Soroti Kemunduran Tata Kelola SDA, Walhi Ajak Publik Cermat Memilih Pemimpin Saat Pemilu

Penguasaan SDA oleh segelintir orang, menurut Walhi, telah merampas dan menghilangkan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

Baca Juga

Floresa.co- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] menilai cita-cita mewujudkan keadilan ekologis di Indonesia masih menghadapi “tembok besar” karena demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam [SDA] justru berjalan mundur.

Dalam rangka mencari jalan keluar atas masalah ini, salah satunya, kata organisasi tersebut, adalah dengan cermat memilih pemimpin dalam Pemilu pada 14 Februari.

Hal itu disampaikan Walhi dalam sebuah dokumen berjudul “Platform Politik Lingkungan Hidup Indonesia 2024: Wujudkan Kedaulatan Rakyat Atas Keadilan Ekologis.”

Dokumen yang diterima Floresa pada 6 Februari itu merupakan seruan Walhi secara nasional menyikapi Pemilu. Seruan itu disampaikan di 28 daerah eksekutif Walhi seluruh Indonesia.

Walhi mengatakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia sehingga segala bentuk perampasan dan eksploitasi SDA yang menghancurkan integritas lingkungan hidup harus dihapuskan karena merampas kedaulatan rakyat.

Sebagai organisasi yang terus memperjuangkan penegakan kedaulatan rakyat atas pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, Walhi menilai bahwa negara semakin jauh dari roh dan semangat cita-cita bangsa untuk bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Penguasaan SDA oleh segelintir orang, menurut Walhi, telah merampas dan menghilangkan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal itu membuat cita-cita mewujudkan keadilan ekologis semakin jauh seiring dengan kemunduran sistem politik Indonesia.

Akar Persoalan

Lembaga itu menyatakan selama 10 tahun terakhir, negara telah melupakan mandatnya dalam mensejahterakan rakyat, mengelola SDA dan lingkungan hidup secara demokratis, berkeadilan dan berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan ekologis.

Negara, kata Walhi, bertentangan dengan mandat konstitusi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA; dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Cita-cita keadilan ekologis di Indonesia masih menghadapi tembok besar,” tulis Walhi.

Selama empat dekade perjalanan berjuang bersama rakyat, Walhi melihat fenomena “pembangkangan” konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh pejabat negara. 

Pembangkangan secara terang-terangan itu, menurut Walhi, dilakukan dengan sejumlah indikator, seperti menghasilkan produk perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat kerakyatan UUD 1945.

Hal itu, terjadi antara lain dalam revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Nusantara, dan lain-lain.

Selain itu adalah meningkatnya kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang atas lingkungan yang baik dan sehat; pengekangan dan pembungkaman ruang partisipasi rakyat dalam memperjuangkan lingkungan hidup; dan mengutamakan pendekatan militerisasi dalam konflik SDA.

Walhi mencatat, dalam satu dekade terakhir, setidaknya 827 orang telah menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hal demikian, kata Walhi, terjadi di sistem politik dan ekonomi yang mengedepankan cara-cara monopoli, ekstraktif, dan eksploitatif, berdampak pada krisis ekologis dan multidimensi dari hulu ke hilir. 

Sistem ini bercirikan empat hal, seperti penguasaan dan pengelolaan yang timpang dan tidak adil bagi rakyat; finalisasi ekosistem dan SDA yang menegasikan pengetahuan empirik rakyat; sistem politik dan ekonomi yang dikontrol dan dikuasai segelintir kelompok.

Efeknya, adalah penghancuran integritas lingkungan hidup, perampasan kedaulatan rakyat atas ruang hidup dan wilayah kelolanya;  krisis iklim dan bencana ekologis dari hulu ke hilir yang kian para, mulai dari urban hingga rural dan mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil.

Konteks NTT

Krisis demikian, kata Grace Gracella, juga terjadi di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].

Grace, Staf Advokasi, Kampanye, dan Pengorganisasian Rakyat Walhi NTT yang berbicara kepada Floresa pada 7 Februari mengatakan pembangunan industri ekstraktif di NTT berdampak pada keberlanjutan lingkungan.

Pengrusakan dan penghancuran SDA, perampasan wilayah kelola yang menyebabkan hilangnya akses rakyat, serta pelanggaran hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, kata dia, adalah harga yang harus dibayar oleh pembangunan ekstraktif di NTT.

Ia merinci beberapa agenda pembangunan berdaya ekstraktif yang sedang dan akan dijalankan di NTT, seperti proyek geotermal di Pulau Flores, pertambangan mangan dan batu gamping di Pulau Timor dan Flores, pariwisata super premium di Labuan Bajo, perkebunan monokultur tebu di Sumba Timur dan alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan proyek hutan energi [biomassa] di Besipae. 

Walhi NTT, kata dia, “menolak apapun pembangunan yang menggadaikan keberlanjutan lingkungan dan hak rakyat atas SDA.”

Pilah-Pilih-Pulih 

Walhi mengatakan momentum pergantian kepemimpinan pada Pemilu tahun ini menjadi satu titik balik untuk melakukan sebuah refleksi kritis bagi kondisi lingkungan hidup dan demokrasi di Indonesia.

“Pemimpin Indonesia ke depan perlu melakukan perombakan tata kelola SDA dan lingkungan hidup di Indonesia yang berorientasi pada kepentingan rakyat,” kata Walhi.

Hal yang dikedepankan adalah prinsip penegakan perlindungan hak asasi manusia, demokratis, berkeadilan dan berkelanjutan untuk memastikan keadilan bagi generasi ke depan.

Grace mengatakan dalam kerangka ini, konsep yang ditawarkan Walhi dalam Pemilu adalah “Pilah-Pilih-Pulih.”

Ia menyebut “pilah” berarti memilah kandidat berdasarkan rekam jejak kejahatan konstitusi, hak asasi manusia, lingkungan dan pelanggaran etik dengan menggunakan nilai dan prinsip Walhi, yakni berkeadilan dan berkelanjutan.

Pilah, kata dia, juga berarti mencermati dan membedah visi-misi, program dan agenda setiap kandidat presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif.

Hal itu dilakukan dengan “menelusuri, melihat lebih dalam dan membongkar kepentingan aktor-aktor pendukung di balik setiap kandidat presiden, wakil presiden serta calon legislatif.”

Sementara itu, prinsip “pilih pulih” berarti menolak terjebak pada janji, gimmick, pencitraan dan praktik politik transaksional oleh para kandidat yang berwatak curang, culas dan ugal-ugalan.

Ia mengatakan prinsip “pilih pulih” juga berarti berkomitmen memilih kader politik hijau yang mengusung agenda platform politik keadilan ekologi dan terus mengawal agenda perwujudan “Pulihkan Indonesia.”

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini