Floresa.co – Lebih dari dua dekade lalu Yos Keraf bekerja pada perusahaan asuransi di Timor Timur ketika terjadi gejolak yang berujung pada kemerdekaan wilayah itu.
Pada 1999, saat konflik kian memanas, ia angkat koper menuju Kupang, meninggalkan daerah yang kemudian berubah nama jadi Timor-Leste pasca merdeka.
Konflik memang memicu Yos diberhentikan dari jabatannya pada bagian administrasi merangkap kepala keuangan di Jiwa Buana Putra, perusahaan asuransi tempatnya bekerja belasan tahun di Dili.
Di Kupang, ia bekerja serabutan, sebelum pada 2004 “pulang ke lewo,” sebutan untuk kampung dalam Bahasa Lamaholot.
Lewo Yos berada di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Ia sempat bekerja di perusahaan milik pemerintah daerah sebelum berhenti enam tahun kemudian.
Tidak Patah Semangat
Pada 2010, Yos memilih beralih menjadi petani, mata pencaharian yang ia yakini akan “cukup membiayai sekolah anak-anak.”
Kala itu “peminat sayur belum sebanyak sekarang,” kata lelaki 63 tahun itu.
Yos membuka hutan liar di belakang rumah, yang sebagian ia rombak menjadi kebun hortikultura berukuran 20×20 meter.
Menyadari belum berbekal pengalaman bertani, ia bergabung dalam Kelompok Tani Tunas Harapan.
Lewat kelompok itu, ia bisa mengakses bantuan modal Rp15 juta dari Dinas Pertanian Lembata.
Modal itu ia manfaatkan untuk membeli pompa, bibit serta membuat sumur.
Dibantu istrinya Kornelia Bauana, mula-mula ia menanam kacang-kacangan.
Namun, tanaman pertama itu terserang hama sebelum sempat dipanen.
Memilih tak patah arang, Yos menggantinya dengan sayur-mayur.
Kangkung, sawi, cabai dan terung memenuhi kebun Yos, yang perlahan menjadi pemasukan bagi keluarganya hingga hari ini.
Gunakan Pupuk Alami
Yos selalu berusaha mengadopsi pola pertanian tradisional yang “membantu tanah tetap lembab.”
Kondisi tanah demikian membuat sayur tumbuh optimal, pengetahuan yang juga mendorongnya mengolah pupuk secara mandiri berbahan dasar daun gamal kering.
Untuk pestisida, ia membuatnya dari perpaduan cabai, bawang merah, bawang putih dan sedikit sabun cair.
Dari semua sayur-mayur, Yos mengaku secara kontinu menanam kangkung.
Ditanam di enam bedeng yang masing-masing terbagi atas 14 baris, hortikultura itu menjadi andalannya setelah “melihat minat warga yang tinggi akan kangkung.”
Dalam sebulan, pendapatannya dari enam bedeng itu Rp5 juta.
Memahami kian banyak pelanggan menggunakan ponsel, ia lalu mengajak seorang menantunya membantu penjualan berbasis daring.
Rosa Ruing, menantu Yos berkata, ia menjual seikat kangkung secara daring Rp5 ribu.
Bertahan di Tengah Persaingan Pasar
Pada lima tahun awal merintis usahanya, Yos berkata tidak banyak pesaing.
Namun, perubahan terjadi sejak 2015 saat Lembata di bawah kepemimpinan Bupati Eliaser Yentji Sunur.
Pedagang dari luar Pulau Lembata berdatangan ke Lewoleba membawa aneka jenis sayuran, bibit sembari menawarkan harga yang lebih murah, katanya.
Fenomena itu “turut memperketat persaingan pasar pertanian Lembata.”
Meski begitu, ia tak lantas memilih mundur. Yos memilih “semakin serius merawat kebun hortikultura.”
Ketekunannya “berbuah manis, seiring pertambahan pelanggan borongan di Pasar Pada, Lewoleba.”
Dinilai berkualitas dan tanpa campuran pestisida, sejumlah pejabat juga berlanggan sayur kepadanya.
Salah satunya adalah Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali.
“Pemasak di rumah dinas bupati biasa memesan olahan sawi dari kebun kami.”
Yos berkata, hasil panen hortikultura selama 14 tahun terakhir “menopang saya menyekolahkan empat anak.”
Semuanya kuliah dan kini telah bekerja.
“Satu orang tinggal dan bekerja di Australia,” katanya.
Baginya, “nafkah tak selalu didapat dari kerja kantoran.”
Kebun sayur pun mampu menghasilkan uang, kata Yos, asal “tekun dan sabar merawatnya.”
Editor: Anastasia Ika