Oleh: Balduinus Ventura
Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat untuk melakukan penggusuran rumah masyarakat adat Besipae demi kepentingan proyek di hutan adat Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan kebijakan yang cacat. Hal itu juga membuktikan kegagalan pemerintah dalam mengayomi dan melindungi seluruh masyarakat.
Penggusuran rumah-rumah warga kembali dilakukan pada 20 Oktober 2022. Itu tercatat sebagai penggusuran kelima sejak 2020, ketika Pemerintah Provinsi NTT mengintensifkan upayanya untuk mengklaim dan menjalankan proyek di wilayah itu di lahan 3.780 hektar. Oleh pemerintah provinsi, lahan itu diklaim sebagai haknya dan hendak dikembangkan untuk proyek peternakan, sementara warga Besipae masih mempersoalkan klaim itu dan menuntut penyelesaian yang adil atas wilayah yang mereka sebut sebagai bekas ulat.
Tuntutan penyelesaian yang menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam polemik lahan itu juga telah menjadi rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun, alih-alih menjalani rekomendasi tersebut, Pemerintah Provinsi NTT mengambil jalan represif, dengan membongkar kediaman warga, sambil mengerahkan aparat keamanan.
Menggusur rumah-rumah warga tanpa melihat kebutuhan mereka tentu merupakan sebuah bentuk kekejaman. Selain itu, pengerahan aparat bersenjata tak lain merupakan cerminan watak premanisme dan totaliter penguasa terhadap rakyat.
Secara prinsipil, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, baik dari aspek sosiologis maupun kemanusiaan. Kita tahu bersama bahwa masyarakat Besipae sangat tergantung pada alam dan lingkungannya untuk dapat menjalankan kehidupan yang layak.
Selain itu, di tengah sistem demokrasi, pemerintah seharusnya mengedepankan cara-cara yang demokratis dalam proses pembangunan, termasuk dengan melakukan pendekatan terhadap warga Besipae. Implementasi kebijakan publik harus berbasis pada nilai yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat dan paradigma hidup bernegara, bukan kepentingan sepihak para penguasa.
Paradigma Bernegara
Salah satu tujuan dan cita-cita berdirinya Negara Indonesia adalah untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat sebagai unsur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus diakomodir hak dan aspirasinya, sehingga cita-cita luhur kemerdekaan bisa diwujudkan.
Di samping itu, keberadaan masyarakat adat juga harus dijaga oleh negara, termasuk menjamin keselamatan dan mata pencaharian mereka.
Secara konstitusional, keberadaan masyarakat hukum adat telah diatur tegas dalam pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, nilai dan kedaulatan masyarakat adat wajib dihormati dan dilindungi oleh negara/pemerintah.
Secara historis masyarakat adat sudah eksis bahkan sebelum lahirnya negara Indonesia.
Secara filosofis pun, supremasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi bukan sekedar jargon yuridistik semata tetapi nilai fundamental yang harus dijaga dan ditegakkan oleh negara untuk menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam paradigma bernegara, pemerintah tidak boleh sewenang-wenang memaksakan kehendak dengan mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Rakyat sebagai subjek penting dalam berjalannya roda pemerintahan harus terlibat dalam segala keputusan-keputusan yang berhubungan dengan publik. Karena hakikatnya kebijakan dalam bentuk apapun dan sekecil apapun tak lain untuk kepentingan rakyat, bukan untuk penguasa, apalagi untuk kepentingan elit politik.
Mencari Solusi
Kebijakan pemerintah Provinsi NTT di Besipae seharusnya ditinjau ulang. Aktivitas penggusuran rumah warga tanpa menyediakan solusi alternatif hanya menyengsarakan masyarakat kecil dan memperpanjang konflik.
Pemerintah NTT harus belajar melihat persoalan secara komprehensif dan cermat demi menemukan solusi. Usaha mencari solusi itu juga perlu melibatkan masyarakat dalam membicarakan ulang terkait dengan kondisi masyarakat Besipae, baik dalam aspek ekonomi maupun kemanusiaan.
Pendekatan formal semata-mata yang menjadi landasan sepihak yang dipakai oleh pemerintah sebenarnya tidak mencerminkan keterbukaan dan tanggung jawab. Sebagai pembuat kebijakan seharusnya pemerintah mampu melihat kondisi riil kehidupan masyarakat Besipae dan mempertimbangkan berbagai aspek.
Secara sosio-historis pemerintah perlu melihat bahwa masyarakat di Besipae adalah penduduk yang sudah mendiami wilayah itu sejak turun temurun. Tanah merupakan satu kesatuan hidup dengan alam dan adat-istiadat. Mereka menyatu dengan alam dan berteduh dengan rumah yang mereka miliki.
Dari aspek ekonomi, pemerintah juga perlu melihat bahwa masyarakat Besipae pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani/pekebun. Untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, mereka memanfaatkan lahan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan mayoritas mereka bisa menyekolahkan anak dan cucunya dari tanah yang mereka olah. Pengusiran dan penggusuran dari kebun membuat mereka miskin secara permanen.
Masyarakat menginginkan adanya solusi keadilan substantif dalam penyelesaian persoalan ini.
Harapannya pemerintah Provinsi NTT menghentikan segala aktivitas penggusuran rumah yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemerintah perlu segera membuka ruang diskusi dan dialog untuk mencari solusi berkeadilan terhadap masyarakat Besipae. Mereka butuh rumah dan butuh makan untuk kenyamanan dan kehidupan anak, saudara dan keluarganya.
Balduinus Ventura adalah Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Pusat PMKRI periode 2022-2024