Oleh: Vinsensius Darmin Mbula
Pekan ini warga di Kabupaten Manggarai Timur, NTT ramai membahas sanksi yang diterapkan di SMA Negeri 1 Poco Ranaka, Kecamatan Lamba Leda Selatan yang mewajibkan siswa yang alpa membawa 20 batako untuk pembangunan pagar sekolah.
Kepala sekolah itu, Ferdinandus Fifardin membela kebijakannya, berkata bahwa ia sudah kehabisan cara menghadapi siswa yang malas ke sekolah. Ia pun menganggap membawa batako sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran para siswanya yang tidak hadir tanpa keterangan.
Ia mengklaim siswa di sekolah itu bandel dan kurang peduli pada tata tertib sekolah, meski telah diberi peringatan dan pembinaan. Orang tua mereka juga sudah dipanggil berkali-kali, namun perubahan sikap belum juga tampak.
Ia berkata, esensi kebijakan ini yang sudah disosialisasikan kepada orang tua bukan soal batako, tapi kehadiran siswa di sekolah: “Kami tidak mengharapkan batako, kami mengharapkan kehadiran anak di sekolah.”
Sementara di sisi lain, peserta didik sekolah itu mempersoalkannya. Seorang siswa berkata: “Jangan sampai siswa merasa sekolah seperti penjara. Sanksi bukan satu-satunya cara untuk mendidik. Ada pendekatan lain yang lebih manusiawi.”
Berbeda dengan klaim Ferdinandus, siswa itu menyoroti kurangnya sosialisasi sebelum kebijakan diterapkan. “Kami tidak diajak bicara. Tidak ada pengumuman resmi ke kelas atau surat kepada orang tua. Tiba-tiba saja langsung diberlakukan,” kata siswa itu yang mengklaim “satu teman saya sudah diminta setor batako karena alpa satu hari.”
Pro Kontra
Di tengah masyarakat, termasuk kalangan pendidik, orang tua dan pemerhati pendidikan, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra.
Pihak yang pro berpendapat bahwa hukuman fisik semacam ini tidak bertujuan untuk menyakiti, melainkan sebagai bentuk latihan tanggung jawab dan simbol beban moral dari kesalahan yang dibuat.
Dengan membawa batako, siswa yang alpa diharapkan merefleksikan perbuatannya, merasakan dampak dari kelalaiannya dan menjadikannya sebagai pengalaman yang tak mudah dilupakan.
Di era di mana kedisiplinan kerap luntur, pendekatan ini dipandang sebagai upaya nyata untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tanggung jawab dan konsekuensi logis dari tindakan.
Namun, pihak yang kontra menilai bahwa hukuman fisik semacam ini, walaupun tidak menyakiti secara langsung, tetap mengandung unsur mempermalukan dan bisa berdampak negatif pada kondisi psikologis siswa.
Dari kaca mata ilmu neurosains dan psikologi perkembangan, pemberian sanksi yang mengandung tekanan fisik atau sosial dapat mengaktifkan sistem stres dalam otak remaja, menghambat proses pembelajaran dan bahkan menimbulkan trauma emosional.
Apalagi pada masa remaja, identitas dan harga diri sedang tumbuh—perlakuan yang mempermalukan di depan umum dapat menimbulkan rasa malu berlebihan, kemarahan, atau bahkan penolakan terhadap sekolah dan otoritas guru dan kepala sekolah.
Selain itu, pendekatan semacam ini bisa menciptakan lingkungan belajar yang lebih menekankan pada kepatuhan, ketimbang pemahaman.
Ada kekhawatiran bahwa siswa menjadi takut berbuat salah, bukan karena memahami nilai kebaikan atau kebenaran, tetapi karena takut pada sanksi yang memalukan.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghambat terbentuknya karakter yang otentik dan mandiri.
Mereka mungkin patuh di hadapan guru, tapi bukan karena kesadaran pribadi—melainkan karena tekanan eksternal.
Ini bisa bertentangan dengan tujuan utama pendidikan karakter, yakni membentuk pribadi yang memiliki kesadaran moral, bukan sekadar tunduk pada hukuman.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian siswa memang membutuhkan pendekatan yang tegas agar sadar dan berubah.
Hal itu yang kiranya tercermin dalam pernyataan Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Poco Ranak itu. Ada dilema ketika semua cara lain, sebagaimana klaimnya, sudah dianggap tidak lagi berdampak.
Berhadapan dengan kasus ini, melampaui diskusi soal setuju atau tidak setuju pada kebijakan itu, pertanyaannya adalah apakah itu efektif untuk mengubah perilaku siswa dan membentuk karakter mereka menjadi lebih baik?
Lantas, bagaimana merancang kebijakan terkait sanksi yang proporsional dan bermakna dalam konteks pembentukan karakter peserta didik?
Membentuk Karakter Peserta Didik
Membangun karakter peserta didik bukan hanya soal memberi hukuman atau aturan, tapi soal memahami bagaimana otak, pikiran dan emosi mereka bekerja dalam proses belajar dan tumbuh.
Ilmu neurosains mengajarkan bahwa otak anak berkembang melalui pengalaman yang bermakna, bukan dari rasa takut.
Saat sanksi diberikan dengan pendekatan yang keras dan tanpa pemahaman, otak anak bisa masuk ke mode fight or flight, hal yang justru mematikan pusat belajar di otak.
Namun, bila sanksi dirancang dengan pendekatan empatik dan konsisten, otak akan merespons dengan membentuk jalur pembelajaran baru—menyadari kesalahan, menyesalinya dan termotivasi untuk berubah. Ini menjadi titik tolak pembentukan karakter yang sehat secara neurologis.
Dari sudut ilmu kognitif dan perilaku, karakter dibentuk melalui pengulangan, refleksi dan pembiasaan. Sanksi yang tepat bukan hanya menghentikan perilaku negatif, tapi juga mengajarkan logika di balik tindakan yang benar.
Misalnya, saat seorang murid melanggar aturan, ia diberi tanggung jawab sosial—membersihkan lingkungan sekolah atau membantu teman yang kesulitan belajar—yang bisa menumbuhkan empati dan rasa memiliki.
Dengan reinforcement positif dan refleksi bersama guru, murid mulai memahami konsekuensi perbuatannya secara sadar.
Ini selaras dengan pendekatan behavioral, di mana perubahan perilaku yang konsisten didukung oleh sistem umpan balik yang membangun, bukan menjatuhkan.
Dalam konteks sanksi membawa batako, sanksi itu bisa efektif jika diposisikan sebagai simbol tanggung jawab, dilakukan dalam suasana yang membangun, tanpa niat mempermalukan, serta dibarengi dengan refleksi dan bimbingan.
Jika diterapkan dengan cara demikian, maka potensi transformasinya bisa besar. Ini akan menjadi semacam “ritual perubahan” yang menyentuh fisik dan batin sekaligus.
Catatannya adalah semua pendekatan ini harus bermuara pada pembentukan karakter peserta didik, pada kebahagiaan berkelanjutan dalam diri mereka.
Murid yang dibentuk karakternya dengan cara yang manusiawi akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, penuh makna, dan bahagia, bukan karena bebas dari kesalahan, tapi karena tahu bagaimana bangkit setelah jatuh.
Ketika disiplin berpadu dengan kasih, ketika sanksi membawa pencerahan, dan ketika sekolah menjadi tempat aman untuk salah dan belajar, maka pendidikan tak lagi hanya soal nilai akademik—melainkan tentang membangun manusia seutuhnya, yang siap menghadapi hidup dengan hati yang jernih dan kepala yang teguh.
Peran Keluarga, Sekolah dan Masyarakat
Upaya ini menjadi tanggung jawab bersama semua pihak. Dalam konteks pendidikan, pihak yang bertanggung jawab adalah keluarga, sekolah dan masyarakat.
Integritas dalam pendidikan bukanlah sesuatu yang tumbuh instan, melainkan hasil dari kolaborasi erat antarketiganya, dengan secara konsisten menanamkan dan membiasakan nilai-nilai inti atau core values, seperti kejujuran, tanggung jawab moral dan rasa hormat.
Di rumah, orang tua menjadi teladan pertama dalam memperlihatkan kejujuran dalam tindakan sehari-hari; di sekolah, guru memperkuatnya melalui pembelajaran yang tidak hanya menekankan capaian akademik, tetapi juga karakter; dan di masyarakat, lingkungan yang menjunjung nilai-nilai luhur akan memperluas cakupan pembelajaran moral anak.
Melalui kebiasaan kecil yang terus-menerus—mengakui kesalahan, menepati janji, bertanggung jawab atas tugas—anak-anak akan belajar bahwa integritas bukan sekadar konsep, tapi sebuah cara hidup yang melekat dalam setiap keputusan dan tindakan mereka, membentuk fondasi kuat untuk menjadi manusia yang dapat dipercaya dan bermakna bagi orang lain.
Kepala sekolah dan orang tua memiliki peran yang maha penting dalam membentuk integritas anak melalui pemberian sanksi dan hukuman yang mendidik, bukan menjatuhkan.
Anak-anak adalah pribadi yang sedang tumbuh, dan dalam proses itu, mereka butuh batas, arahan, serta konsekuensi dari setiap tindakan.
Ketika kepala sekolah dan orang tua bersinergi memberikan sanksi yang tegas namun penuh kasih—seperti tugas sosial, refleksi, atau tanggung jawab moral—anak akan belajar memahami bahwa setiap tindakan memiliki dampak dan konsekuensi.
Ini bukan soal menghukum, melainkan membimbing; bukan sekadar membuat jera, tapi menumbuhkan kesadaran. Dari kesalahan, anak belajar jujur pada diri sendiri, berani bertanggung jawab, dan tidak mengulanginya—itulah benih integritas sejati.
Integritas bukan warisan genetis, melainkan hasil pembiasaan dan teladan yang konsisten dari rumah dan sekolah.
Saat anak-anak dibentuk untuk tidak lari dari kesalahan, tidak mencari-cari alasan, dan tidak menyalahkan orang lain, mereka sedang dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan yang bersih dari korupsi dan kepalsuan.
Dalam hal ini, penting juga bagi kepala sekolah dan orang tua untuk tidak menghindari ketegasan demi kenyamanan sesaat, sebab yang sedang dipertaruhkan adalah masa depan bangsa—apakah kita akan dipimpin oleh generasi yang berani bertanggung jawab atau yang mahir bersilat lidah.
Namun, sekali lagi, catatannya adalah bentuk ketegasan itu mempertimbangkan dampak jangka panjangnya bagi perkembang diri anak.
Peran Penting Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai pemimpin berkuasa penuh di lembaga pendidikan sekolah formal harus bijak dalam menerapkan sanksi, dengan mempertimbangkan sisi psikologis, nilai-nilai pendidikan, serta keberlanjutan kebahagiaan siswa.
Sanksi bisa dan perlu ada sebagai bentuk tanggung jawab dan pembelajaran, tetapi harus diberikan dengan cinta, bukan kemarahan.
Sebuah sekolah dikatakan berintegritas atau menjadi sekolah favorit tidak hanya karena deretan piala di etalase kaca, tapi karena kepala sekolahnya yang berpikir tajam seperti bilah pedang, memahat karakter dengan tangan dingin, namun tegas.
Ia tak membangun generasi emas hanya dengan kata-kata manis di spanduk, melainkan lewat kebijakan yang mengakar—di mana anak-anak malas dan kerap alpa dipanggil bukan hanya untuk dihukum dan diberi sanksi, tapi untuk dibangkitkan semangatnya.
Sanksi membawa 20 batako itu bisa efektif ketika ditempatkan dalam konteks konsekuensi atas kesalahan yang perlahan menjelma jadi pelajaran hidup. Sanksi itu ditempatkan sebagai simbol perjuangan; tiap langkah mereka menyusuri halaman sekolah membawa batako adalah langkah kecil menuju tanggung jawab dan perubahan.
Di balik keringat yang menetes, tertanam nilai bahwa disiplin adalah jembatan menuju impian, dan di sanalah sekolah berdiri, tak hanya mencetak murid pintar, tapi manusia yang kuat jiwa dan teguh watak.
Sanksi semacam itu tidak boleh muncul dari keputusasaan, seolah-olah tidak ada jalan keluar lain lagi yang bisa diambil.
Dalam hal ini, menjadi penting membiasakan dialog deliberatif antara guru, siswa, dan orang tua untuk menemukan pendekatan terbaik. Apalagi, kebijakan itu juga berdampak pada orang tua yang mau tidak mau akan dilibatkan untuk menyediakan batako.
Lewat berbagai kebijakan penerapan hukum dan sanksi, perlu selalu memegang prinsip bahwa yang kita bangun bukan hanya kepatuhan sesaat, melainkan fondasi moral dan mental yang akan anak-anak bawa seumur hidup.
Vinsensius Darmin Mbula adalah imam Katolik pemerhati pendidikan, berasal dari Manggarai Timur
Editor: Ryan Dagur