Oleh: Hendrika Mayora Viktoria
Nama saya Hendrika Mayora Viktoria. Saya lahir di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Saat saya berusia enam bulan, keluarga kami pindah ke Merauke, Papua dan menetap di sana hingga kini.
Sekarang, saya bekerja sebagai Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka.
Saya juga menjadi pendiri organisasi Fajar Sikka, yang fokus pada pendampingan dan advokasi hak-hak kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer [LGBTIQ] di Kabupaten Sikka.
Saya lahir di keluarga Katolik yang heteronormatif dan memegang teguh budaya patriarki.
Heteronormatif adalah pandangan yang menganggap jenis kelamin biologis, seksualitas, identitas gender, dan peran gender harus selaras.
Dengan cara pandang seperti ini, bagi keluarga saya, seorang yang mempunyai penis berarti orientasi seksualnya haruslah laki-laki.
Pandangan heteronormatif yang kuat membuat saya sangat sulit menjadi diri saya.
Sementara budaya patriarki yang kuat membuat saya sulit menjadi seorang pribadi seutuhnya.
Keluarga saya berprinsip, seorang laki-laki haruslah macho, berbadan kekar, mempunyai kumis dan janggut.
Padahal, jauh di dalam diri saya, saya merasa sekaligus mengidentifikasi diri, secara jiwa dan rasa, sebagai seorang perempuan.
Ini setidaknya saya alami dari sejarah panjang perjalanan hidup saya.
Pada masa kecil, saya sudah merasakan perbedaan antara jenis kelamin dan orientasi seksual.
Minimal, ketika teman-teman laki-laki saya main sepak bola atau hal lainnya yang berhubungan dengan aktivitas kelaki-lakian. Saya tidak merasa tertarik.
Lalu, ketika masa pubertas, teman-teman laki-laki saya senang sekali membicarakan hal-hal yang erotis mengenai tubuh perempuan ataupun fantasi seksual dengan lawan jenis.
Lagi-lagi, saya tidak merasa tertarik untuk membicarakannya.
Pada masa-masa itu, saya dikenal sebagai pribadi yang ngondek atau seorang laki-laki yang feminin.
Perihal ini pun saya terus rasakan ketika saya masuk ke seminari, tempat saya berusaha mengikuti jalan Tuhan untuk menjadi rohaniwan Katolik.
Jiwa dan rasa yang saya miliki tetaplah seorang perempuan.
Selama di seminari, sekolah khusus yang semua muridnya laki-laki , saya lebih senang membantu ibu-ibu di dapur memasak.
Memutuskan Terbuka
Seiring perjalanan waktu, dengan dinamika pergulatan yang terus terjadi, saya pada akhirnya tidak dapat memungkiri lagi rasa dan jiwa yang terpenjara ini.
Titik baliknya terjadi lebih dari tiga dekade setelah saya lahir ke dunia.
Saat itu saya berusia 32 tahun; dan saya merasa saatnya jujur dengan diri sendiri.
Saya memilih meninggalkan identitas sebagai seorang rohaniwan, lalu pergi ke Yogyakarta untuk memulai kehidupan yang baru.
Mengapa pergi jauh? Yang terpikirkan waktu itu adalah bagaimana saya bisa sedapat mungkin menjaga jarak dari situasi yang membelenggu.
Kala itu, saya mulai mengidentifikasi dan mendeklarasikan diri sebagai perempuan, meski belum berdandan layaknya seorang perempuan.
Di Yogyakarta, beruntung saya belajar dari seorang transpuan yang biasa dipanggil Mami Ruli. Ia aktivis yang juga menampung para transpuan di kota pelajar itu.
Di sanalah, dari Mami Ruli, saya belajar bahwa tidak ada salahnya untuk benar-benar menjadi seorang perempuan seutuhnya.
Dari pengalaman perjumpaan dan berbagi pengalaman dengannya, saya lalu memutuskan untuk mulai berpenampilan sebagai seorang perempuan.
Jadi, saya tidak lagi hanya mengakui bahwa diri saya adalah perempuan, tetapi juga mengenakan busana perempuan.
Keputusan itu saya anggap sebagai salah satu titik amat penting dalam hidup saya, tanda bahwa saya menerima diri apa adanya.
Stereotip, Perundungan dan Persekusi
Perjalanan selanjutnya setelah keputusan itu ternyata tidak mudah.
Minimal ada tiga kata yang terus menemani langkah saya sebagai seorang transpuan; stereotip, rundungan, dan persekusi.
Stereotip yang melekat berhubungan dengan masa lalu dan juga asal saya.
Stereotip pertama berkaitan dengan situasi heteronormatif dan juga budaya patriarki.
Sebagaimana tersemat di dalam kisah kehidupan saya, istilah ngondek, baik sebagai julukan ataupun ejekan terhadap ekspresi feminin, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Padahal, apa salahnya ketika saya jujur dengan identitas gender yang saya miliki?
Stereotip kedua adalah sebutan bahwa saya adalah seorang “rohaniwan” yang tersesat di jalan yang terkutuk.
Saya juga ingat dengan suatu rumor di tempat asal saya bahwa saya telah mengalami kemalangan dengan mengamen di Yogyakarta karena meninggalkan panggilan ilahi.
Di sisi lain, kehidupan sebagai seorang transpuan tidaklah menjanjikan.
Walaupun saya mempunyai ijazah, saya tidak bisa menggunakannya karena identitas baru itu.
Melacurkan diri bisa dikatakan sebagai salah satu dari sedikit pilihan yang saya miliki.
Namun, untuk melacurkan diri pun, saya tidak bisa karena saya dianggap tidak cantik.
Konsep kecantikan yang mengharuskan “cantik adalah putih” membuat saya tidak bisa mendapatkan klien.
Konsep itu tak cuma datang dari eksternal. Beberapa rekan dari komunitas transpuan pun dengan jelas berkata kepada saya: “cantik itu putih.”
Tersirat, ia ingin mengatakan bahwa ketika saya memilih untuk menjadi seorang transpuan, saya tetap tidak bisa menjadi seorang perempuan yang, menurut mereka, cantik.
Mengapa ia bisa berkata begitu? Salah satu alasannya adalah karena saya berasal dari Papua. Seringkali saya dikatai bau, kendati saya tidak merasa demikian.
Seiringan dengan berbagai stereotip-stereotip itu, perundungan demi perundungan pun saya alami.
Berbagai perundungan saya dapatkan dari masyarakat yang masih sangat heteronormatif, rasis [menganggap rendah orang dari Timur], dan sangat patriarki.
Kekurangpahaman banyak pihak terhadap isu gender memperparah situasi ini.
Kata-kata yang pernah keluar dari mulut orang-orang yang merundung saya tak terbatas bahwa saya “tidak normal, penghianat dan terkutuk.”
Perundungan ini menyiratkan bahwa saya tidak mendapatkan ruang untuk mengekspresikan diri di dalam masyarakat yang heteronormatif, rasis dan juga patriarkis.
Saya serentak mengalami keterpurukan. Sebelumnya saya mendapat posisi yang terhormat sebagai seorang biarawan. Namun, karena pilihan yang saya ambil, saya masuk ke dalam situasi termarjinalkan di dalam masyarakat.
Seketika, saya menjadi bagian dari kelompok yang paling rentan.
Bisa dikatakan bahwa ini adalah masa-masa kegelapan bagi saya.
Terakhir, kata yang lekat dengan kehidupan saya adalah persekusi.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya perlu mengamen di jalanan Yogyakarta. Tentu, menjadi pengamen dengan identitas transpuan tidaklah mudah.
Saya pun sempat mengalami kekerasan yang membuat tangan kiri saya patah. Pelakunya oknum berseragam. Saya harus menjalani operasi pemasangan pen.
Bagi saya, kekerasan yang dilakukan oleh oknum ini menggambarkan bagaimana negara dengan sadar melakukan kejahatan kepada komunitas rentan, seperti kami transpuan.
Sebuah Permenungan
Tentu, tiga kata di atas mempunyai dampak besar terhadap diri saya.
Pertama, sterotip yang saya terima di dalam jangka waktu lama, bahkan hingga kini, membuat saya memikirkan kembali makna kehidupan saya.
Stereotip yang saya terima juga membuat saya mempunyai semacam mekanisme pertahanan diri yang berujung kepada pembohongan diri.
Saya jadi teringat pernah mengikuti kegiatan bela diri Taekwondo hanya untuk membuktikan bahwa saya adalah seorang laki-laki.
Saya juga pernah sengaja menumbuhkan jenggot dan kumis untuk membuat saya terlihat sebagai seorang laki-laki.
Saya juga pernah sengaja berkelahi dengan orang lain untuk memberikan citra bahwa saya adalah seorang yang macho, seorang lelaki tulen.
Namun, jauh di lubuk terdalam hati saya, saya tahu bahwa saya membohongi diri.
Perundungan yang sering saya terima juga membuat saya merasa berdosa dan merasa malu. Saya berusaha membohongi diri sendiri dengan tidak mengakui identitas saya.
Kekerasan lewat persekusi yang saya alami membuat saya tersadar akan kerasnya realitas kehidupan yang saya alami.
Seringkali saya ingin menyerah pada keadaan dengan menjadi “normal” di dalam pandangan orang lain.
Penolakan yang saya alami pun saya rasakan dari komunitas gereja. Selama beberapa tahun saya tidak pernah ke gereja.
Mengapa? Karena yang saya dapatkan ketika ke gereja hanyalah tatapan sinis dan penolakan.
Bagaimana saya menempatkan pengalaman-pengalaman ini dalam ruang refleksi sebagai seorang transpuan, yang hingga kini memilih tetap beragama; sebagai Katolik?
Pertama, sebagai wujud perlawanan terhadap pandangan heteronormatif dan juga budaya patriarki yang ada di tengah-tengah masyarakat, saya percaya bahwa kami, transpuan, adalah juga gambar dan citra Allah di dunia ini.
Kami diciptakan dengan potensi dan juga kemampuan sebagai citra Allah. Dengan menyadari bahwa saya adalah citra Allah, lahir di dunia sebagaimana saya adanya, maka saya pun berharga di mata Allah.
Saya adalah sama-sama berharga, sama-sama sebagai citra Allah, dengan sesama manusia yang lahir dan diciptakan dengan identitas sebagai heteroseksual.
Pandangan-pandangan yang membuat saya seakan-akan lebih rendah, bagi saya, muncul karena kuatnya budaya patriarki dan pandangan yang heteronormatif.
Dengan memegang prinsip seperti ini, saya mempunyai paradigma baru mengenai diri saya; bahwa saya tetap berharga sebagaimana diri saya adanya, walaupun masyarakat melihat saya tidak bernilai.
Saya tetap normal karena memang saya diciptakan seperti demikian, meski dengan fisik sebagai laki-kaki, tetapi dengan jiwa dan hasrat sebagai seorang perempuan.
Dengan demikian, pandangan masyarakat yang menganggap saya tidak normal sejatinya salah karena Tuhan Yesus Kristus yang saya sembah tidak melihat saya seperti itu.
Lebih jauh lagi, wajah Yesus Kristus yang hadir bagi saya melampaui identitas gender laki-laki atau perempuan.
Mengapa? Karena Allah adalah kasih, yang dengan kasih itu menciptakan keunikan diri saya sebagai seorang transpuan.
Setidaknya, bagi saya pribadi, setiap kesempatan yang saya miliki di ruang publik untuk mengungkapkan dengan yakin tafsir alternatif seperti ini, adalah sebuah jawaban bahwa Tuhan bersama dengan saya sebagai seorang transpuan.
Bahwa Ia, dengan cara-Nya sendiri memberi saya kekuatan.
Kedua, keberanian untuk coming out dengan identitas saya adalah suatu wujud kemartiran untuk menyatakan kebenaran di ruang publik.
Menyatakan diri di ruang publik sebagai seorang transpuan mempunyai risiko yang besar sekali, seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya.
Namun, saya yakin bahwa darah yang tercurah karena keberanian untuk menyatakan kebenaran ini merupakan darah kaum martir yang dapat memberikan keberanian dan kebenaran.
Ketiga, bagi saya, Kristen, sekali lagi adalah agama cinta kasih.
Karena itu, ketika saya seringkali berhadapan dengan pertanyaan, mengapa sampai saat ini tetap menjadi seorang Katolik, jawaban saya ‘karena Kekristenan adalah agama cinta kasih.’
Cinta kasih berarti meniadakan ketakutan dan memberikan penerimaan kepada yang berbeda.
Tentu, mudah bagi saya dan komunitas untuk pergi keluar dari gereja dan menolak kekristenan.
Namun, saya tetap berada di dalam gereja sebagai suatu wujud resistensi dan perlawanan terhadap budaya heteronormatif dan patriarki yang juga ada di dalam institusi gereja.
Keempat, saya meyakini bahwa Allah selalu setia menemani kaum marjinal seperti saya dalam menghadapi setiap masalah.
Persekusi yang saya alami sebagai seorang transpuan tidaklah mudah, termasuk di dalam gereja sendiri. Tatapan sinis dan dingin seringkali menyertai ketika seorang transpuan seperti saya masuk ke gereja, tempat yang seringkali diklaim sebagai rumah bagi segala bangsa dan golongan.
Lantas, apakah Tuhan tidak ada dan menyertai saya?
Saya bisa katakan bahwa kalau saja Tuhan tidak bersama dengan saya, saya bisa menjadi gila karena beratnya perjuangan yang harus saya hadapi.
Bagaimana saya tahu akan hal itu?
Di dalam kesulitan hidup yang saya hadapi, seringkali saya mengambil waktu hening untuk memikirkan kembali kehidupan saya.
Dalam hening, sering saya bertanya: Tuhan, apakah ini yang harus saya terima, padahal saya sudah berusaha untuk jujur dengan diri saya? Apa yang harus saya lakukan?
Dari pengalaman selama ini, setelah mengambil waktu untuk hening seperti itu, saya semakin menemukan kekuatan untuk kembali jujur dengan identitas yang saya miliki.
Tuhan Yesus yang saya sembah adalah Ia yang hidup, yang berjalan bersama-sama dengan transpuan seperti saya dalam menghadapi ragam persekusi.
Menapaki Jalan Transformatif: Ketika Cinta itu Mewujud
Karena merasakan cinta dari Yang Ilahi yang memberikan saya kekuatan untuk memberikan resistensi terhadap stereotip, saat ini saya berusaha melawan persekusi, dan menangkal sisi negatif perundungan.
Lantas, saya berusaha membangun ruang-ruang inklusi dan perjumpaan agar di dalam masyarakat yang heteronormatif dan patriarkis ini terjadi sebuah gerakan transformatif.
Saya menamai gerakan ini sebagai gerakan interseksionalis feminis. Ada tiga hal konkret yang saya lakukan.
Pertama, menjadi narasumber untuk membawakan permenungan teologis bagi kaum transpuan.
Masih banyak golongan transpuan yang belum melihat dan meyakini bahwa menjadi seorang trans adalah suatu keadaan yang harus diterima sebagaimana adanya. Bahwa transpuan secara hakiki adalah citra Allah.
Karena itu, saya berpikir bahwa ruang-ruang diskusi perlu digalakkan tentang tafsir-tafsir yang tidak dikekang oleh paradigma heteronormatif dan juga patriarkis.
Saya juga berdiskusi banyak dengan tokoh-tokoh seperti Dede Utomo, pendiri organisasi advokasi GaYa Nusantara.
Salah satu tokoh penting lainnya dalam kehidupan saya adalah Mbak Khanis Suvianita yang memberikan saya banyak masukan mengenai gerakan feminis dan bagaimana kaum marjinal dapat dibela.
Namun, saya sadar bahwa gerakan akademis tidaklah cukup untuk dapat membawa perubahan bagi kaum saya.
Inilah gerakan kedua yang saya pikir penting untuk dilakukan, yakni menyasar kepada sektor publik.
Karena itu, saya kembali ke Maumere untuk membaktikan diri bagi masyarakat luas.
Tentu, saya tidak bisa terang-terangan menyatakan bahwa saya adalah seorang transpuan.
Salah satu orang yang pertama kali saya beritakan kebenaran mengenai identitas diri saya adalah kakak ipar saya.
Tentu, ia sudah menyadari bahwa saya punya perawakan yang berbeda ketika saya kembali ke Maumere.
Dengan kesabaran dan juga keteguhan hati, akhirnya ia bisa menerima saya, meski tentu saja penerimaan oleh satu orang saja tidak dapat membawa dampak yang lebih besar.
Di dalam perjalanan kehidupan saya, syukur kepada Tuhan bahwa saya dapat bertemu dengan pastor-pastor Katolik yang pandangannya, menurut saya, progresif.
Salah satunya adalah Pastor Otto Gusti Madung, saat ini Ketua Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Salah satu kesempatan yang benar-benar membuat saya dan komunitas transpuan menyatakan diri kepada masyarakat adalah ketika kami diundang untuk mengisi acara pada ulang tahun ke-50 kampus itu.
Di sanalah saya melihat bahwa komunitas transpuan dapat hadir di tengah-tengah masyarakat.
Pada waktu itu, minimal sudah ada kesan bahwa komunitas transpuan pun mempunyai banyak talenta dan kemampuan yang dapat berguna bagi masyarakat.
Berikutnya, saya juga aktif di dalam kegiatan Sekolah Minggu di salah satu gereja di Maumere.
Akhirnya, saya bisa mendapatkan kepercayaan orang tua dari anak-anak yang saya layani di sana.
Dari sekolah Minggu-lah saya bisa masuk ke dalam organisasi PKK yang ada di masyarakat.
Dari sana, Tuhan membukakan pintu agar saya dapat memberikan peran di dalam Badan Permusyawaratan Desa di Desa Habi di Sikka.
Di sana saya dapat menjadi tokoh publik yang menunjukkan pada masyarakat bahwa saya dapat berkontribusi bagi mereka.
Saat ini, saya juga mengambil kuliah hukum agar saya dapat memperjuangkan hak-hak dari kaum yang tertindas, dalam sektor apapun.
Karena Yesus, Sang Cinta itu terus mendekap saya, salah satu bagian dalam golongan minoritas, maka saya dan komunitas transpuan perlu mengingat komunitas lain, yang juga mengalami beragam model penindasan danpersekusi.
Terakhir, saya juga mendirikan organisasi Fajar Sikka, sebagai salah satu wujud kehadiran komunitas transpuan di Sikka.
Saya percaya bahwa apa yang saya lakukan atas nama cinta ini dapat membawa perubahan di tengah masyarakat.
Dengan kehadiran kami yang membawa dampak di tengah-tengah masyarakat, ruang-ruang inklusi dan juga perjumpaan semoga dapat terus berkembang sehingga perundungan, persekusi, ataupun stereotip bagi komunitas kami akan makin sirna.
Saran Bagi Gereja
Pada bagian akhir tulisan ini, saya secara khusus memberi dua saran kepada institusi gereja dalam karya pastoral.
Pertama, buatlah secara khusus kelompok kategorial transpuan dan atau LGBTIQ.
Gereja semestinya menerima kami dan memperlakukan kami dengan setara seperti umat lainnya.
Dengan melakukan ini, komunitas transpuan dan LGBTIQ ini dapat merasakan bahwa apa yang dialami bukanlah kutukan, namun suatu anugerah.
Sudah banyak keluhan dari teman-teman saya bahwa mereka merasa tidak berharga karena tidak dapat dimengerti oleh komunitas gereja.
Kedua, saya berharap agar gereja dapat turut menyurutkan diskriminasi terhadap komunitas LGBTIQ dengan tidak mengkhotbahkan narasi-narasi anti-LGBTIQ dari atas mimbar.
Sekali lagi, pahamilah kami dan dengarkanlah kisah kami, kisah tentang keragaman manusia, yang kita yakini berasal dari dan diciptakan oleh Tuhan yang sama.
Wujud kami adalah bagian dari kisah kekuatan dan kemahabesaran Tuhan melalui keragaman ciptaan-Nya.