Oleh: YULITA HETY SUJAYA
Pada Selasa, 12 September 2017, media Florespost.co mempublikasi berita terkait praktek kekerasan dalam dunia pendidikan. Dalam berita itu dengan judul Gara-Gara Rambut, Siswa SD Ini Dipukuli Gurunya Hingga Berdarah dijelaskan bahwa seorang guru berinisial MJ — pengampu mata pelajaran Matematika di SDI Senadan, Desa Helanlangowuyo, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, memukul seorang siswa kelas III, AW hingga kepalanya berdarah.
Alasan pemukulan itu, menurut ibu korban hanya karena rambut anaknya yang telah dicukur dua hari sebelumnya. Di mata MJ, cukuran rambut AW belum terlalu pendek.
Sebagai seorang guru yang setiap hari juga bertemu dengan para siswa di sekolah, saya tidak terkejut dengan berita itu.
Memang, praktek kekerasan di dalam dunia pendidikan bukan cerita baru. Bahkan, korbannya ada yang hingga meninggal dunia. Motifnya pun sangat bervariasi. Mulai dari hal-hal yang sifatnya sepele sampai dengan yang sangat rumit.
Membaca berita di Forespost.co itu, saya menjadi sedih, terutama setelah menyimak alasannya, hanya karena rambut yang sudah dipotong kurang terlalu pendek.
Terlepas dari benar atau salah keterangan yang disampaikan oleh ibu korban, tindakan MJ bukanlah tindakan yang manusiawi.
Seorang guru mestinya memikirkan dan mempertimbangkan secara matang sebelum memberikan hukuman kepada para peserta didik. Guru sebenarnnya hanya perlu menyampaikan “teguran”.
Di pihak lain, saya tidak sepenuhnya melemparkan kesalahan kepada guru. Hanya saja metode atau cara yang digunakan yang perlu dievaluasi.
Pendidikan itu memanusiakan. Ini merupakan sebuah harapan dan idealisme bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang masih melihat pendidikan sebagai hal yang sangat vital.
Tugas untuk memanusiakan dalam dunia pendidikan adalah tugas bersama: guru, orang tua dan siswa. Ketiganya harus berjalan berdampingan, tanpa ada yang mengklaim siapa yang paling penting dan paling berpengaruh.
Bercermin pada kasus kekerasan yang terjadi di Flores Timur, saya hendak mengajukan beberapa poin penting.
Pertama seorang guru harus menempatkan dan memposisikan murid sebagai subjek, bukan objek dalam dunia pendidikan. Ketika dia adalah subyek, maka dia diperlakukan secara manusiawi.
Kedua seorang murid harus melihat pendidik/pembina dan guru seperti orangtua kedua. Oleh karena itu, seorang guru harus dihormati dan setiap pesan dan senandung positif yang disampaikannya haruslah direspon secara positif.
Ketiga orang tua mesti menjadi pihak netral, ketika anaknya mengalami persoalan di sekolah. Hal itu dilakukan dengan tidak hanya memposisikan diri di pihak anak, tetapi juga di pihak guru. Hal ini sangatlah penting, karena anak dan guru adalah dua sosok yang sudah dipercayakan sejak awal oleh orang tua.
Kerja sama ketiganya akan menghantarkan dunia pendidikan menjadi wadah untuk makin memanusiakan. Optimisme pun harus lahir bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan bisa segera berakhir.
Penulis adalah guru sejarah di Unity International School, Bekasi