahasiswa ISS, hal ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran mendalam dengan proyek geotermal terhadap relasi sosial-ekologis dan hak-hak masyarakat adat, yang seharusnya menjadi pertimbangan Nabit.

Nabit Tidak Mencerminkan Nilai yang Diajarkan ISS

Mereka menambahkan, dengan statusnya sebagai bupati dan “anak adat Manggarai” sekaligus alumnus ISS, Nabit “memiliki posisi kuasa yang seharusnya digunakan untuk melindungi warga Poco Leok dan ruang hidup mereka.” 

“Sebagai institusi, ISS mengajarkan pendekatan kritis terhadap relasi kuasa yang tidak setara, partisipasi yang bermakna, serta keberpihakan terhadap masyarakat yang paling rentan dan terdampak oleh ketimpangan kebijakan pembangunan.”

Dalam konteks polemik geotermal Poco Leok, kata mereka, “kami tidak melihat nilai-nilai ini tercermin dalam kepemimpinan Bupati Nabit.”

“Ia menandatangani SK Penlok tanpa partisipasi bermakna warga, terlibat dalam upaya kriminalisasi, dan membenarkan pengerahan massa tandingan terhadap aksi masyarakat adat.”

Mereka mengingatkan bahwa “ini bukan bentuk kepemimpinan yang terinformasi oleh prinsip-prinsip ISS, melainkan cermin dari pembangunan yang mengeksklusi dan koersif.”

“Kami memahami bahwa kapitalisme dan pembangunan adalah persoalan nasional–bahkan global, dan pemimpin daerah seringkali bekerja dalam sistem birokrasi yang penuh tekanan dari pusat,” kata mereka.

Namun demikian, “sebagai sesama alumni dari institusi yang menjunjung keadilan sosial dan partisipasi bermakna, kami percaya bahwa selalu ada ruang untuk bertindak etis dan menghindari kekerasan–terutama terhadap mereka yang sudah terpinggirkan secara struktural.”

Mereka menyatakan tidak melihat ada upaya serius Nabit untuk membangun ruang alternatif yang berpihak kepada warga. 

Alumni dan mahasiswa juga mengungkap pernyataan Nabit dalam Grup Percakapan Daring Alumni ISS Indonesia bahwa ia telah “menjembatani komunikasi” dengan datang ke Poco Leok.

Namun, mereka menyatakan, justru ada kontradiksi dengan klaim itu karena kunjungan tersebut dilakukan setelah ia menandatangani SK Penlok yang ditolak warga.

“Lebih jauh lagi, warga Poco Leok telah berulang kali mengalami manipulasi dalam proses yang disebut sebagai ‘sosialisasi,’ di mana daftar hadir dipakai sebagai bukti persetujuan.”

“Dalam konteks ini, kewaspadaan dan penolakan keras warga adalah bentuk perlindungan diri yang sah terhadap praktik yang tidak transparan dan penuh tekanan,” kata mereka.

Dukung Tuntutan Warga

Karena itu, alumni dan mahasiswa ISS menyatakan dukungan terhadap tuntutan warga Poco Leok.

Selain mendukung pencabutan SK Penlok, mereka juga sejalan dengan aspirasi warga untuk menghentikan seluruh aktivitas proyek di wilayah tanah ulayat, intimidasi, kriminalisasi, dan praktik pecah-belah terhadap warga serta penghentian pendanaan oleh Bank KfW.

“Kami berdiri bersama komunitas adat Poco Leok yang mempertahankan Lampek Lima—ruang hidup yang melampaui batas administratif dan logika ekstraktif,” kata mereka.

Lampek Lima merujuk pada lima pilar kehidupan masyarakat Manggarai, mencakup  lingko atau lahan garapan, mata wae atau mata air, compang atau altar persembahan kepada leluhur, natas atau halaman kampung dan mbaru gendang atau rumah adat.

Dalam pernyataan itu, mahasiswa dan alumni ISS juga mengajak rekan mereka dari berbagai generasi dan wilayah untuk “bersuara bersama dan menegaskan kembali komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial.”

“Ini bukan sekadar isu lokal. Apa yang terjadi di Poco Leok mencerminkan tantangan dan perjuangan nyata untuk mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan,” kata mereka.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA