Gangguan Jiwa di NTT: Tidak Sekedar Masalah Mental Individu, Tapi Bagian dari Masalah Struktural

Kegagalan mengidentifikasi akar persoalan isu kejiwaan yakni sebatas sebagai persoalan internal individu berujung pada penarikan kesimpulan bahwa hanya individu itu sendiri yang dapat menyelamatkan nasibnya.

Oleh: Flau de Lete

Salah satu pandangan dominan dalam melihat masalah gangguan jiwa adalah menganggapnya sebagai masalah mental individu semata, dengan faktor pemicunya adalah gen atau persoalan psikologis tertentu. Hal yang jarang mendapat tempat adalah upaya melihatnya sebagai bagian dari masalah struktural yang mempengaruhi kehidupan penyandang gangguan jiwa atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Perhatian serius pada masalah ini, termasuk untuk konteks di NTT, menjadi mendesak, terutama jika kita berkaca pada kenyataan terbatasnya penanganan di tengah kasus ODGJ yang terus meningkat.

Secara nasional, pada tahun 2016, ketika total penduduk Indonesia masih berjumlah 250 juta jiwa, hanya terdapat 48 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia. Lebih dari separuh berada di empat provinsi dari total 34 provinsi. Selain itu, jumlah psikiater hanya 600- 800 orang atau satu psikiater melayani 300.000 hingga 400.000 pasien.

Kenyataan ini mempertontonkan betapa mengenaskannya nasib penanganan isu gangguan kejiwaan. Tidak mengherankan jika 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik. Hanya 9% persen yang bisa tertangani.

Di Provinsi NTT, menurut data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, 5.555 orang dari total 5,2 juta penduduk yang merupakan OGDJ. Sementara psikiater yang menangani mereka hanya 5 orang. 

Sedangkan untuk lingkup Flores dan Lembata, menurut data dari Kelompok Kasih Insanis (KKI), komunitas para relawan ODGJ yang berpusat di Ende, hingga kini jumlah ODGJ telah mencapai 5.000-an orang, dengan tiap pekan terus bertambah lebih dari 3 kasus.

Tentu saja kita dapat menduga bahwa kemungkinan masih banyak ODGJ lain yang belum terdata dari seluruh populasi NTT karena keterbatasan tenaga dan sumber daya.

Penanganan terhadap para penderita pun masih sangat terbatas. Untuk wilayah yang lebih kecil di Kabupaten Manggarai Timur, hingga tahun 2021, hanya sebanyak 136 ODGJ yang mendapat penanganan dari total 532 orang. Disinyalir bahwa terbatasnya persediaan obat menjadi kendala utama tidak terjangkaunya pelayanan ke semua penderita ODGJ.

Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Kabupaten Manggarai. Pada tahun 2022 jumlah ODGJ di Kabupaten itu mencapai 537 orang yang yang sempat ditangani oleh pemerintah hanya 230 orang.

Derita ODGJ 

Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai “kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.’’

Apa yang dialami ODGJ, secara khusus di NTT, adalah kebalikan dari itu. Masyarakat secara umum masih dibelenggu oleh ‘logika mistik’ dalam menyikapi isu gangguan kejiwaan.

Hal ini dapat dibuktikan dengan pemasungan ODGJ yang masih kerap dipraktikkan. Fisik mereka yang dikekang karena dipasung membuat mereka, maaf, menjadi lebih rendah dari binatang karena kehilangan karakter dan fungsi sosialnya. Hewan masih mampu berelasi di dalam kelompok mereka secara sosial. Namun penderita ODGJ seolah mayat hidup (zombie) yang hanya menunggu eksistensinya berakhir di bumi. Martabat dan derajat mereka sebagai makhluk hidup yang ingin bebas direndahkan serendah mungkin.

Di Manggarai misalnya, praktek seperti ini terus dipertahankan karena ODGJ dianggap sebagai ata wedol atau orang gila oleh masyarakat.

Stigma ata wedol adalah ekspresi dari limitasi logika mistik keseharian kita yang masih terikat oleh prasangka lama sehingga tidak mampu berpikir secara kritis, rasional, ilmiah, dan menyeluruh.

Keberadaan mereka yang dicap ata wedol ini sebetulnya dekat dengan kita. Mereka bisa jadi keluarga kita, teman- teman kita, tetangga kita atau orang- orang yang masih ada di sekitar lingkungan kampung atau kota kita.

Melawan Struktur yang Wedol

Di tengah minimnya perhatian pada isu ini, sejauh ini kasus ODGJ lebih banyak ditangani oleh oleh LSM maupun organisasi keagamawaan yang terpanggil untuk bertindak. Kita patut mengapresiasi serta terus mendukung upaya konsisten yang telah mereka lakukan.

Namun, tentu saja, tindakan berdasarkan panggilan moral ‘hati nurani’ saja jauh dari cukup. Mengapa? Karena upaya penanganan masalah gangguan jiwa tidak dapat diceraikan dari watak politiknya maupun direduksi sebatas hanya pada komitmen moral.

Menurut saya, fenomena gangguan jiwa dalam masyarakat sebenarnya adalah cerminan dari respons terhadap struktur kapitalisme yang gagal dan tidak adil dalam menyediakan berbagai kebutuhan dasar yang menopang kesehatan jiwa. Beberapa di antaranya adalah nutrisi yang baik, air bersih, ketersediaan lapangan pekerjaan, tempat tinggal layak, sistem kesehatan yang murah atau gratis (ketersediaan rumah sakit dan fasilitas), pendidikan gratis dan akhirnya lingkungan sosial yang sehat.

Jadi, melampaui sekedar masalah mental, ini adalah masalah politik. Karena ini adalah isu politik, maka protes kita adalah protes terhadap struktur yang wedol (politik yang gagal memenuhi kebutuhan dasar warga) dan berhenti untuk memberi stigma ata wedol terhadap para penderita OGDJ.

Sebuah studi komprehensif mengenai gen di tahun 2003 yang dilakukan The Human Genome Project dan National Institute of Mental Health (NIMH) memberikan konklusi menarik yakni gen selalu mengalami perubahan. Faktor utama yang mempengaruhinya adalah lingkungan. Hal ini dengannya menantang dominasi ide mengenai ‘determinisme gen’.  Disamping itu, para ahli menyimpulkan bahwa tidak ada satupun gen spesifik yang mendeterminasi gangguan-gangguan mental.

Jadi, gen bukanlah semacam ‘penentu keselamatan’ dari surga yang memutuskan apakah kejiwaan seseorang tersebut nantinya akan selamat dari gangguan bipolar, depresi, kecemasan maupun skizofrenia atau tidak.

Erich Fromm dalam karyanya The Anatomy of Human Destructiveness’ juga menjabarkan bagaimana lingkungan dan sistem sosial memainkan peran besar dalam membentuk psikologi seseorang.

Ia mengatakan bahwa ‘perkembangan perilaku individu tidak dapat sepenuhnya dipahami atas dasar konstitusinya dan latar belakang keluarganya saja. Kecuali kalau mengenal sistem sosial (spirit dari sistem tersebut) dimana si individu dan latar belakang keluarganya berasal. Bagi Fromm, lingkungan sosial memainkan peran menentukan atas proses pembentukan karakter individu.

Oleh karenanya, kegagalan mengidentifikasi akar persoalan isu kejiwaan yakni sebatas sebagai persoalan internal individu berujung pada penarikan kesimpulan bahwa hanya individu itu sendiri yang dapat menyelamatkan nasibnya. Padahal, keseluruhan proses perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan keluarga maupun seluruh institusi sosial, termasuk jenis relasi produksi ekonomis dimana ia berada.

Di sisi lain, setiap pendekatan psikologis yang mengisolasi dirinya dari kondisi material masyarakat akan terjatuh ke dalam penyimpangan determinasi biologis vulgar, seolah supremasi gen bersifat ‘inate’ bawaan alami manusia. Atau dengan serampangan disimpulkan secara mistik bahwa ODGJ telah dirasuki setan atau disantet.

Apa yang Mesti Dilakukan?

Dalam mencari jalan keluar atas masalah ODGJ, kita membutuhkan pembentukan organisasi psikologi maupun psikiatri akar rumput alternatif terutama di tengah absennya negara. Sebuah organisasi yang memakai pendekatan yang tidak melulu individual, melainkan pendekatan kritis, politik dan sosial.

Di saat yang sama seluruh perhatian kita tetap pada fokus menuntut penyediaan sejumlah pra kondisi material yang menopang kesehatan jiwa. Beberapa di antaranya adalah ketersediaan fasilitas kesehatan terjangkau, pemutusan rantai kemiskinan, pendidikan yang terjangkau, ketersediaan lapangan kerja, pendapatan yang memadai, lingkungan hidup yang sehat, dan ketersediaan nutrisi terbaik.

Pada akhirnya, hanya dengan mengubah struktur yang tidak adil yang mengkondisikan gangguan jiwa, maka suatu pembebasan jiwa, spiritual sejati dapat terpenuhi. Hal itu hanya mungkin sepenuhnya dituntaskan dengan hadirnya gerakan psikologi maupun psikiatri akar rumput bersama kepemimpinan politik progresif.

Flau de Lete adalah seorang buruh di Flores

Terkini

Jambore di NTT Dorong Kaum Muda Perkuat Jaringan Antarkomunitas untuk Peduli Perubahan Iklim

Orang muda dari 12 daerah di NTT berkumpul di Sumba Timur, merancang aksi bersama merespons perubahan iklim

Konservasi Mata Air, Dialog Libatkan Tokoh Adat dan Pemuda; Cara Paroki Tentang di Keuskupan Ruteng Perkuat Kepedulian Umat terhadap Lingkungan

Umat diajak untuk tidak hanya mengambil dari harta benda bumi apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi

UNESCO: 70% Jurnalis Lingkungan Mendapat Serangan

Dari 44 kasus pembunuhan jurnalis yang menyelidiki masalah lingkungan, hanya 10 persen yang pelakunya dihukum, menurut UNESCO

Lembaga Gereja dan Pemkab Sikka Pulangkan Tujuh Korban Dugaan Perdagangan Orang dari Kalimantan

Aparat penegak hukum diminta membongkar sindikat perdagangan orang di NTT yang selama ini penangannya dinilai setengah hati

Populer

‘Saya Sudah Telanjur. Kasus Ini Diam-Diam Saja. Kalau Dibongkar, Saya Hancur,’ Imam Katolik di Keuskupan Ruteng Mohon kepada Suami yang Istrinya Ia Tiduri

Umat Katolik yang istrinya tidur bersama imam Katolik, pastor parokinya memberi klarifikasi, membantah klaim-klaim imam itu

Polisi di Manggarai Timur Amankan Ayah yang Diduga Perkosa Putri Kandung Hingga Lahirkan Dua Anak

Korban masih dalam kondisi kurang sehat pasca melahirkan anak kedua 

Imam Katolik di Keuskupan Ruteng Beri Klarifikasi di Tengah Tudingan ‘Berhubungan’ dengan Perempuan Bersuami

Kasus ini dilaporkan ke pimpinan gereja pada 24 April, yang membuat imam itu langsung diberhentikan dari jabatan sebagai pastor paroki

Keuskupan Ruteng Janji Serius Tangani ‘Dugaan Perbuatan Tercela’ Imam yang Tidur dengan Istri Umat, Klaim Akan ‘Jaga Nama Baik’ Semua Pihak

Umat yang mengaku imam Keuskupan Ruteng tidur dengan istrinya meminta imam itu tanggalkan jubah

Analisis Lainnya

Polemik Pemecatan Nakes di Manggarai, Bupati Nabit Harus Ambil Langkah Bijak

Alih-alih hanya memecat mereka, bupati perlu mengambil langkah agar bebas dari masalah wanprestasi

Urgensi Rasa Aman bagi Guru di Sekolah, Berkaca pada Kasus Penganiayaan Guru di Lembata

Upaya membentengi guru dari tindakan kekerasan dilakukan dengan setengah hati. Padahal, guru juga rentan terhadap tindakan kekerasan

Pilpres 2024: Kembalinya Pemilu Gaya Orde Baru

Melihat tidak ada "coattail effect" dan stabilnya suara partai di pemilihan legislatif, sangat jelas bahwa kampanye Prabowo-Gibran, dan dalam hal ini sangat dibantu Jokowi, menyasar ke Ganjar-Mahfud.

Tantangan Pemberdayaan UMKM di Tengah Industri Pariwisata Labuan Bajo

Perhatian pada UMKM menjadi penting di tengah perkembangan industri pariwisata Labuan Bajo berbasis investasi oleh korporasi, sehingga masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton