Restorasi Bagi Gafatar

Refleksi post-faktum atas “tragedi” Gafatar

Baca Juga

Hal ini menyebabkan manusia memandang sesamanya sebagai saingan dan ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Maka, terjadilah bellum ominium contra omnes (perang semua melawan semua). Antara satu orang dengan orang  lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya terjadi peperangan.

Tetapi, kenyataan ini tidak membantu manusia untuk mempertahankan eksistensinya, malah membuatnya merasa semakin terancam. Maka dibutuhkan sebuah perjanjian dimana setiap orang dituntut menaklukan dirinya di bawah satu kekuaasaan tertentu. Berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian tersebut, berdirilah Negara (Tjahjadi: 2004). Negara dipandang sebagai solusi di tengah kekacauan itu.

Tetapi berkaitan dengan Gafatar, harus diakui bahwa Negara gagal untuk meyakinkan kelompok yang bertikai itu agar menyerahkan diri sepenuhnya eksistensi mereka kepada Negara. Negara gagal meyakinkan mereka untuk “menaklukan diri dibawah kekuasaan” Negara.

Kelambanan dalam melakukan intervensi menyebabkan kelompok ini seakan-akan teralienasi dan kehilangan orientasi.

Faktanya, beberapa warga malah dibiarkan untuk memojokan kelompok Gafatar secara kejam. Alih-alih membersihkan ruang sosial dari berbagai penyakit sosial bertopeng agama, apa yang dilakukan terhadap kelompok Gafatar justru menimbulkan lahirnya penyakit sosial yang lebih akut dan amat tidak sesuai dengan ajaran agama manapun.

Saya melihat bahwa anarkisme terhadap kelompok Gafatar mempertontonkan adanya abrasi dan degradasi mentalitas rakyat kita yang katanya beragama. Bermaksud untuk membasmi cikal-bakal kelompok radikal, apa yang dilakukan justru lebih radikal dan memporak-porandakan sisi-sisi kemanusiaan yang justru menjadi perhatian utama dari setiap agama. Apa yang terjadi menunjukan bahwa penyimpangan diatasi dengan melakukan penyimpangan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini