Oleh: Berno Jehani
Di tengah pesatnya gelombang perubahan dunia, yang ditandai oleh arus kapitalisme global, degradasi lingkungan, serta merosotnya kepekaan sosial, institusi Gereja Katolik dipanggil untuk kembali kepada jati dirinya yaitu menjadi suara profetis bagi yang tak bersuara dan pelindung bagi mereka yang tertindas.
Selama kepemimpinannya, Paus Fransiskus telah hadir sebagai mercusuar moral di zaman yang gamang, meneguhkan arah gereja agar tak terjebak dalam kemewahan institusional atau kekuasaan hierarkis.
Ia menempatkan gereja untuk tetap setia dengan Injil: memperjuangkan keadilan, menampakan belas kasih dan kerendahan hati.
Namun, cahaya profetik ini justru tampak kontras ketika Gereja di tingkat lokal, seperti di Flores dihadapkan pada pilihan antara menderita bersama orang miskin atau ikut terserat dalam kapitalisme lewat proyek-proyek pembangunan yang membawa masalah serius bagi warga lokal.
Ketika institusi tidak lagi mampu mengayomi sebagaimana yang ditunjukkan Yesus dari Nazaret dan terlibat dalam aksi kekerasan, integritas institusi Gereja berada di ujung tanduk.
Lewat sorotan terhadap spiritualitas Paus Fransiskus dan dinamika Gereja di Flores, saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan kembali: di manakah Gereja berdiri hari ini, di sisi domba yang terluka atau di balik pagar korporasi?
Tindakan yang Mengubah Dunia
Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin tertinggi Gereja Katolik, tetapi wajah yang hidup dari Injil sendiri dengan gaya kepemimpinan yang tidak berakar pada kemegahan institusi, tetapi pada kelembutan hati dan keberpihakan pada mereka yang berada di pinggiran.
Sebagai paus pertama dari Ordo Serikat Yesus atau Jesuit, ia membawa spiritualitas Ignasian yang kontemplatif dalam tindakan.
Dengan memilih nama Fransiskus, ia juga menggemakan kembali semangat radikal Santo Fransiskus Assisi, seorang pecinta damai, sahabat kaum miskin dan penggugat sistem yang menindas.
Paus Fransiskus tidak sekadar mengajarkan belas kasih, ia mewujudkannya dalam setiap gestur dan kebijakan pastoralnya.
Dua minggu setelah terpilih, ia mencuci kaki para narapidana, termasuk Muslim dan perempuan, sebagai simbol bahwa iman sejati tidak dibatasi oleh pagar-pagar eksklusivitas, melainkan dibangun di atas jembatan empati.
Ia merumuskan Dokumen Persaudaraan Manusia di Abu Dhabi dalam rangka mempererat relasi dengan umat Muslim hingga mencium tangan Imam Besar Istiqlal, Nasaruddin Umar di Jakarta.
Secara geopolitik, Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga penenun perdamaian yang bekerja dalam senyap.
Ia pernah memediasi ketegangan Amerika Serikat dan Kuba, dan dalam konflik besar seperti di Ukraina dan Gaza antara Israel dan Palestina.
Ia tidak berdiri di kutub-kutub ekstrem, tetapi menyalakan lilin kecil di tengah gelap nurani global.
Fransiskus tidak sekadar mengkhotbahkan kesederhanaan, tetapi ia menghidupinya. Ia memilih kendaraan sederhana. Ia tidak mendikte dari podium, melainkan hadir di antara yang kecil dan terpinggirkan.
Melalui Laudato Si, ensikliknya yang amat masyhur itu, ia mengajarkan iman ekologis bukan karena tren, tapi karena kesadaran spiritual bahwa bumi adalah rumah bersama yang sedang sakit.
Ia bicara tentang iklim, sungai tercemar, dan udara kotor bukan sebagai isu teknis, tapi sebagai bagian dari tanggung jawab iman.
Ia juga tidak segan mengkritik sistem ekonomi yang menyisihkan yang lemah.
Kapitalisme yang tak terkendali, katanya, melahirkan budaya membuang: bukan hanya barang, tapi juga manusia.
Di hadapan wajah dunia yang compang-camping, ia menampilkan gereja sebagai rumah terbuka, bukan benteng tertutup.
Harapannya agar para “gembala berbau domba” mencerminkan pendekatan pastoral yang rendah hati dan berpihak pada kaum kecil.
Ia mengkritik keras gereja yang sibuk dengan kekuasaan dan kemewahan. Sebaliknya, ia mendorong gereja untuk hadir secara nyata dalam penderitaan umat.
Dengan keberanian profetis dan kesetiaan pada nilai-nilai Injil, Paus Fransiskus telah memperlihatkan wajah Gereja yang berwibawa dan relevan di masa kini.
Kontradiksi Gereja Katolik Flores
Narasi spiritualitas Paus Fransiskus menemukan gema yang mendalam di tanah Flores, sebuah wilayah yang dikenal sebagai lumbung panggilan imamat dan religius di Indonesia, bahkan dunia.
Para imam di Flores, yang sebagian besar dibentuk dalam semangat misioner dan semangat pelayanan pastoral di tengah masyarakat sederhana, menghadapi realitas pastoral yang kompleks: kemiskinan struktural, kerusakan ekologis serta tantangan iman di era digital.
Dalam konteks ini, spiritualitas Paus Fransiskus bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk dihayati.
Kini, Gereja Katolik di Flores menghadapi ujian moral yang ekstrim di tengah derasnya arus pembangunan dan tekanan kapitalisme.
Peristiwa-peristiwa seperti penggusuran rumah dan tanaman warga di Nangahale, Keuskupan Maumere dan dukungan yang sempat diberikan terhadap proyek geotermal di Wae Sano oleh Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat, menempatkan gereja bukan lagi di sisi umat tertindas, melainkan di barisan kekuasaan.
