Oleh: ROMO EDI MENORI PR
Saat sistem merampas hak rakyat untuk berkata-kata dan menyerahkannya pada sekelompok orang, ada harapan terbangun jembatan silahturami antara perampas legal dan jelata tak berdaya.
Katanya jumlah kita terlalu banyak, banyak pula jumlah mereka yang susah diatur. Lebih baik mengatur sekolompok orang untuk semua daripada atur semua untuk sekelompok orang.Ini filosofi demokrasi sejati katanya, atur sebagian untuk semua. Tertibkan sebagian umtuk semua. Kalau satu kelompok sudah makmur itu artinya semua juga ikut makmur.
Pantas dalam demokrasi seperti ini beramai-ramai orang masuk kelompok kecil alias ‘parte’ kata latinnya.
Nah jelata yang kritis bertanya: Ketika ada damai di rumah demokrasi, apakah damai itu milik semua? Ketika ada persaingan selundupkan jatah yang jelas peruntukannya dan berujung pada konflik di rumah demokrasi, apakah itu cerminan fenomena umum?
‘Ini sistem yang menjawabi konteks kehidupan berbangsa’, dalilnya. Oh semua dipaksa sistem untuk menyerahkan haknya pada sebagian karena percaya pada niat baik hadirnya sistem yang mengatur dan menjamin kesejahteraan umum.
Ada bahaya yang ‘sebagian’ alias kelompok kecil mengklaim sepihak dalam diri kelompoknya terangkum harapan dan kondisi ‘semua’. Maka mengejar kemakmuran kelompok, kepentingan pribadi-pribadi dalam kelompok kecil adalah juga amanat dari semua. Sebab keinginanku dan kelompok kami adalah keinginan semua.
‘Pars pro toto’ filosofi demokrasi perwakilan mengandaikan sebagian yg berkualitas, integritas dan beretika. Bila tidak klaim otoriter menjadikan yang ‘totum pro parte’ mencuat dan bakal menjarah hak-hak rakyat.
Yang sebagian dengan angkuh mengklaim mewakili semua. Penuh kemunafikan merendah di hadapan semua, “kekayaanku adalah kekayaan bersama tapi cuma saya yang boleh sesuka hati menikmatinya. Kami sejahtera sudah cukup mewakili semua.”
Lalu ditambah sambil tersenyum, “Ini soal giliran bukan perkara panggilan untuk mengabdi”. Begitu periode baru datang, wacananya diganti, “bukan soal giliran lagi tapi ini perkara undian”. Kalau ada soal seputar mekanisme undian alasannya baru, “ini urusan politik”. Ya ampun. Pantas rakyat jelata bilang politik itu “plitik” yang artinya urusan tipu muslihat.
Jelata dibiarkan tidak sadar politik agar hak-haknya bisa dilecehkan dengan bebas. Politik dalam arti sempit ‘plitik’, bisa efektif berdansa di tengah jelata yg tidak cerdas. Kualitas politik seperti ini akan dipelihara oleh politisi yang tidak berkualitas yg nota bene cuma mengandalkan tipu tapu.
Pendidikan politik cuma jargon belaka ketika para politisi, pemerintah, partai tidak percaya diri dan takut kalau jelata cerdas, sadar dan kritis. Ada kecemasan melalui pendidikan politik yang benar dan jujur ruang untuk manufer ‘plitik’ menjadi sempit.
Demokrasi “part pro toto” selalu dalam arti positif untuk sesuatu yg baik dan kebaikan bersama. Tapi faktanya, siapa yang mau mati mewakili semua? Siapa yang mau berkorban untuk semua? Kalau ada, ini ciri pemimpin sejati. Ini ciri politisi bernurani.
Katanya yang begini cuma ada dalam realitas agama, dunia ilahi bukan di dunia nyata apalagi dunia politik. Tapi kepada jelata mereka berkata kami datang untuk melayani, bahkan menggelar diri wakil dari jelata. Berarti sejalan dengan essensi demokrasi pars pro toto, berkorban (diri/kelompok) untuk semua.
“Itu basa-basi saat kampanye saja,” katanya. Kita suka tentunya dengan kepolosan politisi-politisi karbitan yang spontan-spontan saja kalau bicara. Itu berarti yang dirahasiakan adalah yang akan dipraktekkan alias mengklaim “totum pro parte”. Sebut semua tapi untuk kepentingan kelompok. Sebut diri wakil dari semua, berjuang untuk bangsa tapi de fakto wakili kelompok dan suku bangsa sendiri.
Konflik di rumah demokrasi rupanya karena salah mempersepsikan filosofi demokrasi perwakilan. Semoga bukan karena serakah mempersepsikan hakekat demokrasi perwakilan.
Penulis adalah Imam di Keuskupan Ruteng, Flores.