Oleh: Alfred Tuname, kolumnis Floresa, pemerhati isu-isu sosial politik
Di tengah polemik yang masih menghangat soal UU Pikada, dua kabupaten di Manggarai Raya, yaitu Manggarai dan Manggarai Barat harus siap melewati peristiwa politikPilkada 2015. Pilkada tentu tidak hanya dimengerti sebagai kontestasi politik elitis untuk meraih kekuasaan belaka. Tetapi, diharapkan di dalamnya ada proses “pengadilan” yang adil, yaitu sebuah usaha mengembalikan kedaulatan rakyat. Di sini, rakyat kedua kabupaten menilai kembali segala bentuk usaha mencapai kesejahteraan melalui pijar-pijar demokrasi.
Rakyat memilah dan memilih calon-calon pemimpin yang pantas dan patut diperjuangkan. Tujuannya adalah demi rakyat itu sendiri, yakni kesejahteraan dan keadilan.
Dalam visi rakyat yang lebih sejahtera dan adil, Manggarai dan Manggarai Barat embutuhkan sosok pemimpin, bukan pejabat. Mentalitas pemimpin adalah mentalitas melayani, sementara mentalitas pejabat adalah mentalitas dilayani.
Mantan Gubernur NTT Piet Alexander Tallo pernah mengatakan, pemimpin adalah nahkoda. Tentu, pemimpin harus tahu ke arah mana kapal pemerintahan harus dibawa. Dia-lah yang menggenggam butir-butir harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik.
Dalam mewujudkan harapan rakyat, seorang kepala daerah seringkali dihadapkan pada pertentangan dan tarikan politik yang begitu kental. Kepentingan parsial elite politik dan partai politik di daerah seringkali melemahkan setiap kebijakan pemerintah daerah.
Jika seorang kepala daerah memiliki mentalitas pemimpin, maka politik pasti dirayakan dalam rentang distribusi kesejahteraan demi rakyat banyak. Sementara, jika kepala daerah memiliki mentalitas pejabat, maka limitasi politik semakin sempit sebab hanya diributkan demi distribusi “kesejahteraan” elit politik itu sendiri. Praktek bagi-bagi proyek pembangunan adalah manifestasi dari mentalitas pejabat.
Oleh karena itu, Pilkada sebagai sebuah political recruitment harus melahirkan pemimpin yang ideal demi rakyat itu sendiri. Memang demokrasi lokal tidak bebas dari resiko munculnya kembali pemimpin-pemimpin yang buruk. Perangkapnya adalah rakyat memilih dalam katergori emosional yakni alasan suka. Hal itu tejadi karena pencitraan.
“Kuasa” pencitraan membuat rakyat harus terjebak dalam politik pencitraan. Sosok yang muncul pun adalah pemimpin yang permisif, bahwa popularitasnya hanya dengan bersikap ramah dan baik – narsisisme politik, tetapi tidak memiliki sikap tegas dalam membuat keputusan. Karenanya, banyak figur-figur pemimpin begitu mudah diperdayai oleh elit dan kelompok kepentingan tertentu.
Pada konteks pemimpin yang mudah diperdayai, demokrasi kita pun akan menjumpai dirinya dalam petaka. Demokrasi akan mengandung orang-orang yang memperdayai demokrasi itu sendiri. Democracy is deplaced and/or replaced by plutocracy, a government by rich people (Ben Mboi, 2011).
Dengan begitu, Pilkada hanya menjadi “jalan sutra” bagi figur-figur atau kelompok berkepentingan untuk merampok kekayaan daerah dan memperkaya diri sendiri. Kebijakan publik yang dihasilkan pun hanya menjadi instrumen manipulatif untuk membingkai distribusi kepentingan koruptif.
Manggarai dan Manggarai Barat memiliki potensi ekonomi yang melimpah jika itu dikelola dengan kebijakan publik yang bijak dan tegas. Prinsip good governance dan akuntabilitas harus diejahwantahkan dalam praktik pemerintahan. Hal ini penting untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang modern. Tetapi, itu bisa terjadi dengan mengandaikan ada demokrasi politik lokal yang modern.
Bahwa, demokrasi politik lokal harus bebas dari praktik-praktik primordialisme dan patron-klientilisme akut dalam political recruitment. Rakyat, roeng, harus berani melepas keterikatan klan, suku, hubungan darah dan sentimen agama dalam memilih pemimpin daerah. Keterikatan yang emosional-sentimental harus dihilangkan. Rakyat harus terbebas dari simplifikasi politik, yaitu politik anti-nalar. Nalar politik adalah kepentingan bersama; kepentingan umum. Sebagaimana idea politik Aristotelian, politik adalah jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Dalam konteks politik lokal, “devosi” rasionalitas politik adalah munculnya pemimpin berani dan transformatif. Pemimpin yang berani adalah pemimpin yang menolak segala tawaran oportunistik kekuasaan.
Dalam konteks Manggarai dan Manggarai Barat, pemimpin harus berani menolak segala bentuk godaan kekuasaan; power tends to corrupt. Dengan begitu, kekuasaan pun tidak menjadi “cek kosong” di pasar gelap politik bagi siapa saja yang hendak mengeksploitasi bumi congka sae.
Kekuasaan harus menjadi “parang tajam” untuk menyingkirkan ilalang dan duri dalam proyek kesejahteraan bersama. Pemimpin transformatif hadir dalam konteks ini; ia hadir untuk membawa rakyat Manggarai dan Manggarai Barat ke arah yang lebih baik. Sebab, setiap warga masyarakat berhak atas kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.
Manggarai dan Manggarai Barat bukan milik pejabat atau keluarga pejabat, tapi milik segenap rakyatnya. Oleh karena itu, segala kekayaan alam yang dikandung dalam bumi congka sae harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya dinikmati pejabat dan keluarga pejabat.
Untuk sebuah perubahan, sekali lagi, Manggarai dan Manggarai Barat membutuhkan pemimpin, bukan pejabat.