Kasus di Nangahale telah mengguncang Gereja Katolik di Flores. Meski berlandaskan legalitas Hak Guna Usaha atas lahan konflik menahun dengan masyarakat setempat, tindakan itu menjadi simbol paradoks: Gereja yang seharusnya memihak kaum kecil justru menjadi pelaku penindasan.
Beruntung bahwa di antara suara sunyi dan luka sosial itu, muncul juga secercah harapan melalui sikap profetik Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden yang memilih mendengar umat.
Ia menyatakan menolak proyek geotermal yang mengancam ruang hidup mereka. Sikapnya muncul setelah mengunjungi langsung ke lokasi proyek di Mataloko dan Sokoria, mendengar umat, lalu menyusun sikap pastoral berdasarkan pengalaman konkret.
Dalam konteks perlawanan masyarakat terhadap proyek ekstraktif, pernyataannya menjadi oasis moral di tengah padang kekuasaan yang kian kering akan empati.
Kontras ini mencerminkan fragmentasi dalam tubuh Gereja Katolik di Flores: di satu sisi memilih menjadi gembala yang setia pada aroma domba dan sisi lain terjebak dalam logika kapitalisme.
Di balik dualitas ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah Gereja masih menjadi tempat berlindung bagi yang lelah dan tertindas atau justru berubah menjadi kuasa duniawi dengan legitimasi spiritual?
Pertobatan Struktural
Dalam situasi di mana Gereja Katolik dihadapkan pada kritik karena keterlibatannya dalam proyek-proyek pembangunan yang merugikan umat, muncul kebutuhan mendesak untuk refleksi iman yang jujur dan mendalam.
Harus disadari bahwa panggilan profetik Gereja bukan sebagai simbol kuasa, tetapi sebagai perwujudan kasih, keadilan, dan solidaritas sejati di tengah dunia yang terluka.
Menggunakan nama “Kristus Raja” untuk entitas bisnis seperti korporasi Keuskupan Maumere yang justru terlibat dalam penggusuran umat di Nangahale adalah sebuah ironi teologis yang menyentuh inti iman: Kristus yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan membebaskan.
Ketika imam sebagai alter Christus atau Kristus yang lain terlibat dalam struktur yang menindas, batas antara altar dan pasar menjadi kabur dan wajah Gereja pun tercermin samar di mata umat.
Dengan memilih diam atau bahkan ikut serta dalam proyek-proyek yang mengikis ruang hidup umat, Gereja tampak kehilangan jarak kritis terhadap kekuasaan.
Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan sekadar posisi institusional, tetapi legitimasi moral dan kredibilitas spiritual Gereja.
Ketika suara profetik digantikan oleh retorika birokratis, kita kehilangan makna kehadiran Gereja.
Maka, kritik ini bukan serangan terhadap Gereja, melainkan panggilan agar Gereja kembali menjadi ekklesia yang hidup: tubuh yang merasakan nyeri umat, yang tidak sekadar membangun mimbar, tetapi juga menampung air mata.
Namun, setiap krisis adalah juga undangan untuk kembali pada akar: panggilan profetik Gereja sebagai suara kenabian, pelindung yang lemah, dan penjaga keutuhan ciptaan.
Inilah saatnya Gereja merenungkan kembali makna kehadirannya, bukan sekadar dalam bentuk institusi dan bangunan megah, tetapi sebagai tubuh hidup Kristus yang hadir di tengah penderitaan umat-Nya.
Pada titik ini, perlu pertobatan struktural dan mekanisme koreksi internal. Ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan wujud keberanian spiritual untuk kembali setia pada Injil.
Di tengah dunia yang makin gaduh oleh narasi pembangunan dan efisiensi, Gereja dipanggil bukan untuk berlomba dalam kemegahan, tetapi untuk hadir di tengah luka umat sebagai sahabat, gembala dan penjaga harapan.
Ketika tangis warga menjadi doa dan altar kembali menjadi ruang keadilan, Gereja tidak sedang runtuh, ia sedang dibangun kembali: lebih murni, lebih sejati, dan lebih dekat dengan Kristus yang hadir dalam mereka yang disingkirkan.
Paus Fransiskus telah mewariskan contoh nyata spiritualitas yang membumi. Ia tidak membangun teologi dari menara gading, melainkan dari tanah basah kehidupan.
Gereja yang ingin kembali menemukan suaranya hari ini, tidak bisa sekadar berlindung di balik liturgi yang hening atau birokrasi yang kaku.
Saatnya meneladani jejak Paus Fransiskus: membumikan iman, merangkul yang terluka, dan membangun kembali kepercayaan umat bukan dengan retorika surgawi, tetapi dengan langkah-langkah kecil yang jujur, hadir, dan penuh cinta.
Spiritualitas Paus Fransiskus menunjukkan bahwa kekuatan Gereja bukan terletak pada bangunan megah atau relasi kuasa, melainkan pada keberanian untuk hadir, mendengar, dan berjalan bersama umat yang menderita.
Gereja di Flores memiliki peluang besar untuk menjadi terang di tengah zaman yang gelap, asalkan mau mendengar sebelum mengajar, hadir sebelum menilai dan berjalan bersama sebelum memimpin.
Kini, pilihan ada di tangan Gereja lokal: tetap diam dalam nyaman atau bangkit dari luka dan menjadi saksi kasih yang hidup.
Gereja yang kehilangan empati akan runtuh perlahan, tapi Gereja yang mencium luka umat akan dibangkitkan oleh Kristus sendiri.
Berno Jehani adalah mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Editor: Ryan Dagur